Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 14


WHO IS DATUAK..??

Jumat sore Datuk menjemputku lalu membawaku pulang ke rumah kami. Lagi-lagi aku tidak bisa tidur di kamar yang luas itu. Aku duduk di balkon depan kamarku. Dari balkon ini aku bisa melihat halaman belakang yang luas dan pemandangan kota Padang malam hari. Lampu-lampu kota terlihat berkelap-kelip seperti bintang, indah sekali. Lampu yang ada di halaman belakang juga terlihat sangat indah. Taman di belakang rumah itu lebih bagus dari pada halaman depan karena ada kolam yang isinya ikan koi ukuran besar. Warnanya beraneka ragam dan mereka berenang hilir mudik mengelilingi kolam. Seandainya ibu dan Aisyah ada di sini mereka pasti juga akan menyukai pemandangan di sini. Lama sekali aku berada di balkon itu dan baru kembali ke kamarku kira-kira jam 11.00 WIB. Setengah jam kemudian aku baru tertidur.
Keesokan paginya aku bangun dengan tubuh yang segar. Usai shalat subuh aku menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan untuk Datuk. Ternyata di dapur juga sudah ada Bu Zaedar yang sedang beres-beres.
“Ada yang bisa saya bantu Bu?” tanyaku.
“Ah tidak usah dokter, nggak banyak kok yang mau saya kerjakan,” tolaknya halus.
“Biasanya Bapak sarapan apa?” tanyaku lagi.
“Biasanya Bapak makan roti dan segelas kopi. Tapi nanti kira-kira jam setengah sembilan. Selesai shalat subuh Bapak biasanya jalan pagi mengitari komplek ini. Ibu Dokter tidak ikut?” tanya Bu Zaedar.
“Oh tidak…” jawabku.
Bu Zaedar sama sekali tidak tau kalau aku tidak sekamar dengan Datuk. Aku menuju balkon atas depan untuk melihat suasana sekitar komplek. Udara di sini segar sekali dan pemandangannya juga sangat bagus. Jalanan sekitar komplek itu terlihat sepi. Dari jauh aku melihat Datuk sedang berlari-lari kecil sambil sesekali mengayun-ayunkan tangannya. Tidak heran Datuk terlihat bugar dan tubuhnya tidak seperti Bapak-bapak kebanyakan. Tubuhnya masih terlihat tegap dan kekar.
Datuk itu kharismatik ya” kata-kata Aida terngiang di telingaku.
Aku jadi tersenyum sendiri mengingat apa yang dikatakan sahabatku itu. Hah, dia itu ada-ada saja. Aku belum pernah memperhatikan wajah Datuk lebih dari dua puluh detik jadi aku belum menangkap pancaran dari wajahnya. Tidak lama kemudian Datuk telah berada tidak jauh dari rumah kami seiring dengan matahari pagi yang mulai meninggi dan terasa hangat. Aku lihat Datuk sepertinya tengah menikmati matahari pagi itu di sebuah bangku batu di samping gerobak penjual susu kedelai.
Aku kembali ke dapur dan membantu Bu Zaedar mempersiapkan sarapan untuk Bapak.
“Buk, kebiasaan sehari-hari Bapak apa saja?” tanyaku sambil mengolesi selai di roti.
“Kalau pagi selesai shalat Subuh Datuk keliling komplek untuk olah raga, beliau baru pulang pukul delapan kurang lalu mandi. Pukul setengah sembilan beliau sarapan dan berangkat ke kota. Baru pulang lagi sebelum Maghrib, kalau beliau bawa pekerjaan pulang ke rumah, beliau bisa bekerja di ruang kerjanya seharian. Tapi kalau di rumah istri beliau yang lain saya tidak tau,” jelas Bu Zaedar.
Aku manggut-manggut.
“Bu dokter adalah orang yang beruntung bisa menikah dengan Bapak,” ujar Bu Zaedar yang membuatku kaget.
“Kenapa?” tanyaku heran.
Bagiku menikah dengan orang yang lebih pantas menjadi ayahku dan menjadi istri kesekian bukanlah sebuah keberuntungan tapi takdir yang sulit namun harus ku terima.
“Walau istri Datuk banyak, tapi ada-ada saja orang tua yang meminta Datuk menikahi anaknya,” jelas Bu Zaedar membuatku tidak percaya.
“Benarkah?” tanyaku dengan nada ragu.
“Iya, sebulan yang lalu saja ada ibuk-ibuk yang menawarkan anaknya yang baru berumur 20 tahun untuk menikah dengan Datuk, tapi Datuk menolaknya.”
“Kenapa?”
“Saya tidak tau”
“Sebenarnya istri Datuk ada berapa sih Buk?” tanyaku lagi.
“Datuk nggak cerita pada dokter?” tanya Bu Zaedar balik.
“Bapak bilang saya istri kelimanya tapi beliau belum cerita lebih banyak karena saya tidak mempertanyakannya,” jawabku.
Bu Zaedar memperhatikanku dengan tatapan heran.
“Bapak sudah menikah lima kali…” wanita paruh baya itu mulai bercerita.
“Istri Datuk yang pertama sudah meninggal 20 tahun yang lalu saat melahirkan, bayinya ikut meninggal. Dua tahun kemudian Bapak menikah lagi dengan seorang perawan tua dari desa dokter dan mereka memiliki satu anak yang sekarang berumur 15 tahun. Bu Dokter kenalkan dengan Salma?” tanya Bu Zaedar dan ku jawab dengan anggukan.
Salma adalah seorang guru SD yang tinggal di Kapau yang rumahnya sangat bagus itu. Dia baru menikah di umur 30 tahun dan menjadi gunjingan orang kampung karena dianggap perawan tua.
“Ketiga, Datuk menikah dengan seorang janda yang punya dua orang anak, tapi mereka hanya menikah setahun karena ternyata janda itu bukan wanita baik-baik. Dia hanya mengharapkan harta Datuk. Datuk menceraikan dia setelah ketahuan mencuri uang Datuk dalam jumlah yang tidak sedikit. Kemudian Datuk menikah lagi dengan seorang janda beranak satu bekas pegawainya di show room mobil namanya Aryuni. Lalu yang terakhir Bu Dokter,” jelas Bu Zaedar panjang lebar.
Berarti saat ini Datuk hanya memiliki tiga orang istri dan seorang anak kandung. Memiliki harta yang begini banyak tapi hanya memiliki seorang anak kandung dan seorang anak tiri. Sementara orang yang kehidupannya pas-pasan atau susah memiliki banyak anak. Bahkan waktu sekolah dulu aku punya seorang teman yang memiliki 10 orang saudara. Orang tuanya hanya petani biasa dan kehidupan mereka cukup memprihatinkan.
Bagaimana dengan saudara Datuk Buk?” tanyaku lagi.
“Datuk cuma dua bersaudara. Bapaknya orang Belanda dan ibunya orang Minang asli yang berasal dari desa Bu Dokter. Tapi saat Datuk berusia 15 tahun ibu beliau meninggal dan Bapaknya Datuk menikah lagi dengan orang Padang...”
Ya, aku memang pernah dengar tentang itu.
“Adik Datuk bernama Yudha van Bowell dia juga seorang dokter. Yudha adalah adik sebapak Datuk. Jarak umur mereka sangat jauh, 21 tahun. Begitu kedua orang tua mereka mendapat kecelakaan dan meninggal saat Yudha masih berusia 10 tahun, dia dibesarkan oleh Datuk. Alhamdulillah Yudha sudah jadi orang sekarang. Datuk amat sangat menyayangi orang-orang terdekatnya. Bahkan Datuk juga telah banyak membantu saya dan keluarga saya. Saat suami saya tidak dapat pekerjaan, Datuk memberi kami pekerjaan dan membantu biaya sekolah dua orang anak kami,” cerita Bu Zaedar.
Aku benar-benar tersanjung mendengar cerita tentang Datuk. Ternyata beliau adalah seorang yang bertanggungjawab dan sangat menyayangi keluarganya. Hanya satu yang disayangkan imagenya sebagai orang yang doyan kawin sudah terpatri di benak setiap orang.
Tapi sungguh aku sama sekali tidak tau tentang apa yang barusan diceritakan oleh Bu Zaedar. Aku jadi ingin tau lebih banyak tentang suamiku itu. Dengan seksama aku dengarkan setiap cerita Bu Zaedar sampai-sampai aku tidak melakukan apa-apa karena terpana melihat Bu Zaedar bercerita begitu semangat. Terlihat jelas bahwa Bu Zaedar sangat mengagumi sosok Datuk.
Pukul setengah sembilan kurang beberapa menit Datuk telah duduk di meja makan dan memakan roti dan menghirup kopi yang ku buatkan untuknya.
“Hhmm, enak sekali rasanya tidak seperti biasa, apa kamu yang membuatnya Nur?” tanya Datuk padaku yang duduk di sampingnya. Aku menganggukkan kepalaku. Beliau kembali menikmati roti sarapannya dan meminum kopi buatanku hingga habis.
“Apakah nanti siang kamu ada acara?” tanya Datuk padaku.
Aku menggleng.
“Nur maukan menemani saya nanti siang,” tanyanya lembut.
Aku mengangguk.
“Kita akan pergi habis Zhuhur,” kata beliau sambil mencuci tangannya di kobokan yang sudah tersedia. Datuk kemudian beranjak dan kembali ke kamarnya.
Aku bosan sekali berada di rumah sebesar ini. Begitu melihat pintu kamar Datuk aku jadi tergoda untuk melihat apa yang sedang beliau lakukan di dalam kamar itu. Tapi tanganku tertahan begitu akan mengetuk pintunya. Rasanya tidak mungkin aku masuk ke dalam tanpa alasan yang jelas. Untung saja aku mendapatkan akal. Aku segera turun menuju dapur, mengambil segelas air putih dan membawakannya untuk Datuk.
Begitu masuk ruangan itu aku terpana melihat sekelilingnya. Ruangan itu terasa dingin karena ber-AC, di sekelilingnya terdapat rak-rak yang dipenuhi oleh buku. Datuk duduk di belakang meja kerjanya dan sibuk mengotak atik laptop yang ada di depannya. Ternyata ruangan ini bukan kamar tapi pustaka dan ruang kerja Datuk. Tidak ada tempat tidur atau kasur di sana, hanya sebuah sofa panjang yang diatasnya ada bantal dan selimut. Jadi di sanalah Datuk tidur. Aku merasa sangat bersalah. Sementara aku tidur di kasur yang empuk, Datuk tidur di sofa. Alangkah berdosanya aku sebagai seorang istri.
“Nur…” panggil Datuk mengagetkanku. Aku jadi salah tingkah ketahuan melamun.
“Tarok airnya di sini saja,” pintanya dengan suara lembut.
Aku berjalan menuju meja beliau dan menaruh gelas berisi air putih itu di atas mejanya. Lagi-lagi aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Lama aku berdiri terpaku di dekat meja Datuk tanpa berbuat dan berkata apa-apa. Aku memperhatikan wajah Datuk yang terlihat sangat serius.
Benar yang dikatakan Aida, Datuk terlihat berkharisma. Wajahnya putih bersih dengan mata yang teduh. Dia terlihat lebih muda dari umurnya walaupun garis wajahnya tetap menunjukkan umurnya jauh lebih tua dariku. Kalau diperhatikan secara seksama beliau memiliki kemiripan dengan Yudha. Dug..., tiba-tiba jantungku berdebar.
“Nur, kenapa berdiri saja? Duduklah,” pintanya mengagetkanku dan lagi-lagi aku salah tingkah dibuatnya.
Dengan wajah yang terasa memanas aku duduk di satu-satunya sofa yang ada di sana. Datuk kemudian menghampiriku dan menyerahkanku setumpuk map.
“Apa ini Pak?” tanyaku.
“Ini semua adalah daftar perusahaan kita,” jawabnya singkat.
Aku memperhatikan map-map itu dengan tatapan heran tanpa berani menyentuhnya.
”Kamu berhak tau apa saja harta suamimu,” ujar Datuk seolah bisa membaca pikiranku.
Aku membuka satu map yang paling atas. Itu adalah berkas kepemilikan Mall yang ada di kota Padang, lengkap dengan surat-surat lainnya. Lalu ku ambil lagi map selanjutnya yang berisi tentang surat kepemilikan 100 Ha kebun sawit di daerah Riau. Begitu juga map-map lainnya. Semua map itu berisikan semua aset milik Datuk, tidak hanya di Sumatera Barat tapi juga ada di Riau. Subhanallah, aku benar-benar tidak menyangka Datuk memiliki harta sebanyak itu. Pantas juga orang-orang berfikir aku menikah dengan pria tua karena harta. Hah, aku benar-benar tidak habis pikir.
***
Dua hari bersama Datuk di rumah kami dan berkunjung ke beberapa tempat, membuatku mengetahui banyak hal tentang suamiku itu. Datuk adalah orang yang ramah pada siapa saja. Tidak ada yang mencolok dari penampilan atau omongannya. Beliau tidak banyak bicara dan bicara yang penting-penting saja. Beliau terlihat akrab dengan siapa saja namun wibawanya sebagai seorang pemimpin tetap terlihat. Beliau juga adalah sosok yang perhatian dan peduli pada orang lain.
Beliau suka makan sayur dan buah-buahan. Dalam mobilnya beliau selalu membawa buah-buahan, terutama apel merah. Datuk membawaku ke beberapa perusahaannya. Beliau memperkenalkanku pada manager dan orang-orang penting lainnya di perusahaan itu.
”Bisa saja nanti jika saya tidak sempat mengecek keadaan di sini, Ibu Nur yang mengecek ke sini, dan saya harap kalian bisa membantu beliau,” ujarnya pada mereka.
Aku hanya tersenyum ketika mereka menoleh ke arah ku. Apa kah itu artinya Datuk mempercayakan perusahaannya padaku? Hah, aku kan tidak punya basic ilmu manajemen.
Sebelum mengantarku pulang ke rumah dinas, aku sempat menemani beliau mengecek salah satu mallnya yang ada di kota Padang, aku melihat sebuah laptop warna putih 10 inci di sebuah toko komputer di dalam mall itu. Aku sudah lama menginginkan sebuah laptop tapi aku belum sanggup membelinya. Apa lagi laptop itu luar biasa mahalnya, Rp 15 juta. Aku jadi ingat puskesmas yang semua datanya masih ditulis secara manual. Alangkah bagusnya jika di sana ada komputer meskipun hanya komputer biasa.
Aku teringat pada kartu debet yang diberikan Datuk padaku tempo hari. Jika aku mau  aku bisa saja membeli laptop atau komputer untuk puskesmas desa nelayan. Begini cerinya, tadi waktu berada di depan Mall, aku mampir dulu ke ATM, rencananya aku mau transfer uang untuk ibu dan adekku di kampung melalui ATM.
Usai mentransfer uang dari ATM ku, iseng ku masukkan ATM yang diberikan Datuk. Begitu aku melihat berapa jumlah saldo dalam ATM itu, berkali-kali aku meyebut nama Allah. Berulang-ulang aku menghitung jumlah nol yang tertera di sana sampai aku yakin dalam rekening itu ada uang sebesar Rp 100 juta. Subhanallah, aku hampir pingsan melihat jumlah uang sebanyak itu. Jangankan Rp100 juta, uang Rp 2 juta saja belum pernah tersimpan dalam rekeningku.
Dengan uang itu aku bisa saja membeli laptop yang kuinginkan bahkan barang-barang yang lain pun bisa aku beli.  Tapi aku tidak mau kehilangan kesederhanaan yang sudah dipupuk sejak aku kecil. Tidak sulit belajar menjadi orang kaya, tapi sangat sulit belajar menjadi orang yang sederhana. Aku tidak akan menghambur-hamburkan uang yang diberikan Datuk padaku.
Begitu sampai di rumah dinasku, Datuk memberikan sebuah kotak yang dibungkus rapi. Begitu beliau meninggalkan rumah dinas kecilku, ku buka kotak itu, ternyata isinya laptop yang ku lihat di mall tadi. Aku tidak menyangka ternyata Datuk mengetahui bahwa aku menyukai laptop itu.
Air mataku jatuh ketika itu juga. Aku benar-benar tidak tau apa yang harus aku lakukan. Aku hanya terpana meliha laptop itu tanpa berani menyalakannya. Dan aku tidak tau apa yang aku tangisi. Apakah ini tangis bahagia atau malah tangis sedih? Sedih karena aku masih belum sadar dan aku lupa mensyukuri rahmat Allah yang memberiku suami yang begitu baik.
***
Pulang dari puskesmas aku teringan Rosa, sudah empat hari aku tidak bermain dengan bocah kecil itu. Usai shalat Ashar aku berkunjung ke rumahnya dan bermain bersamanya di tepi pantai seperti biasa. Dia banyak bertanya kenapa aku jarang mengunjunginya akhir-akhir ini.
“Oca suka kangen sama Ibu doktel karena ibu doktel udah jarang main ke rumah Oca,” ujarnya.
“Maaf ya sayang, Ibuk kan udah punya suami jadi setiap hari Jumat sampai Minggu, Ibu nggak bisa main sama kamu sayang,” jawabku.
“Kalau Ibu udah punya suami belalti bental lagi akan punya dedek donk?” tanyanya lugu.
Aku menjawabnya dengan tawa geli. Anak sekecil dia sudah tau tentang hal itu. Bagaimana mungkin aku punya anak, samapai detik ini Datuk belum pernah menyentuhku. Bagi wanita yang telah menikah itu adalah aib, tapi bagiku itu bentuk ketidaksiapanku menjalani semua ini. Hhhaahh...
Aku kembali teringat janjiku untuk memberikan Rosa kaki palsu agar dia bisa berjalan dan sekolah lagi. Dengan uang yang diberikan Datuk aku bisa saja membelikan kaki palsu buat Rosa kapan saja, tapi aku harus minta persetujuan Datuk. Kalau nanti beliau menjemputku aku akan membicarakan hal ini padanya dan memperkenalkan beliau pada Rosa.
Mata hari terbenam sore itu sangat indah. Sinar jingganya membentur awan membentuk siluet istana yang sangat megah. Sunggh indah dan sempurna alam ini diciptakan Allah SWT.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar