Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 15


BADAI PASTI BERLALU

Siang itu baru saja aku memejamkan mata dan melangkahkan angan ke gerbang mimpi. Aku benar-benar merasa tidak enak badan, sepertinya aku demam karena tadi malam aku hujan-hujanan dari desa sebelah. Tapi belum sempat aku tertidur, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara teriakan Ara membangunkanku.
”Uniiii, gempaaaaa...”
Aku langsung meloncat kaget begitu mendengar teriakan Ara. Gempa merupakan momok bagi warga Padang akhir-akhir ini karena santernya isu tsunami setiap kali terjadi gempa, apa lagi bagi warga yang tinggal di pesisir pantai. Gempa itu cukup kuat, bahkan aku sampai mual dibuatnya.
”Apakah bencana itu akan terjadi?” tanyaku dalam hati.
Meski ini bukan gempa pertama yang aku rasakan tapi tetap saja rasa takutku seperti orang yang pertama kali merasakan gempa. Bergegasku ku pakai jilbabku dan bersama-sama Ara berlari keluar rumah.
Jalanan telah dipadati warga yang khawatir rumahnya akan runtuh. Tak lama kemudian kepala desa mengomandoi agar kami semua lari ke bukit untuk menghindar jika terjadi tsunami. Dengan langkah agak sedikit gontai ku ikuti warga kampung nelayan berlari menuju bukit. Kepanikan terlihat jelas di wajah mereka yang mengungsi.
Begitu sampai di atas bukit, kami terdiam dan sibuk dengan pemikiran masing-masing. Ada yang komat-kamit, ada anak-anak yang menangis mencari ibunya dan ada orang tua yang menatap nanar ke arah pantai yang masih terlihat jelas dari bukit itu dan ada juga yang sibuk mengemasi barang-barang berharga milik mereka. Sedangkan aku duduk bersandar pada sebatang pohon, aku benar-benar pusing. Meski gempa telah berhenti tapi bagiku permukaan bumi masih belum rata. Lama aku tertunduk tanpa berani membuka mata.
Setelah satu jam gempa berlalu, kami masih tetap di bukit karena khawatir akan terjadi gempa lagi. Kepala desa meminta agar kami tetap di atas bukit sampai ada kepastian tidak akan terjadi tsunami. Sementara aku masih tetap duduk tenang di tempatku. Sesekali Ara menanyai keadaanku karena ia melihat wajahku sangat pucat. Aku benar-benar berharap jika memang harus sakit janganlah saat ini. Tapi makin lama tubuhku trasa makin lemah dan tidak bertenaga. Aku terus berdoa sampai ku rasakan sebuah tangan menyentuh bahuku lembut.
”Dokter Yudha...” bisikku lirih saat melihat sosok Yudha berdiri di depanku.
”Kamu baik-baik saja kan?” tanyanya yang hanya ku jawab dengan anggukan kecil.
Perlahan dia duduk di sampingku dan menyodorkan sebotol air mineral padaku.
”Datuk memintaku datang ke sini untuk menjaga kamu karena beliau sedang di Jakarta,” kata Yudha.
”Terimakasih,” kataku lirih.
”Nur, kamu yakin baik-baik saja?” tanyanya lagi dengan nada cemas.
”Hhhhmmm...” aku mengangguk.
”Tapi kamu terlihat sangat pucat,” lanjutnya.
Ku coba untuk mengangkat kepalaku agar dia yakin aku baik-baik saja tapi tiba-tiba pemandanganku menjadi gelap dan aku tidak tau apa yang terjadi selanjutnya.
***
Kepalaku terasa sangat berat begitu aku membuka mata. Ku coba mengedarkan pandanganku yang masih kebur ke sekitar. Entah apa yang telah terjadi tapi aku sangat mengenali tempat ku berada saat ini. Ini adalah kamar ku di rumah yang sangat mewah itu. Begitu aku benar-benar sudah sadar aku baru ingat bahwa tadi aku tidak sadarkan diri di atas bukit setelah melihat dokter Yudha.
”Alhamdulillah, bu dokter sudah bangun,” ujar Bu Zaedar.
Aku berusaha untuk bangkit dari tempat tidurku. Dengan sigap Bu Zaedar mengambil bantal dan menaruhnya di belakangku sehingga aku bisa bersandar dengan nyaman.
”Siapa yang membawa saya ke sini Bu?”
”Pak Yudha dan sekarang beliau masih ada di luar.”
Pastinya adik iparku itu yang membawaku ke sini karena dialah orang terkhir yang ku lihat sebelum aku pingsan tadi.
”Sebentar Bu saya ambilkan minum dulu,” ujar Bu Zaedar dan bergegas berjalan ke luar kamarku.
Tiba-tiba aku ingat pada Ara dan warga desa yang tadi mengungsi ke atas bukit. Ku raih handphone ku dan memencet nomor handphone Ara.
”Assalamualaikum,” sapa Ara di seberang sana.
”Waalaikumsalam warahmatullah, gimana keadaan kamu dan warga desa di sana Ra?” tanyaku.
”Tidak apa-apa Uni, semuanya aman terkendali. Tadi sudah ada pengumuman bahwa gempa itu tidak berpotensi tsunami jadi semuanya sudah kembali ke rumah masing-masing,” jelasnya.
”Alhamdulillah.”
Aku lega mendengarnya. Aku khawatir jika ada yang membutuhkan ku karena tiba-tiba ada yang sakit atau terluka. Syukurlah...
”Keadaan Uni gimana?”
”Alhamdulillah sudah tidak apa-apa.”
”Tadi uni tiba-tiba pingsan, untung saja ada dokter Yudha. Karena uni nggak sadar juga dia menggendong uni dan langsung membawa uni pulang.”
Apa...??? jadi Yudha menggendongku? Astaghfirullahalazhim. Aku benar-benar tidak enak dibuatnya. Entahlah ini salah atau tidak, yang jelas dia bukan mukhrimku walau sekarang kami sudah berstatus saudara ipar.
”Ya Allah mudah-mudahan Engkau ampuni aku jika itu salah,” doaku dalam hati.
”Ya sudah kalau gitu hati-hati di sana, Assalamualaikum...” ujarku mengakhiri pembicaraan dengan Ara.
”Waalaikumsalam warahmatullah...”
Tak lama kemudian Bu Zaedar pun datang membawa sebuah nampan. Di belakang Bu Zaedar ku lihat sosok dokter Yudha mengikutinya. Tapi langkahnya terhenti di depan pintu begitu menyadari aku tidak mngenakan jilbab.
Bergegas ku pasang jilbabku dan merapikan pakaianku agar tidak terumbar auratku. Dengan hati-hati Bu Zaedar menaruh nampan yang dibawanya di atas bofet. Dokter Yudha pun memasuki kamarku setelah mengucapkan salam.
”Bagaimana keadaanmu Nur?” tanyanya lembut.
”Alhamdulillah sudah mendingan,” jawabku.
Dokter Yudha duduk di samping tempat tidurku.
”Sekarang kamu makan dulu biar perutnya tidak kosong. Saya sudah siapkan obat untuk kamu,” ujarnya lagi.
”Saya suapin ya Bu dokter,” kata Bu Zaedar.
”Tidak usah, tapi Bu Zaedar di sini saja,” pintaku.
”Ya sudah, kalau kamu sudah tidak apa-apa saya pamit dulu. Kebetulan saya ada pekerjaan di Rumah Sakit,” pamit Dokter Yudha.
Aku mengangguk.
”Assalamualaikum,”
”Waalaikujmsalam warahmatullah.”
Aku memperhatikan punggung dokter Yudha saat berjalan meninggalkan kamarku. Hati kecilku masih memiliki getaran untuknya. Jika boleh aku jujur jauh di dalam lubuk hatiku aku ingin sekali dia ada di sampingku. Tapi itu jelas-jelas tidak mungkin karena dia bukan makhramku. Sekarang dia adalah adik iparku, dan seharusnyalah aku bersikap sebagai seorang kakak dan wanita yang sudah bersuami. Aku tidak boleh lagi memelihara rasa cinta yang dulu pernah ku rasakan padanya. Untunglah pikiranku segera buyar karena ada telpon dari Datuk.

Usai minum obat aku merasakan tubuhku mulai sedikit ringan. Ku layangkan pandanganku ke hamparan kota Padang yang terlihat jelas dari jendela kamarku. Sore yang indah, matahari perlahan sembunyi di batas cakrawala tanpa awan menutupinya. Suasana sore itu benar-benar sangat damai dan tentram seolah tidak terjadi apa-apa hari ini.
Keindahannya seakan menghapus rasa takut dan cemas yang tadi sempat hadir. Hari kini telah berganti menjadi sangat indah.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar