Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 1


MENUNGGU
Dengan sabar aku duduk di salah satu bangku warung minum kaki lima di sudut terminal Aia Pacah Padang. Sesekali aku celingukan melihat bus dari Bukittinggi yang baru datang, berharap menemukan sosok Ibu yang ku tunggu.
Dari sudut ini kulihat para calon penumpang yang menyandang ransel dan bolak-balik mencari bus yang akan mereka tumpangi. Sesekali mereka menyapu keringat yang mengalir di wajah. Suasana terminal sore itu ramai dan gerah karena cuaca sangat cerah tanpa awan yang melintas.
Di dekat gerbang terminal ku lihat bus ANS, NPM, Doris Abadi dan beberapa bus besar dan tiga perempat lainnya sedang ngetem menunggu bus mereka penuh terisi. Masing-masing kenek meneriakkan daerah tujuan busnya masing-masing.
Bukik… bukik…
Batusangka… sangka…
Pariaman… piaman…
payukumbuah…pikumbuah...
Teriak kenek yang dibalas oleh kenek lainnya. Suara sahut-sahutan mereka memeriahkan suasana terminal sore ini. Beberapa orang kenek nekat melompat masuk ke dalam oplet yang membawa penumpang dari kota Padang untuk menaiki bus mereka. Bahkan tidak jarang dari kenek-kenek itu memaksa penumpang menaiki bus mereka dengan menarik tasnya. Tindakan mereka membuat calon penumpang yang bercucuran keringat makin gerah karena tidak punya kesempaan untuk memilih sendiri bus yang akan mereka naiki.
Persaingan tidak hanya terjadi antara kenek bus tapi juga kenek oplet dan tukang ojek yang menunggu di depan pintu bus untuk mencari penumpang yang baru sampai dari tempat asal mereka. Mereka juga tidak mau kalah berebut penumpang yang tidak seberapa. Suasana hiruk-pikuk itu sudah menjadi pemandangan wajib terminal baru ini.
Tiba-tiba aku mendengar keributan di dekat deretan oplet warna kuning hijau yang berjejer di parkiran terminal. Keributan itu terjadi hanya sepuluh meter dari tempat ku duduk sehingga aku bisa melihat dan mendengar dengan jelas apa yang mereka ributkan.
Aden lah lamo manunggu di siko, ang baru tibo lah marabuik sewa urang,” bentak seorang laki-laki berkulit hitam dengan suara tinggi.
Uni tu yang naiak ka oplet den, manga lo ang heboh,” jawab pria yang tangannya dipenuhi tato tidak kalah sengit.
Awak samo-samo mancari makan di siko jadi ijan waang sasuko hati di siko,” bentak pria berkulit hitam.
Aku mengerti apa yang mereka ributkan, perebutan penumpang. Yah, sejak pemerintah kota Padang menetapkan terminal Aia Pacah sebagai terminal utama, banyak oplet yang mengalihkan rutenya tanpa mempedulikan supir oplet lainnya yang sudah terlebih dahulu mempunyai rute Pasar Raya-Aia Pacah. Rute beberapa oplet jadi tidak jelas sehingga sering terjadi cek-cok seperti itu.
Kebijakan memindahkan terminal ke Aia Pacah menjadi bencana tersendiri bagi supir bus antar kota dalam propinsi dan supir oplet. Para supir bus mengeluhkan jumlah penumpang mereka yang berkurang drastis karena banyak pelanggan mereka yang beralih pada travel yang mangkal di depan Minang Plaza. Alasannya simpel, Minang Plaza terletak di dalam kota dan mudah dijangkau. Ongkosnya pun tidak beda jauh dari bus sehingga banyak yang menjadikannya sebagai alternative atau malah pilihan utama.
Bus ANS dan NPM yang dulunya menjadi primadona sekarang tidak lagi diuber-uber oleh mahasiswa yang hendak pulang ke kampung halaman, terutama tujuan Padang-Bukittinggi. Waktu bus masih boleh ngetem di Lubuk Buaya, sangat mudah untuk mencari penumpang. Apa lagi di akhir pekan atau hari libur, hanya dalam beberapa menit bus besar itu sudah dipadati penumpang bahkan ada yang rela berdiri dan berdesak-desakkan. Yah, aku salah satunya yang pernah mengalami hal seperti itu.
Tapi sekarang, jangankan berdiri, semua kursi terisi penuh saja sudah syukur. Mungkin kondisi seperti itulah yang membuat para supir bus dan angkot gampang tersulut emosi karena penumpang yang diperebutkan tidak seberapa jumlahnya. Kehidupan terminal adalah kehidupan yang paling keras yang pernah ku lihat. Bahkan bagi ku sangat menakutkan. Kebanyakan supir menato badannya agar terlihat sangar dan dikira orang “bagak”. Bagi orang minang mendapat julukan sebagai orang bagak merupakan sebuah kebanggaan. Bangga karena semua orang menakutinya. Padahal disegani lebih baik dari pada ditakuti bukan?
Hah, emang acok tajadi yang bantuak itu,” keluh pemilik warung tempat ku duduk.
Kapatang malah ado supir yang mahantak supir lainnyo dek barabuik panumpang,” lanjut ibu itu dengan raut wajah prihatin.
“Mereka kurang sabar bu,” kataku.
Iyo itu lah, kampuang tangah ndak amuh saba kalau ndak diisi. Rancak bacakak jo urang dari pado kampuang tangah,” jawab ibu itu lagi.
Kampung tengah, ya, rakyat Indonesiaku tercinta saat ini masih sibuk memikirkan kampung tengah alias perut. Pada hal di negara lain masyarakatnya sudah berfikir bagaimana caranya untuk membuat peradaban di planet Mars. Alangkah mengenaskan nasib bangsa ku ini. Banyak orang kelaparan sementara sumber daya alamnya melimpah. Orang minang bilang mati ayam di lumbuang padi yang berarti banyak orang yang malah kelaparan sementara alam sekitarnya menyediakan apa yang dibutuhkannya untuk hidup.
Kedua supir itu terus bersiteru sampai seorang supir lainnya datang melerai. Supir yang satu ini terlihat lebih berwibawa. Dia mengenakan topi haji di kepalanya. Aku tidak tau apakah dia sudah haji atau belum tapi ku hargai apa yang dilakukannya untuk mendamaikan kedua supir itu, ku rasa dia adalah orang yang cukup dihormati dikalangan sopir karena kedua sopir itu tidak memberi perlawanan sama sekali pada orang itu. Bahkan perseteruan mereka akhirnya selesai dan kedua oplet itu pun kembali beroperasi.
Syukurlah, diantara orang-orang yang hatinya tengah terbakar karena emosi dan cuaca masih ada orang yang berhati dingin dan mampu menenangkan orang lain.
Ku lirik jam ditanganku, pukul 15.10 WIB. Sepertinya aku terlalu cepat datang ke terminal ini. Ibu bilang beliau berangkat jam 14.00 WIB, itu artinya beliau akan sampai di sini kira-kira jam 16.00 WIB. Aku sengaja datang lebih awal agar nanti ibu tidak kebingungan mencariku, apa lagi beliau belum pernah ke terminal ini. Lagi pula aku sudah berada di daerah Aia Pacah untuk mengunjungi temanku, Liana, mahasiswi kedokteran gigi Universitas Baiturrahmah. Aku ingin mengundang teman lamaku itu untuk datang di upacara pengucapan sumpah dokterku besok.
Tidak terasa, sudah 4 tahun aku meninggalkan kampung halamanku untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Semuanya terasa bagai mimpi indah yang tak pernah berakhir bagiku. Dulu, jangankan untuk menjadi calon dokter, kuliah saja tidak pernah terlintas dalam benakku begitu melihat kondisi keluargaku.
Berawal dari kenekatanku mengisi formulir PMDK di sekolahku atas desakan guru Biologi yang juga wali kelas ku di IPA 1 di SMU 1 Tilatang Kamang. Sebuah kehormatan bagi sekolahku yang terletak di sebuah desa mendapat kesempatan mengirimkan siswa terbaiknya untuk mengisi salah satu bangku di Fakultas Kedokteran Univrsitas Andalas (Unand). Untuk itulah, sekolahku benar-benar memilih siswa terbaik mereka untuk mengisi formulir yang diperuntukkan bagi satu orang siswa itu. Ternyata pilihan itu jatuh ke padaku. Alasan sekolah cukup sederhana, karena aku adalah murid yang paling berprestasi di sekolah itu. Dari kelas 1 SMU aku tidak pernah beranjak dari juara 1 di kelas, bahkan sejak kelas 2 aku selalu menjadi juara umum. Aku juga memperoleh predikat sebagai siswi teladan di tingkat Kabupaten.
Prestasi yg tidak ku sengaja, karena aku sekolah tanpa fasilitas yang memadai. Aku tidak pernah beli buku, karena aku tidak sanggup membelinya, aku hanya membaca semua buku di perpustakaan sekolah. Saat itu aku berfikir bahwa SMU adalah pendidikan terakhir yang bisa ku tempuh, jadi aku harus mempelajari semuanya. Aku tidak ingin menyesal nantinya jika aku tidak bisa lagi mempelajari apa yang bisa ku pelajari saat ini.
Prestasi itulah yang menjadi pertimbangan guru-guru untuk menjadikanku sebagai orang terpilih yang akan mengisi formulir itu. Mungkin kalian akan berfikir itu adalah prestasi yang biasa saja. Apa hebatnya mendapat tawaran PMDK dari Universitas yang mungkin tidak begitu dikenal, jangankan di Indonesia, di Sumatera pun mungkin tidak begitu dikenal. Jangan berfikir sekolahku adalah sekolah kampungan yang tidak ada apa-apanya. Sekolahku juga mendapat formulir dari Universitas terkenal seperti UGM, Unpad dan IPB. Tapi tidak ada diantara universitas itu meminta untuk mengisi bangku di Fakultas Kedokteran.
Apakah Unand kalah dari Kedokteran Universitas besar di Indonesia? Entahlah. Aku tidak tau persis, tapi dalam urusan gengsi, tentu Unand kalah. Tapi bukankah ilmu tergantung dari orang yang menuntutnya bukan tempat menuntutnya? Lagi-lagi aku hanya bisa jawab, entahlah.
Saat itu bagiku itu semua tidak penting untuk difikirkan. Jangankan kuliah kedokteran, tamat SMU saja aku sudah bersyukur. Walau jauh di dasar hatiku, aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku, tapi dengan cara bagaimana? Ibuku hanya seorang buruh tani dan menerima pesanan jahitan dari tetangga. Dia bekerja tiap hari, siang malam banting tulang untuk ku dan Aisyah, adikku satu-satunya yang waktu itu baru kelas 6 SD.
Pendidikan yang akan ditempuhnya masih panjang. Sebentar lagi dia akan masuk SMP, tentunya perlu biaya. Karena itu aku merasa kuliah hanya akan jadi angan-angan. Aku tidak mau egois meminta semua penghasilan ibu hanya untuk membiayaiku. Aisyah juga punya hak mendapat pendidikan yang sama denganku, walaupun hanya sampai tamat SMU.
Sementara ayah sudah meninggal waktu aku masih kelas 4 SD dan Aisyah baru lahir. Ayah meninggal karena serangan jantung dan meninggal tanpa bantuan dokter karena kami tidak punya uang untuk berobat.
Akhirnya dengan desakan guruku, aku mengisi formulir itu tanpa minta persetujuan dari ibu. Aku tidak tau apa yang akan dikatakan ibu jika beliau tau. Aku hanya berdoa semoga aku tidak lulus dalam penjaringan itu.
Sampai pada suatu hari, doaku terjawab sudah. Aku dinyatakan LULUS sebagai mahasiswa PMDK di fakultas Kedokteran Unand. Aku hanya terdiam mendengar berita itu. Apakah aku harus senang atau malah sebaliknya. Aku hanya diam tanpa berkata apa-apa.
Dua hari setelah pemberitahuan itu, akhirnya aku mengatakannya pada ibu.
“Nur akan bilang pada kepala sekolah untuk membatalkan PMDK itu Bu,” kata ku cepat ketika melihat ibu hanya diam mendengar pengakuanku.
Ibu masih tetap diam dengan tatapan hampa. Aku tidak tau apa yang difikirkannya. Ibu adalah wanita yang tidak mudah ditebak hatinya.
“Ibu, maafkan Nur, Nur tidak meminta persetujuan ibu sebelum mengisi formulir itu,” aku menangis sambil memeluk kaki ibu. Tapi tiba-tiba beliau memelukku dengan erat.
“Selamat ya nak, kamu adalah kebanggaan ibu. Kamu sudah memilih keputusan yang tepat,” kata ibu lembut sambil membelai rambutku.
“Jadi ibu mengijinkan Nur untuk kuliah?” tanyaku meyakinkan.
Dengan tegas ibu mengangguk dengan mata yang berbinar dan senyum mengembang dibibirnya. Aku kembali memeluk Ibu dengan erat.
“Tapi bu, bagaimana dengan biayanya?” tanyaku lirih.
Pitih tu co jangguik, kalau dicukua, nyo tumbuah baliak,” kata ibu menghiburku.
Semester pertama kuliah adalah bulan-bulan berat ku. Ternyata buku adalah pangannya seorang mahasiswa kedokteran. Aku sempat keteteran dalam mencari buku karena harga buku kedokteran bukanlah 10 atau 50 ribu, tapi ratusan ribu bahkan ada yang lebih dari 1 juta. Untunglah aku bertemu dengan Aida, teman seangkatanku yang berasal dari keluarga yang mapan dan kaya raya tapi sungguh rendah hati. Dengan suka rela dia meminjamkan bukunya padaku. Bahkan jika ada tugas yang harus diketik komputer dia menawarkanku untuk mengetik tugasku di rumahnya. Dia berjilbab sama denganku. Keluarganya sangat ramah dan baik hati.
Masuk semester dua, Papa Aida membantuku untuk bisa mengajar disebuah pusat bimbingan belajar terkemuka di kota Padang. Awalnya aku merasa tidak enak menerima kebaikan beliau, tapi beliau meyakinkanku bahwa aku bisa mengajar di sana karena kualitasku bukan karena aku adalah orang dekatnya.
Aku mengajar Matematika dan Biologi tiga kali seminggu. Hasilnya lumayan. Aku bisa membayar uang kontrakan yang berada di daerah Jati. Aku mengontrak rumah dengan 5 orang teman yang berasal dari jurusan dan universitas yang berbeda. Ada Via dari mahasiswa kedokteran gigi, Noli, mahasiswa IAIN Imam Bonjol, Rika dan Meri mahasiswa Pertanian, Yolanda, mahasiswa FISIP Unand.
Meski berasal dari fakultas dan latar belakang keluarga yang berbeda tapi persaudaraan yang terjalin diantara kami sangat erat. Mereka bagai keluarga kedua bagiku. Tidak ada yang merasa lebih dari yang lain, bagi kami semua sama. Hanya Allah SWT yang boleh mengkleim satu orang lebih tinggi derajatnya dan lebih mulia dibanding yang lainnya.
Setiap bulan ibu juga mengirimkan aku uang untuk keperluan sehari-hari, meskipun tidak banyak aku bisa bertahan hidup di kota Padang ini. Dan kini aku sudah menyelesaikan kuliah dan koas ku. Aku akan segera menanggalkan statusku sebagai mahasiswa dan menjadi seorang dokter. Aku sungguh tidak sabar menunggu hari esok. Karena itulah ibu datang ke Padang hari ini. Beliau akan mendampingiku besok di hari pengambilan sumpah dokterku.
Kembali ku lirik jam tangan ku, pukul 16.05 WIB. Ku lihat sebuah bus ANS memasuki terminal, tak lama setelah bus berhenti ibu turun dengan tenang dari bus itu. Aku berlari ke arahnya dan langsung mencium dan memeluk ibu ku tercinta dengan erat. Aku sangat merindukannya. Ibu datang sendiri karena besok Aisyah harus sekolah. Aku sangat merindukan ibu, sejak aku koas, aku sangat jarang pulang karena aku harus belajar lebih keras saat koas, apa lagi jam kerjaku sebagai tentor ditambah karena akan memasuki musim ujian.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar