Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 13


BONUS DARI ALLAH SWT

Pagi-pagi usai sarapan Datuk mengantarku ke desa nelayan. Zahara yang sudah siap berangkat ke puskesmas menyambut kedatanganku dengan senang hati. Dia memelukku dan memberikan ucapan selamat.
“Maaf ya uni, saya nggak bisa datang ke pernikahan uni, cuma bisa kirim doa dari sini,” ujarnya.
“Nggak pa-pa, Alhamdulillah pernikahannya lancar berkat doa kamu,” kataku.
“Oya, perkenalkan ini suami Uni,” aku memperkenalkan Datuk padanya. Zahara menyambut uluran tangan Datuk dan menyebutkan namanya.
Karena di rumah itu tidak ada kursi tamu, Datuk dengan senang hati duduk lesehan di atas tikar yang disumbangkan warga tempo hari pada ku. Setelah menghabiskan segelas air yang kuambilkan untuknya, beliaupun berpamitan. Aku tidak tau kemana beliau akan pergi, pulang ke rumah yang seperti istana itu atau ke rumah istrinya yang lain.
“Jaga diri kamu baik-baik, saya akan telpon kamu tiap hari dan hari jumat sore saya akan jemput kamu,” katanya lalu menghidupkan mesin mobilnya. Setelah mengucapkan salam beliaupun meninggalkanku di desa nelayan ini. Hah rasanya tidak ada yang berubah dari kehidupanku saat ini. Aku tetap menjalankan tugasku di sini seperti biasa.
“Uni, Ara mau nanya boleh nggak?” tanya Ara malu-malu saat kami sama-sama berangkat ke puskesmas.
“Apa?”
“Malam pertamanya gimana Ni?”
Aku tersenyum geli sekaligus bingung mendengar pertanyaan Zahara karena kau tidak tau harus jawab apa. Apakah aku harus ceritakan bahwa sampai saat ini aku belum merasakan apa yang dia tanyakan padaku. Mungkin Zahara tidak akan jadi orang pertama yang mempertanyakan hal ini padaku.
“Hhmm gimana ya… Sepertinya kamu harus menikah dan merasakannya sendiri,” jawabku sekenanya. Ara terlihat tidak puas dengan jawabanku.
“Ah Uni, sebelum menikah kan harus tau dulu bagaimana rasanya, sekalian belajar.”
“Tidak perlu dipelajari Ra, itu semua akan terjadi secara alami. Jika nanti kamu menghadapinya kamu akan paham apa yang harus dilakukan,” jawabku sediplomatis mungkin agar dia tidak terus bertanya.
“Dasar ibu dokter, ada-ada saja jawabannya,” sungut Ara.
Aku hanya tersenyum melihat mulutnya yang manyun. Kadang Ara bertingkah seperti anak manja yang sangat lucu. Aku sering ingat pada Aisyah saat Ara mulai memperlihatkan sifat kekanak-kanakannya.
Semua yang bekerja di puskesmas itu memberikan selamat padaku. Bahkan mereka memberiku sebuah kado yang dibungkus dengan kertas kado bermotif bunga-bunga. Mereka benar-benar membuatku tersanjung. Ternyata ditengah kesibukan menjalankan tugas di desa ini, mereka masih menyempatkan diri untuk mempersiapkan kado untukku.
Seperti Zahara, teman-teman yang lain juga mempertanyakan pengalaman malam pertamaku dan aku menjawab dengan jawaban yang persis dengan yang ku katakana pada Zahara. Sedangkan dr Anggraini hanya tersenyum geli mendengar pertanyaan mereka-mereka yang belum menikah. Tepat pulul 09.00 WIB, acara penyampaian ucapan selamat beserta doa dan penyerahan kado berakhir dan kerjapun dimulai.
Hari itu pasien yang datang ke puskesmas cukup banyak. Banyak diantara mereka yang datang menderita demam karena cuaca yang tidak karuan akhir-akhir ini. Hanya dalam waktu setengah jam cuaca yang tadinya panas terik bisa berubah menjadi hjan lebat. Gelombang laut juga lebih tinggi dari biasanya karena kuatnya angin. Isu tsunami juga santer beredar di masyarakat yang tinggal dekat laut seperti desa nelayan.
Begitu semua pasien sudah selesai diperiksa, kira-kira pukul 12.15 WIB, aku dan Zahara berjalan beriringan meninggalkan puskesmas. Tapi langkah kami tertahan begitu mendengar panggilan ibu-ibu tetangga yang biasanya duduk-duduk di bawah pohon cerry yang rindang di luar pagar puskesmas.
Jumlah ibu-ibu yang duduk disana lebih banyak dari pada biasanya. Biasanya hanya ada dua atau tiga orang, tapi sekarang lebih dari lima orang.
“Apa kabar ibuk-ibuk?” tegurku.
“Baik,” jawab mereka serentak.
“Selamat ya atas pernikahannya ibu dokter,” kata ibu Dahlia yang kemudian diucapkan juga oleh ibu-ibu yang lain.
Aku menyalami mereka satu persatu, karena mereka lebih tua dariku maka aku lah yang harus memulai menyalami mereka.
“Kok suaminya nggak tinggal di sini saja dokter?” tanya ibu Dahlia.
“Kapan dikenalkan pada kami?” tanya ibu yang lainnya.
“Beliau kerja juga buk jadi nggak bisa tinggal di sini,” jawabku apa adanya. Toh memang Datuk memliki pekerjaan meskipun katanya itu pekerjaan yang tidak tetap.
“Suaminya yang tadi pake mobil bagus itu ya dokter?” tanya ibuk Eli.
Aku mengiyakannya dengan anggukkan.
“Oh ibuk kira bapaknya,” katanya lagi.
Aku hanya tersenyum mendengar pernyataan ibu itu. Siapapun yang melihat Datuk pasti akan berfikir seperti itu. Pada hal menurutku dia belum terlalu tua. Bahkan dia terlihat lebih muda dari pada usianya. Tapi jika dibandingkan denganku tentu akan terlihat bahwa dia jauh lebih tua dariku.
“Kok perempuan secantik dokter menikah dengan orang yang sudah tua sih? Kan banyak laki-laki yang masih muda mau sama dokter,” timpal yang lain.
“Iya lah, pasti orang kaya kan dokter,” jawab yang lain mewakili ku.
Aku hanya diam mendengar ocehan mereka. Aku tidak punya alasan untuk marah. Karena apa yang mereka katakana itu benar kecuali pernyataan terakhir yang mengatakan “pasti orang kaya”. Pernyataan itu ku rasakan sangat menusuk jantungku tapi untuk apa marah. Mungkin banyak orang yang akan beranggapan begitu, lalu haruskah aku memarahi mereka semua? Belum lagi mereka yang tidak mengatakannya langsung seperti ibuk itu. Aku hanya mengurai senyum menanggapi apa yang meraka katakan.
“Eh ibuk-ibuk, dengan siapa pun ibuk dokter menikah itu kan bukan urusan ibuk-ibuk. Jodoh itu ditangan Allah, terserah Allah mau ngasih siapa dan bagaimana,” jawab Zahara tiba-tiba dengan nada emosi.
Aku langsung menggenggam Zahra. Aku tidak ingin terjadi keributan.
“Maaf ibuk-ibuk, saya permisi dulu sebentar lagi mau Zuhur,” kataku mencari alasan untuk pamit.
“Oh iya ibu dokter,” jawab mereka serentak.
Aku menarik tangan Zahara untuk meninggal tempat itu dan berjalan dengan santai menuju rumah.
“Dasar ibuk-ibuk bawel, suka ngurusin urusan orang lain. Emang apa urusan mereka,” ujar Zahara geram.
“Biar aja Ra, lagian yang mereka katakana benar kok, Datuk memang lebih tua dari uni,” jawabku tenang dan datar.
“Tapi tetap saja itu bukan urusan mereka. Memang apa salahnya punya suami lebih tua dari kita, dasar mereka saja kurang kerjaan dan tukang rumpi,” Zahara tambah geram.
“Udah, nggak usah marah-marah, ntar darah tinggi lho,” candaku.
“Uni sih terlalu baik jadi orang,” protesnya yang hanya ku tanggapi dengan cengiran.
Usai shalat Zuhur aku terdiam di atas sajadah biru ku. Apa yang dikatakan oleh ibuk-ibuk tadi kembali terngiang di telingaku. Perkataan mereka terasa benar-benar menyakitkan. Ya Allah, aku tidak tau apa rencana-Mu untuk kehidupanku. Aku hanya meyakini apa yang Engkau beri padaku, itulah yang terbaik untukku. Tapi semua ini tidak mudah bagiku ya Allah. Ku mohon, berilah aku kekuatan dan kesabaran untuk melewatinya. Jauhkanlah aku dari sifat kufur dan lupa mensyukuri nikmat-Mu ya Allah. Amiin…
Begitu meletakkan sajadah dan mukenaku ke tempatnya, aku berniat membaringkan tubuhku di tempat tidur. Rasanya tubuhku ini sangat lelah sekali ditambah lagi tadi malam aku tidak bisa tidur karena kamar itu terlalu besar dan membuatku tidak nyaman.
Namun baru saja aku memejamkan mata, Zahara berteriak memanggilku.
“Uni, cepat ke sini ada yang nyari,” teriaknya.
Dengan tergesa-gesa ku pasang jilbabku dan berjalan dengan tergesa ke tempat Zahara memanggilku. Zahara berdiri di teras dengan seorang pria paruh baya yang mengenakan baju bertuliskan nama toko perabotan.
“Uni, orang ini mencari uni,” kata Zahara begitu aku menghampirinya.
“Apa benar ibu yang bernama dokter Siti Nuraini?” tanyanya.
“Benar pak, ada apa?” tanyaku balik.
“Kami kesini mau mengantarkan perabotan ini, dan mohon tanda tangan di sini,” laki-laki itu menyodorkan sebuah surat serah terima. Lalu dia menyuruh dua orang temannya untuk menurunkan beberapa barang dari mobil pick up-nya.
“Dari siapa barang-barang itu Ra?”
“Lho, bukannya uni yang membeli ini semua?”
“Bukan. Jangan-jangan orang ini salah kirim.”
“Tidak mungkin uni, alamatnya benar kok.”
Aku dan Zahara saling bertanya siapa yang mengirimkan barang-barang itu. Sementara orang-orang itu terus menurunkan barang-barang dan memasukannya ke dalam rumah. Awalnya meraka membawa TV 21’ beserta raknya, lalu sebuah kulkas dan terakhir seperangkat sofa.
Begitu orang-orang itu pergi aku dan Zahara terpaku melihat rumah dinas kami yang tadinya kosong melompong telah dipenuhi barang-barang yang masih baru itu. Saat tanda tanya belum hilang dari benakku, aku dikagetkan dengan panggilan dari HP yang ku taruh di kantongku.
Di layar tertulis ‘Bapak is calling’
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam Nur, apa ada orang yang nganterin beberapa barang ke sana?” tanya Datuk di seberang sana.
“Oh, jadi barang-barang ini Bapak yang ngirim?” tanyaku.
“Iya, apa kamu suka?”
“Alhamdulillah Nur suka, terimakasih Pak,” jawabku canggung dan ada sedikit rasa tidak enak.
“Mudah-mudahan bermanfaat. Assalamualaikum.”
“Waalikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Terimakasih ya Allah telah memberikan begitu banyak rahmat-Mu pada hamba…
Sorenya aku mendapat kejutan dari Aida. Tiba-tiba saja dia datang ke rumah dinasku dan menginap di sana. Dia sengaja tidak memberi tahu aku karena ingin memberi kejutan. Dia membawakan aku sanjai yang dijual di samping matahari di Pasar Baru. Sanjai itu beda dengan sanjai yang biasanya. Sanjai ini lebih asin dan bumbunya terasa. Dan ini adalah cemilan favoritku.
“Aku bawa kabar gembira Nur, mulai Senin depan aku sudah mulai Koas. Doain sukses ya,” pintanya yang ku jawab dengan anggukkan dan senyum bahagia.
“Oh ya, gimana kabar suamimu?” tanyanya kemudia.
“Baik, tapi aku nggak tau dimana beliau sekarang,” jawabku.
“Apakah perabotan itu beliau yang belikan?” tanya Aida lagi.
“Iya.”
“Orangnya baik juga ya.”
Aku tersenyum mendengar pujian Aida.
“Tapi Da aku benar-benar tidak enak menerima ini semua, aku takut dianggap memanfaatkan dia untuk memperoleh semua ini,” keluhku.
“Nur, Datuk kan suami kamu jadi sudah kewajiban beliau untuk memenuhi semua kebutuhan kamu dan membuat kamu bahagia,” kata Aida.
“Anggap saja ini adalah berkah dari Allah atas kepatuhan kamu terhadap orang tuamu. Ini adalah bonus karena kamu menjalankan ini dengan iklas,” lanjutnya lagi.
Aku hanya diam mendengar kata-kata Aida dan berharap itu semua benar. Aku berharap tidak akan kehilangan gaya hidup sederhana yang sudah tertanam dalam diriku sejak dulu. Aku berdoa semoga semua yang ku miliki saat ini tidak akan menjauhkan ku dari-Nya, tapi akan makin mendekatkanku pada-Nya.
“Ngomong-ngomong Nur, Datuk itu kharismatik ya.”
“What….”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar