Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 10


PERNIKAHAN

Sebentar lagi aku akan menjalankan prosesi adat Minang Kabau pertama, yaitu manjapuik tando. Manjapuik tando sama dengan tunangan. Aku duduk di depan meja rias yang ada dikamarku. Meja rias itu baru, kamarku ini juga direnovasi baru. Tempat tidur besi tua dengan kasur yang sudah mengeras diganti dengan tempat tidur kayu yang cantik dan kasur springbad yang empuk. Lantai rumah yang tadinya semen yang sudah retak-retak kini sudah menjadi lantai keramik yang berkilau. Loteng yang tadinya sudah jebol sudah diganti dengan loteng baru yang jauh lebih bagus.
Dalam waktu singkat rumah ini sudah direnovasi, dan aku bisa menebak siapa yang melakukan ini semua. Ibu tidak akan mampu merenovasi rumah ini dengan hasil jahitannya, tidak mungkin orang lain, pasti Datuk yang membiayai ini semua.
Aku mengenakan baju kurung warna biru muda dengan bunga-bunga kecil yang indah. Ibu sendiri yang menjahitnya untukku.
“Uni cantik sekali memakai baju itu,” ujar Aisyah yang tiba-tiba masuk ke kamar ku. Aku tersenyum ke arahnya.
“Apakah rombongan Datuk sudah datang?” tanyaku pada Aisyah.
“Belum Ni, katanya sebentar lagi,” ujar Aisyah.
“Nanti kalau orang-orang itu sudah datang Ai panggil uni ya,” kata Ai lalu keluar dari kamarku.
Aku mengambil bros berbentuk kupu-kupu yang terletak di meja rias ku dan menyematkannya di jilbabku. Bros itu adalah pemberian Rosa untukku. Aku masih ingat isakannya saat aku akan meninggalkan desa. Aku tidak pernah bilang pada mereka bahwa aku tidak akan kembali lagi ke desa ini. Tapi mereka melepasku pergi seolah-olah aku tidak akan kembali.
“Dokter yang dulu kerja di puskesmas ini meninggalkan desa kami karena menikah. Mungkin setelah menikah dokter juga tidak akan kembali ke sini,” ujar Pak Syamsuri saat aku memberi undangan padanya.
Saat itu aku hanya diam karena aku juga tidak tau apakah aku akan kembali ke sini atau tidak. Sebelum aku pulang ke desa, Ni Ratna datang membawa Rosa ke rumahku. Rosa memelukku erat sekali.
“Ibu Doktel nanti balik lagikan ke sini?” tanyanya.
“Insyaallah ya sayang,” jawabku
“Jadi ibu doktel tidak akan balik lagi ya,” tanyanya lagi.
Kata Insyaallah memang sudah berganti menjadi kata tidak bagi sebagian orang. Karena banyak orang yang lebih senang mengatakan Insyaallah pada pekerjaan yang tidak akan dilakukannya atau janji yang tidak akan ditepatinya. Insyaallah sudah berubah arti menjadi kata ”tidak” yang dihaluskan. Padahal jawaban Insyaallah adalah jawaban yang pasti “jika Allah mengijinkan”.
“Insyaallah Bu dokter balik ke sini ya sayang,” kataku lagi.
Ni Ratna kemudian memberikan bros kupu-kupu itu padaku.
“Ini Rosa yang memilihkan,” katanya padaku.
Aku ingin menangis saat itu. Aku saja yang sudah berniat dan berjanji akan memberikannya sesuatu belum bisa memenuhinya. Aku tetap ingin ke sana walaupun aku sudah menikah tapi mungkinkah?
“Nur ayo keluar, rombongan Datuk sudah datang,” kata ibu mengagetkanku.
Aku bangkit dari tempat duduk ku dan berjalan dengan pelan mengikuti ibu. Ini lah saatnya aku melihat wajah orang yang akan menjadi suamiku. Jantungku berdetak sangat kencang. Aku benar-benar takut menghadapi semua ini. Aku tidak berani mengangkat kepalaku untuk melihat orang ramai di ruang tamu yang dialas dengan permadani merah itu. Aku duduk bersimpuh di sebelah ibu dan mengikuti prosesi acara adat itu. Para pemuka adat dari pihakku dan pihak Datuk saling berbasa basi dengan pantun-pantun yang tidak terlalu ku mengerti.
Orang minang memang terkenal dengan basa-basi yang panjang dengan berbalas pantun. Syukurlah acara basa-basi itu cepat selesai. Aku berkeringat dingin begitu acara pertukaran cincin akan dimulai. Aku dan Datuk di suruh berdiri di tengah-tengah rombongan yang membentuk lingkaran.
“Siti Nuraini Binti Siddik, maukah kamu menjadi istriku,” tanya Datuk padaku begitu kami berdiri saling berhadapan.
Suaranya lembut namun tegas mirip dengan suara seseorang yang sudah sangat ku kenal dan selalu membuat jantungku berdetak kencang. Kuberanikan diri untuk melihat wajah laki-laki yang ada di depanku itu. Datuk tidak seperti yang ku bayangkan sebelumnya. Dia memiliki kulit yang putih bersih, dari wajahnya tidak terlihat kalau dia sudah berumur 45 tahun. Wajahnya jauh lebih muda dari pada umurnya. Badannya tegap dan tinggi. Aku hanya setinggi dadanya. Aku kira dia seperti Datuk Maringgih yang dalam filmnya diperankan oleh Ki Damsik yang kurus dan sudah keriput.
Aku tidak bisa mengargumentasikan fisik Datuk karena aku hanya menatapnya sekilas, lalu aku kembali menunduk.
“Siti Nuraini, maukah kamu menjadi istriku?” tanyanya sekali lagi.
Aku memejamkan mataku dan mengangguk. Datuk kemudian merentangkan telapak tangannya dan aku menaruh tanganku disana. Dia memasangkan sebuah cincin di jari manisku. Cincin bermata satu itu berkilau dan sangat indah. Cincin itu juga sangat pas di jariku, dari mana dia tau ukuran jariku?
 Aku juga memasangkan cincin di jari manis Datuk. Jari-jarinya putih dan bersih. Bisa dipastikan dia tidak pernah memegang lumpur dan bekerja kasar. Dan jarinya itu pasti sudah berkali-kali dipasangkan cincin oleh istri-istrinya sebelum aku.
Acara manjapuik tando itu diakhiri dengan doa. Setelah makan bersama rombongan Datuk pun meninggalkan rumahku dan akan kembali ke sini 2 hari lagi untuk mengucapkan ijab-qabul pernikahan yang akan dilangsungkan di mesjid At-Taqwa tidak jauh dari rumahku.
Hanya sekali aku memandang wajah Datuk, selebihnya aku hanya menunduk dan larut dalam pikiranku sendiri. Bayangan dr Yudha tiba-tiba melintas dibenakku. ’Selamat, pria itu sangat beruntung dapat istri seperti kamu Nur. Tapi sayang bukan aku’ kata-kata itu kembali melintas di benakku.
Yah, yang bertunangan denganku tadi memang bukan dia. Air mataku mulai jatuh membasahi pipiku tanpa sanggup ku tahan. Saatnya aku untuk melupakan rasa cintaku padanya dan hal memalukan yang pernah ku lakukan.
***
Aku mengikuti rangkaian acara adat menjelang hari pernikahan, salah satunya adalah malam bainai di malam sebelum akad nikah. Rumahku dipenuhi oleh warga desa dan semua sanak saudara yang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Aku menjalankan semua itu dengan perasaan tak menentu. Rumahku yang biasanya sepi dan hanya ada kami bertiga, kini ramai dan kesibukan ada dimana-mana. Para anak remaja seumuran Aisyah sibuk mendekor rumah dan memasang tenda. Ibu-ibuk sibuk memasak berbagai makanan khas Minang seperti rendang, kalio, pangek, cincang kambing dan sebagainya.
Di hari pernikahan aku mengenakan kebaya putih yang sangat indah. Kebaya itu dijahit oleh ibu. Banyak yang bilang aku terlihat cantik dengan kebaya itu.  Aida yang juga datang di hari pernikahanku itu memberi dukungan moral yang membantuku untuk menghadapi saat-saat paling bersejarah dalam hidupku itu dengan tenang. Akad nikah dilakukan usai shalat Jumat.
Nyiak Tuo bertindak sebagai waliku. Dia mengucapkan ijab yang dibalas degan qabul oleh Datuk. Dia mengucapkan ijab qabul dengan lancar. Mungkin karena sudah terbiasa. Pernikahanku itu juga dicatat di KUA, Datuk yang mengurus itu semua.
Tadinya aku kira dia akan menikahiku secara agama saja tapi ternyata juga secara hukum. Aku menyalami tangan Datuk dan menaruhnya di keningku. Lalu dia mencium keningku. Ini adalah untuk pertama kalinya aku di cium oleh seorang laki-laki, yaitu suamiku. Airmata jatuh dari sudut mataku. Aku benar-benar tiak bisa membendungnya. Hatiku benar-benar bergejolak, apakah aku harus sedih, senang atau aku harus bagaimana?
Usai akad nikah kami kembali ke rumah masing-masing. Datuk belum boleh menginap di rumah ku sebelum baralek (pesta). Begitulah adatnya, seorang suami baru boleh menginap di rumah istrinya setelah baralek. Walaupun baraleknya akan diadakan sebulan atau setahun kemudian, tetap saja sebelum itu suami belum boleh menginap di rumah istrinya karena akan dicemooh oleh warga dan menyalahi adat.
Kesibukan terus berlanjut di rumahku. Aku jadi bingung harus melakukan apa. Aku tidak diperbolehkan untuk membantu mereka. Hanya sesekali aku melihat ibu dan mengingatkan agar beliau tidak terlalu capek.
Aida masih setia menemaniku. Dia malah menjadi orang pertama yang tidur denganku di kamar pengantinku.
“Kamar ini bagus sekali Nur,” ujar Aida begitu memasuki kamar pengantinku.
Aku hanya tersenyum padanya.
Dia memegangi angsa yang terbuat dari selimut yang ada di tengah tempat tidur itu. Matanya menyapu semua audut ruangan yang dihias sedemikian rupa dan sangat indah ini.
“Nur, emang nggak apa-apa aku tidur di sini? Ini kan kamar pengantinmu,” ujarnya sungkan.
“Nantinya kan juga akan ditiduri Da,” kataku dan melompat ke kasur yang empuk itu.
“Ih kamu kok kaya anak kecil baru ketemu kasur empuk sih,” ledek Aida.
“Biarin,” jawabku dan melemparnya dengan bantal.
Sudah terlambat untuk menangis dan sudah terlambat juga untuk mundur. Aku hanya punya satu pilihan yaitu menghadapinya. Apakah aku akan menghadapinya dengan ikhlas dan membuat diriku sendiri bahagia atau menjalankannya dengan penuh penyesalan dan tidak akan bahagia seumur hidup.
Aku memilih untuk menerima semua ini dengan ikhlas dan membuatnya membahagiakan. Air mataku kembali mengalir tanpa ku sadari.
“Lho kok nangis lagi,” Aida melemparkan bantal yang tadi kulemparkan padanya.
“Oh, nggak kok,” ku seka air mataku dan kembali ku lempar bantal itu padanya.
Aku bergelut dengan Aida seperti anak kecil yang bertemu dengan teman sepermainannya. Aku juga mengajak Aisyah tidur bersama kami tanpa sepengetahuan ibu. Kalau ibu tau bisa bahaya.
Malam itu kami lewati dengan bermain ular tangga di kamar pengantinku. Siapa yang kalah kupingnya diikat dengan karet. Permainan itu terasa sangat seru dan menyenangkan. Aku merasa kembali pada masa kecilku dulu. Walaupun hidup kami pas-pasan dan tidur di kamar yang jelek di atas kasur yang keras tapi hidup terasa damai tanpa beban. Kami main sampai larut malam tanpa sepengetahuan ibu. Aku menderita kekalahan yang paling banyak sehingga di kupingku yang paling merah karena paling sering diikat.
”Gima sih, pengantin baru kupingnya merah gitu,” ledek Aisyah.
Seharusnya malam ini aku istirahat karena besok aku akan menghadapi pesta yang akan berlangsung 2 hari. Tapi aku tidak mau karena mulai besok malam aku belum tentu punya kesempatan untuk bermain atau tidur dengan mereka lagi.
***



Di hari baralek gadang aku mengenakan baju adat warna merah dengan suntiang yang sangat berat di kepalaku. Aku terlihat cantik hari ini, itulah yang dikatakan Aida dan juga orang-orang yang melihatku.
“Nur, aku iri sama kamu,” ujar Aida begitu tukang make up yang mendandaniku dan membantuku berpakaian keluar dari kamarku.
“Kenapa?” tanyaku heran.
Tidak ada yang perlu diirikan padaku, justru dia harus bersyukur tidak bernasip sama sepertiku.
“Kamu bisa tegar menjalani ini semua, aku saja belum tentu kuat menghadapi ini semua,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Aku tersenyum mendengar pernyataan Aida. Jujur, saat ini hatiku remuk redam, tapi aku sudah memilih untuk menikmati semuanya dan membuatnya menjadi hal yang membahagiakan.
“Kalau kamu ada di posisiku, kamu juga akan mampu menjalaninya Da. Mungkin juga lebih baik dari pada aku. Makanya cepatlah menikah biar kamu juga merasakannya,”  kelakarku dan kami berpelukan.
“Terimakasih Da atas bantuanmu selama ini padaku. Bahkan disaat aku butuh seseorang untuk ku berbagi kamu tetap ada denganku,” bisikku.
Aku merasa mataku berkaca-kaca. Aku melepaskan pelukan Aida dan mengipas-ngipas mataku agar air mataku tidak tumpah. Karena kalau tumpah aku akan di make up lagi dan aku tidak suka dimake up. Aida juga melakukan hal yang sama dan kemudian kami sama-sama tertawa.
Aku duduk berdampingan dengan Datuk. Banyak tamu yang hadir. Ucapan selamat juga datang dari banyak instansi dan perusahaan yang ada di berbagai daerah di Sumbar. Bunga papan ucapan selamat berjejer di jalan desa yang tidak begitu lebar. Tidak hanya kolega Datuk, teman-teman kontrakan, teman kuliah, teman sekolah dan guru-guruku turut hadir di pesta itu.
Aku memberikan senyum pada semua tamu yang hadir. Bahkan rumahku terlalu sempit untuk menampung semua tamu. Untunglah ada kursi-kursi yang ditarok di luar sehingga ada tamu yang makan di luar. Dari semua tamu yang hadir ada seorang tamu yang membuat ku kaget. Siapa yang mengundangnya datang ke sini. Aku merasa tidak memberi undangan padanya karena sejak pertemuan terakhirku dengannya aku tidak pernah lagi melihatnya.
Aku makin kaget lagi begitu dia menghampiri pelaminan tempatku berdiri dan langsung memeluk Datuk yang juga memeluknya dengan erat. Mereka terlihat sangat akrab dan saling menyayangi.
“Nur, kamu kenal dokter Yudha kan?” tanya Datuk padaku.
Aku mengangguk dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Dia adalah adik saya yang paling bungsu dan paling saya banggakan,” lanjut Datuk lagi.
Dokter Yudha tersenyum padaku. Senyum yang sulit diartikan.
“Beliau ini adalah dosen saya,” kataku lalu menundukkan kepalaku.
“Dan beliau adalah orang yang mengajarkan saya membuat istana pasir dan menjadi dosen uni,” kata Dokter Yudha berkelakar.
Aku menoleh kaget ke arahnya. Aku tidak pernah tau kalau dr Yudha adalah adik Datuk. Dan panggilan “uni” sangat aneh kudengar keluar dari mulutnya. Aku benar-benar kaget dan tidak tau harus berkata apa lagi. Terjawab sudah semua pertanyaanku. Ternyata dia tau aku akan menikah dari abangnya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar