Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 12


RUMAH DI ATAS BUKIT

Dua hari setelah pesta, Datuk mengantarku ke Bungus. Kalau biasanya aku berangkat ke Bungus naik bus, sekarang aku duduk manis di atas Cerooki hitam Datuk yang mewah. Usai Shalat Zuhur kami berangkat ke Padang. Ibu melepas kepergian kami sampai halaman rumah. Air matanya mengalir begitu aku mencium tangannya. Ibu belum pernah melepas kepergianku dengan air mata, mungkin ibu sedih karena aku sudah punya keluarga sendiri.
Aisyahpun ikut melepasku dengan linangan air mata. Aku yakin memang statuslah yang membuat mereka berat melepasku. Jika hanya jarak tidak mungkin mereka mengeluarkan air mata karena perjalanan 2 atau 3 jam saja telah mengantarkan mereka padaku.
Sebenarnya menurut adat Minang, usai menikah suami tinggal di rumah istrinya. Itu sebabnya bagi orang Minang punya banyak anak perempuan terkadang menjadi beban karena mereka harus membuatkan rumah untuk anak itu. Jika mereka tidak memiliki harta paling tidak mereka memiliki sebuah rumah agar anak perempuannya bisa menikah. Begitu juga jika orang tua meninggal, rumah dan hartanya diwariskan  pada anak perempuan. Tujuannya, jika terjadi perceraian anak perempuan itu tidak akan terbuang dari rumahnya sendiri.
Tapi aku menempuh jalan lain. Bukan karena aku tidak patuh pada adat yang berlaku tapi aku punya tanggung jawab yang harus ku jalankan.
“Nur akan sering-sering pulang menemui ibu dan Ai,” kataku sebelum naik ke mobil.
Sepanjang perjalanan aku tidak banyak bicara dengan Datuk. Jujur saja aku masih merasa canggung untuk berkomunikasi dengannya. Aku lebih banyak diam jika berada di dekatnya. Di perjalanan ke Padang, Datuk mengajakku mampir di sebuah rumah makan yang sangat mewah di daerah Padang Panjang. Rumah makan ini sangat terkenal dan tentunya harganya mahal.
Banyak mobil berderet di parkirannya yang luas. Begitu memasuki rumah makan itu, semua pegawai yang memakai seragam yang rapi itu memberi salam pada Datuk.
”Nur, ini adalah salah satu rumah makan milik kita,” katanya.
Aku terperanjat dibuatnya. Selama ini aku hanya melihat rumah makan ini dari jalan saat aku di dalam bus menempuh rute Padang-Bukittinggi. Aku hanya bisa mengagumi kemewahan dan keramaiannya. Yang makan disana kebanyakan orang-orang yang pakai mobil dan itu bisa menjadi salah satu indikasi bahwa rumah makan ini termasuk rumah makan mewah. Makanannya juga terkenal sangat enak. Dan kini aku baru tau bahwa rumah makan ini adalah milik Datuk, suamiku. Dan tadi dia bilang ini adalah ”salah satu rumah makan milik kita”.
Manager restoran yang ikut menemani kami makan mendiskusikan pada Datuk tentang catering yang dipesan oleh Bupati Padang Panjang untuk acara pernikahan anaknya. Hah, aku hanya bisa berdecak kagum akan keelokan tempat ini. Usai mencicipi makanannya yang memang lezat itu, Datuk berpamitan pada seluruh karyawannya.
Begitu sampai di kota Padang, Datuk membelokkan mobilnya ke kiri, sedangkan untuk ke Bungus, jalannya harus lurus.
“Kita mau kemana Pak?” tanyaku mengira dia salah jalan.
“Ke suatu tempat, sebentar lagi Nur akan tau,” jawabnya misterius.
Mobil itu terus meluncur ke daerah Indaruang dan memasuki sebuah komplek perumahan mewah. Semua rumah yang ada di komplek itu bergaya klasik dengan sentuhan modern. Sangat berbeda sekali dengan lingkungan tempat aku tinggal dan tempat aku bekerja. Rumah ku saja sebelum direnovasi oleh Datuk sangat sederhana. Ada beberapa atap yang bocor sehingga jika hujan turun maka di lantai rumah kami terdapat genangan air. Jika ada orang di rumah, cucuran air hujan itu bisa ditampung tapi jika hujan turun saat tidak ada orang di rumah, terjadilah banjir lokal.
Begitu juga dengan rumah-rumah yang ada di desa nelayan. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan rumah yang ada di desaku. Hanya sedikit orang yang memiliki rumah permanent. Sebagian warga desa masih tinggal di gubuk yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu.
Yah, lain ladang lain ilalang dan lain pula hasil yang diperoleh. Aku hanya merasa takjub dengan orang-orang yang memiliki rumah di sini. Ditengah morat-marit dan susahnya kehidupan saat ini masih ada diantara mereka yang bisa punya rumah semewah ini. Mungkin usaha mereka lebih keras dari pada nelayan yang hanya mengambil apa yang sudah disediakan alam. Sedangkan orang-orang yang ada di sini meningkatkan kualitas sumber daya alam sehingga mereka pun bisa mendapat hasil lebih.
Komplek itu terletak di daerah perbukitan dan rumah-rumah itu lokasinya menyebar. Di tempat tertinggi kawasan itu terdapat empat buah rumah yang memiliki model hampir sama. Datuk kemudian memasuki sebuah halaman rumah dengan pagar besi yang mewah. Halaman rumah itu cukup luas. Lingkungannya terasa sejuk dan hijau. Beberapa pohon cemara tumbuh di halaman itu.
Tanpa ragu Datuk memarkir mobilnya di hadapan rumah itu.
“Ini rumah siapa Pak?” tanyaku.
“Rumah Nur,” jawabnya singkat membuatku ku kaget.
Apakah aku baru saja memenangkan undian Bank tempatku menabung atau undian dari operator kartu Hand Phone? Aku tidak mungkin bisa membangun rumah semewah ini dengan uangku sendiri. Ada tanda tanya besar di otakku, aku mengikuti langkah Datuk memasuki rumah itu. Rumah itu benar-benar menakjubkan dan aku tidak percaya bahwa rumah ini adalah milikku seperti yang dikatakan Datuk.
Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangn kami dengan sangat sopan.
“Perkenalkan Nur, ini adalah Zaedar yang menjaga rumah ini.
Aku mengulurkan tanganku pada wanita yang memiliki wajah keibuan itu.
“Saya Nur,” kataku.
“Kalau saya tidak di sini Zaedarlah yang menjaga rumah ini dan nantinya akan menemani kamu di sini,” jelas Datuk.
“Di sini juga ada Ujang, suami Zaedar yang mengurus taman,” lanjutnya.
“Tapi Da Ujang sedang keluar Datuk,” kata Bu Zaedar.
Setelah memperkenalkan ku pada Bu Zaedar, Datuk kemudian mengajakku berkeliling rumah itu. Dia menunjukkanku beberapa ruangan yang ada di lantai bawah kemudian ruangan yang ada di lantai atas. Semua ruangan di rumah ini bergaya klasik.
“Ini kamar kamu,” katanya membuka pintu sebuah ruangan di lantai 2.
Subhannallah, kamar ini sangat bagus sekalai. Aku mengedarkan pandanganku menyisiri isi kamar yang bernuansa coklat muda dan putih itu. Dalam kamar itu terdapat tempat tidur kayu yang penuh dengan ukiran. Kasurnya beralaskan badcover berwarna cream dengan motif bunga yang anggun. Bofet dan lemarinya pun memiliki ukiran yang senada.
Di sudut ruangan terdapat sebuh sofa panjang. Ruangan itu memiliki kamar mandi sendiri. Di sisi barat kamar itu terdapat sebuah jendela kaca yang sangat besar tertutup tirai berwarna coklat muda dan di sudut-dudutnya tirai berwarna lebih gelap tergantung dengan anggun. Perlahan aku berjalan menuju jendela kaca itu dan menyibak tirainya.
Datuk yang mengkutiku dari belakang kemudian menggeser jendela kaca itu dan kamipun sampai di balkon. Lagi-lagi aku dibuat takjub oleh kebesaran Allah SWT. Dari balkon kamar itu aku bisa melihat kota Padang dan laut walaupun sedikit. Pemandangannya benar-benar menakjubkan. Aku benar-benar tidak percaya ini adalah rumah yang akan aku tinggali.
Tiba-tiba bayangan warga desa nelayan melintas di benakku. Aku harus segera kembali ke desa itu.
“Kamu suka rumah ini?” tanya Datuk.
Aku diam sejenak dan mengatur nafasku.
“Suka, tapi…” aku menggantung kalimatku.
“Tapi Nur harus kembali ke desa nelayan Pak,” tuturku hati-hati.
“Ya, kamu akan tetap bekerja di sana. Setiap Jumat sore saya akan jemput kamu dan membawa kamu pulang ke rumah ini,” kata Datuk dengan senyum tipis di bibirnya.
Aku senang sekali mendengarnya. Tadinya aku fikir Datuk berubah fikran dan menyuruhku tinggal di rumah ini tapi ternyata hanya akhir pekan saja saat aku tidak bekerja.
“Bagaimana?” tanyanya.
Aku menjawab dengan anggukkan. Ada sedikit perasaan aneh yang menyelusup di hatiku. Ternyata Datuk tidak seburuk yang aku fikirkan. Aku juga ingat waktu malam pertama dia tidak melakukan apa-apa padaku begitu juga dengan malam ke dua dan malam berikutnya.
Saya tidak akan melakukan apa-apa pada mu sebelum kamu siap dan tidak takut lagi pada saya. Saya tidak suka melihat kamu menangis seperti saat kita bertunangan dan menikah Nur. Saya lebih suka melihat kamu tersenyum dan tidak ada rasa takut di matamu saat melihat saya. Saya menikahi kamu bukan untuk mendapatkan kepuasan fisik semata tapi sebagai usaha saya untuk terus belajar menjadi manusia,” katanya saat itu.
Aku sangat menghargai itu semua. Tapi aku rasa kali ini Datuk agak berlebihan mengajakku tinggal di rumah sebesar dan semewah ini. Apalagi hanya akan ditinggali oleh kami berdua dan 2 orang yang menjaga rumah ini.
“Maaf Datuk, apakah rumah ini tidak mubazir untuk kita. Rumah ini terlalu besar untuk ditinggali berdua atau berempat,” kataku hai-hati agar tidak terkesan menggurui.
Dia tersenyum sambil menatapku.
“Rumah ini adalah salah satu aset yang saya bangun dengan uang halal Nur. Akan lebih mubazir lagi jika tidak ditinggali sama sekali,” jawabnya enteng.
Setelah beberapa saat Datuk mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan sebuah kartu padaku.
“Ambillah Nur,” pintanya.
“Untuk apa ini Pak?” tanyaku bingung.
“Ini adalah kartu debet yang berisi sejumlah uang yang bisa kamu gunakan untuk keperluan kamu. Kamu bisa menggunakan kartu ini kapan dan dimana saja jika kamu membutuhkan uang,” jelasnya.
Aku terdiam sejenak. Aku benar-benar tidak enak dibuatnya. Di rumah ini semuanya sudah tersedia, aku merasa tidak akan membutuhkan uang lagi. Lagi pula awal bulan depan Insyaallah aku akan menerima gajiku.
“Tidak usah Pak, saya belum membutuhkannya. Kalau saya membutuhkan uang saya akan bicara pada Bapak,” tolakku.
“Ambillah Nur, ini lah salah satu usaha saya untuk adil terhadap kamu,” katanya tegas.
Aku tidak punya kata-kata lagi untuk menolaknya. Aku juga tidak mengerti apa yang dimaksudnya dengan sebagai salah satu usahanya untuk adil terhadap ku. Aku sering dibuat bingung oleh Datuk tapi aku benar-benar canggung untuk bertanya lebih lanjut padanya. Aku benar-benar belum bisa bersikap biasa dan menempatkan diriku secara benar. Aku belum siap untuk ini semua.
“Malam ini kamu menginap di sini saja, besok pagi saya akan antar kamu ke Bungus. Jika butuh apa-apa kamu bisa minta pada Zadar atau saya di kamar sebelah,” katanya lalu meninggalkanku yang terdiam di balkon depan kamarku.
Berarti Datuk tidak akan tidur di kamar ini. Dia hanya mempersiapkan kamar ini untukku. Bukankah kami suami istri mengapa malah tidur di kamar yang berbeda?
”Pak...” panggilku menghentikan langkah Datuk.
”Kenapa Bapak tidak tidur di kamar ini?” tanyaku.
”Saya akan beri kamu waktu untuk menyesuaikan diri dengan semua ini Nur,” ujarnya dengan senyumnya yang menawan.
Matahari mulai condong ke Barat dan dari tempat ku berdiri saat ini aku bisa melihat matahari terbenam meski sedikit terhalang oleh bukit yang mengelilingi laut.
Aku melewati malam pertamaku di rumah dan di kamar ini dengan rasa canggung. Datuk tidur di kamar sebelah kamarku. Aku tidak tau bagaimana bentuk kamar yang ditempati oleh Datuk di sebelah sana, tapi aku yakin pastilah tidak jauh beda dengan kamarku ini. Dan rasa bersalah mulai menyelimuti hatiku karena sebagai istri aku telah mengecewakan suamiku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar