Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 11


MALAM PERTAMA

Pesta yang melelahkan, rasanya aku ingin sekali segera tidur. Semua tamu sudah pulang dan tinggal beberapa tetangga yang membantu membereskan semua sisa-sisa pesta. Aku juga telah mengganti pakaian adat yang tadi ku pakai dengan baju biasa dan tentunya lengkap dengan jilbab ku. Aku mencari ibu untuk memastikan beliau baik-baik saja. Aku khawatir beliau kecapean dan sakit lagi.
“Ibu baik-baik saja Nur,” kata ibu.
“Nur bantu ya bu,” aku menawarkan bantuan pada ibu. Sebenarnya aku hanya ingin menghindar dari kamar pengantin itu. Aku merasa risih berada di sana. Seandainya Aida masih di sini tentu ada yang bisa ku ajak bicara tapi dia sudah pulang bersama teman-teman ku yang datang dari Padang.
“Kamu nggak boleh di sini nak, cepat masuk kamar dan bawakan susu ini untuk suamimu,” pinta ibu seraya memberiku segelas susu putih.
“Lakukanlah kewajibanmu sebagai istri nak, dan jadilah istri yang baik untuk suamimu,” nasihat ibu.
Aku benar-benar tidak bisa membantah ibu lagi. Dengan gontai aku melangkah memasuki kamar pengantin. Aku benar-benar takut untuk memasukinya dan menemukan Datuk di dalamnya. Ku buka pintu kamar itu lebar-lebar dan melihat kesekeliling kamar. Ku lihat Datuk sedang memasang kancing baju Koko putihnya dan mengenakan sarung sebagai bawahannya. Aku langsung menunduk dan berjalan menuju bofet yang ada di samping tempat tidur. Aku duduk di sudut tempat tidur itu dan memangku bantal yang ada di tempa tidur itu dengan rasa cemas.
“Nur sudah berwudhu?” tanya Datuk mengagetkanku.
Aku menggeleng.
“Saya akan tunggu Nur untuk shalat berjamaah,” katanya lembut.
Aku bingung apa yang harus aku lakukan lalu berjalan ke luar kamar menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur.
“Mau kemana Nur?” tanya ibu heran.
“Berwudhu bu,” jawabku.
“Lho, di kamar kamu kan ada kamar mandi Nur,” ujar ibu dengan nada heran.
Astaghfirullah, aku baru ingat bahwa sekarang di kamarku ada kamar mandi yang baru dibangun. Alangkah bodohnya aku ini. Mungkin jika ada pasien yang datang untuk berobat aku akan menaruh stetoskop di kepalanya.
Dengan mengucapkan Basmalah, aku berwudhu dan menikmati dinginnya air yang membasahi kulitku. Aku merasa lebih tenang setelah berwudhu. Aku kembali ke kamar shalat Isya berjamaah dengan Datuk. Setelah itu beliau mengajakku shalat sunat dua rakaat. Selesai berdoa beliau menghadap ke arahku dan meyodorkan tangnnya ke arahku. Aku menyalaminya dan menaruh tangannya di keningku.
Usai shalat aku kembali mengenakan jilbab ku sedangkan Datuk duduk di sofa panjang yang ada di sudut kamar. Aku duduk di ujung tempat tidur dan memeluk bantal dengan perasaan tidak menentu.
“Susu ini untuk saya?” tanya Datuk mengambil susu yang ada di bovet dekat aku duduk.
Aku hanya mengangguk. Aku tidak tau apa yang harus ku katakan padanya. Aku tidak tau harus memanggilnya apa. Rasanya tidak sopan aku memanggilnya Datuk karena nama itu sudah seperti nama utamanya. Panggilan abang atau uda juga ku rasa tidak cocok untuknya. Aku berfikir kira-kira para istrinya memanggilnya dengan sebutan apa.
Aku juga tidak tau apa yang harus aku tanyanyakan. Aku sudah banyak mendengar tentangnya, hanya satu yang belum ku tau yaitu aku istrinya yang keberapa.
Dia meletakkan kembali gelas yang isinya tinggal setengah itu di atas bovet lalu duduk di dekatku. Aku jadi makin gelisah dibuatnya.
“Perkenalkan nama saya Erick van Bowell, tapi orang-orang memberi saya gelar Datuak Bandaro Kayo,” katanya.
“Saya Siti Nuraini, panggil saja Nur,” balasku memperkenalkan diri.
Apa-apaan ini, bukankah ini tidak penting dilakukan. Mana ada suami istri berkenalan di malam pertamanya. Bukankah tadi di akad nikah dia telah menyebutkan namaku.
“Umur saya 45 tahun dan pekerjaan saya tidak tetap,” lanjutnya.
Aku hanya diam mendengarnya. Aku sudah tau tentang hal itu.
“Ada yang mau Nur tanyakan?” katanya lembut.
Aku diam sejenak.
“Saya istri Bapak yang keberapa?” pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku. Bahkan aku tidak sadar bahwa aku sudah dapat panggilan untuknya, Bapak.
Dia tertawa mendengarnya. Entah apa yang ditertawakannya, apakah pertanyaanku atau panggilan ku untuknya.
“Nur adalah istri saya yang ke lima,” jawabnya enteng.
Aku tidak terlalu kaget dengan peringkat itu karena aku tau istrinya banyak dan itu bukanlah angka yang fantastik. Tadinya aku mengira lebih dari itu.
“Mengapa Bapak menikahi Nur?” tanyaku lagi.
“Hhmm apakah jawabannya penting buat kamu?” tanyanya balik.
Aku hanya diam. Aku jadi merasa pertanyaanku tidak tepat untuk saat ini, tapi aku sudah terlanjur mempertanyakannya. Aku menganggukkan kepalaku.
“Karena saya ingin belajar banyak dari keluarga mu,” jawabnya membuatku tidak mengerti.
“Apa maksudnya?” tanyaku lagi.
“Nanti Nur akan mengerti,” jawabnya singkat.
“Sekarang tidurlah, Nur pasti letih,” katanya lagi.
“Ada yang mau Nur tanyakan lagi Pak,” kataku.
“Apa?”
“Saat ini Nur bekerja di desa nelayan di Bungus, apakah Nur masih boleh bekerja di sana?” tanyaku terbata dan harap-harap cemas.
Lama sekali Datuk terdiam. Aku jadi berfikir pertanyaanku salah. Hah, kenapa aku menanyakan hal sepenting ini dalam keadaan seperti ini.
“Tentu saja boleh, tidak mungkin saya melarang Nur mengabdikan ilmu yang sudah didapat dengan susah payah,” jawabnya bijaksana.
Aku senang sekali mendengar jawabannya.
“Saya lebih senang melihat kamu tersenyum seperti itu dari pada menagis seperti beberapa hari yang lalu,” kata Datuk sambil berdiri dan mengambil bantal yang ada di tempat tidur. Dia meletakkan bantal itu di sofa dan berbaring di sana.
Aku tidak tau apa maksud tindakan Datuk tapi yang jelas malam itu aku tidur satu kamar dengan Datuk. Aku tidur di kasur sedangkan dia di sofa.
“Tidurlah, karena besok akan lebih melelahkan lagi,” ujarnya dengan senyum tersungging di bibirnya.
Aku sempat melihat senyumannya yang sangat berwibawa dan giginya tersusun dengan rapi. Tidak kalah rapi dan putih dari pada dr Anggraini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar