Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 16


KAPAN PUNYA ANAK, NUR?

Pagi ini ku bangun dengan tubuh yang segar. Kicauan burung yang saling bersahutan bagaikan nyanyian alam yang memberi kedamaian. Rasa sepi yang tadi sempat muncul seolah sirna karena nyanyian itu. Walau berada di rumah yang sangat nyaman, aku merasa sepi. Datuk masih di luar kota dan baru akan pulang besok.
Untuk membuang rasa sepi, usai shalat subuh aku mengenakan pakaian olahraga dan jalan-jalan santai mengelilingi kompleks. Sudah banyak juga warga yang berlari-lari kecil di jalanan sepanjang komplek itu. Aktivitas olahraga juga terlihat di lapangan tenis yang ada di komplek itu. Minggu pagi begini memang enak untuk berolahraga dan bersilaturrahmi dengan para tetangga yang juga menikmati udara pagi ini dengan olahraga. Aku juga sempat berkenalan dan berbincang-bincang dengan beberapa orang tetanggaku.
Setelah lelah berjalan, aku duduk di dekat sebuah gerobak penjual susu kacang kedelai tempat aku pernah melihat Datuk duduk. Aku cukup heran melihat seorang tukang susu bisa masuk ke komplek ini dengan membawa gerobak yang berisi banyak susu kacang kedelai . Setahuku satpam yang menjaga gerbang komplek ini sangat tegas dan tidak membiarkan sembarang orang masuk ke sini. Tapi syukurlah, karena bisa menikmati susu kacang kedelai yang sehat pagi-pagi begini.
”Susu kacang kedelainya satu Pak, yang hangat ya,” pintaku pada pedagang yang sudah paruh baya itu.
Dengan ramah dia mempersilahkanku memilih sendiri rasa yang aku inginkan. Ku pilih susu kedelai hangat yang rasanya original. Ini adalah salah satu minuman kesukaanku. Dulu waktu masih kuliah, aku dan teman kontrakanku suka olahraga pagi setiap hari Sabtu dan Minggu di GOR Agus Salim. Setiap selesai olahraga kami selalu minum susu kedelai yang harganya hanya Rp 1.000,-. Murah dan sehat.
”Mbak ini orang baru ya di sini?” tanya Bapak itu dengan logat Jawa yang kental.
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Tanpa pikir panjang aku duduk lesehan di pembatas jalan dekat Bapak itu jualan.
”Rumahnya yang mana mbak?” tanya si Bapak lagi.
”Nomor 9 A Pak,” jawabku
”Lho rumahnya Datuk ya Buk?”
”Iya... Bapak kenal sama beliau?”
”Ya kenal donk mbak, di sini siapa yang nggak kenal beliau. Orangnya baik begitu. Beliau itu langganan saya, usai olahraga beliau pasti minum susu kedelai saya ini,” cerocos si Bapak.
Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya.
”Mbak ini ponakannya toh?” tanyanya lagi.
Aku jadi geli sendiri mendengar pertanyaan si Bapak, ternyata perkiraannya tidak berbeda dengan kebanyakan orang. Aku sudah mulai terbiasa dengan pertanyaan seperti itu.
”Bukan Pak, saya istrinya,” jawabku sambil tersenyum dan kembali menyedot susu kedelaiku yang tinggal setengah.
”Oh maaf mbak, saya kira ponakannya. Habis mbak masih muda banget sih,” kata si Bapak lagi.
Aku lagi-lagi tersenyum dibuatnya. Aku memang sudah lebih tenang menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Pertanyaan si tukang susu kedelai belum seberapa menyakitkan dari pada pertanyaan orang-orang sebelumnya.
Dulu aku tidak sesabar ini menjawab pertanyaan orang-orang yang menilai buruk padaku. Dua bulan yang lalu, saat baru saja menikah, aku pernah membentak Nek Suir yang mengata-ngatai aku perempuan matre karena mau menikah dengan orang tua kaya. Dia menyindirku dengan mengatakan bahwa aku adalah tukang rebut suami orang dan perempuan tidak benar yang bersembunyi di balik jilbabku.
Aku benar-benar tidak bisa menahan emosi saat itu. Sebenarnya sudah lama aku menahan emosi pada nenek yang usianya hampir 70 tahun itu. Diusianya yang sudah lanjut dia bukannya berfikir bagaimana untuk mendekatkan diri pada Allah, tapi malah sibuk mencari kejelekan orang dan memfitnah orang lain.
Waktu ibu berhutang untuk keperluan kuliahku pun dia suka mengatai ibuku. Ibu tidak pernah melawan atau membantahnya, beliau hanya mendengarkan apa yang dikatakan Nek Suir. Tapi begitu dia mengataiku, aku tidak bisa tinggal diam, aku melontarkan kata-kata yang tidak kalah kasar padanya.
Aku tidak tau setan apa yang merasukiku. Aku benar-benar kehilangan kontrol dan akal sehatku. Untunglah ibu segera menenangkanku dan aku tidak pernah lupa yang dikatakan ibu pada saat itu.
“Tidak usah dimasukin ke dalam hati, anggap saja kamu sedang mendapat ujian kesabaran. Kalau kamu membalasnya dengan emosi berarti kamu tidak ada bedanya dengan orang itu. Dan harus berapa kali kamu memaki orang? Mungkin saja setelah ini akan ada lagi yang mengatakan hal yang sama. Allah Maha Tau apa yang kita lakukan, dan Dia tidak akan menutup hati semua orang akan kebenaran. Jadi jangan terlalu diambil hati, hadapi saja dengan senyuman ya nak,” nasihat ibu waktu itu.
Ternyata memang benar, itu bukan satu-satunya yang pernah membuatku sakit hati. Banyak lagi orang-orang yang kemudian menilaiku seperti itu. Tapi aku hanya berprinsip waktu akan menjelaskan semuanya. Dan selama aku tidak melakukan seperti yang dikatakan orang-orang, aku tidak perlu khawatir karena Allah Maha Tau.
Hhaahh… Minggu yang cerah, sungguh indah dunia di mataku pagi ini. Usai membayar susu yang ku minum aku mohon diri pada Bapak si tukang susu. Dia terlihat senang menerima beberapa uang ribuan dariku. Aku juga membawakan susu itu untuk Bu Zaedar dan Pak Ujang.
Dengan santai aku melangkah menuju rumah klasik dengan sentuhan modern itu. Satu tikungan lagi aku akan segera sampai di rumah yang seperti istana itu. Begitu hendak berbelok, sebuah suara memanggilku dari belakang. Dan kemudian sosok pemilik suara itu berlari kecil menghampiriku.
“Kamu udah nggak apa-apa?” tanya dokter Yudha.
Aku cukup kaget melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Aku mengangguk.
“Oh ya kemarin saya belum sempat bilang terimakasih,” ujarku kemudian.
“Ah nggak usah sungkan begitu,” ujarnya.
Meskipun hanya menggenakan kaos oblong warna putih, celana training dan sepatu sport Yudha tidak kehilangan kharismanya sebagai seorang dokter yang ramah dan baik hati.
“Oh ya, bagaimana rasanya tinggal di rumah ini?” tanya Yudha tiba-tiba.
“Sepi,” jawabku sekenanya.
“Makanya cepat beri saya ponakan donk biar rame,” ujarnya.
Hah, ponakan? Aku belum pernah berfikir sampai ke sana. Jangankan punya ponakan, bersentuhan dengan Datuk saja baru sekedar bersalaman. Ternyata banyak hal lain yang harus dilaksanakan setelah menikah.
“Oh ya, Dokter kapan menikah?” tanyaku spontan.
“Kemarin sih sudah ada rencana, tapi calonnya sudah diambil orang,” katanya dengan nada dan mimik serius.
“Oohh kan masih banyak yang lain Dok,” ujarku.
Yudha tidak menjawab, dia hanya tersenyum simpul. Sejenak aku memandang wajahnya dan menangkap gurat kesedihan di matanya. Siapakah orang yang telah tega mengambil pancaran indah dari mata orang yang diam-diam pernah ku cintai ini. Sementara aku saja ditolak olehnya tanpa satu patah katapun. Kejadian memalukan itu kembali terlintas dibenakku. Sungguh itu sangat memalukan karena pada saat itu aku tidak sadar bahwa tindakanku juga disaksikan oleh dua orang suster yang ada di ruangan dr Yudha.
”Nur,” panggil dr Yudha membuyarkan lamunanku.
“Oh ya ayo masuk dulu kita sarapan bersama,” ajakku mencairkan suasana hening yang tiba-tiba tercipta diantara kami.
“Nggak diajak pun saya bakalan masuk kok Nur,” ujarnya menggoda.
Aku tersenyum mendengarnya dan melangkah memasuki halaman rumah yang ditumbuhi beraneka ragam tanaman hias itu. Beberapa pohon tinggi dan besar di halaman itu terlihat basah daun-daunnya karena embun yang tebal pagi ini. Burung-burung kecil bermain riang terbang dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Seperti rumah ku di desa saja pemandangan seperti ini.
“Pasti kamu nggak tau kalau semalam aku nginap di sini kan?” tanya dr Yudha sambil mengikuti lagkahku.
“Oh ya?” tanyaku tak percaya. Memang sejak kemarin aku tidak keluar kamar sama sekali, jadi aku tidak tau kalau dr Yudha menginap di rumah ku.
“Iya, begitu tau kamu sakit, Datuk memintaku menjaga kamu disini tapi aku nggak ngasih tau kamu biar kamu nggak canggung,” jelas dr Yudha.
“Terimakasih.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi kecuali terimakasih. Sungguh beruntung perempuan yang akan menjadi pendamping Yudha kelak. Dia adalah pria yang penuh rasa tanggungjawab dan memiliki kelembutan yang menentramkan. Tiba-tiba aku ingat Aida. Bagaimana kabar sahabatku itu. Setelah sarapan nanti aku harus menelponnya.
***
Aku mendapat kejutan hari ini. Usai shalat zuhur, Aida datang bersama ibu dan Aisyah. Aku senang sekali melihat mereka. Aku langsung memeluk ibu dengan sangat erat.
“Apa kabar mu nak?”
“Baik Bu.”
“Kok kamu bisa datang ke sini dengan ibu dan Aisyah Da?” tanyaku pada Aida.
“Kemarin usai gempa aku menelpon kamu tapi yang mengangkat telpon Zahara, dia bilang kamu sakit. Aku mau kasih tau ibu tapi takutnya beliau panik ya udah aku jemput aja sekalian,” jelas Aida.
“Tapi kok baru datang sekarang?” tanyaku sedikit merajuk.
“Iya maaf, waktu mau menjemput ibu aku dapat tugas mendadak,” jelas Aida.
Aku langsung memeluk sahabatku ku itu. Entah apa yang bisa aku lakukan untuk membalas kebaikannya.
“Terimakasih,” akhirnya hanya itu yang bisa ku katakan pada sahabatku itu.
“Rumah uni bagus ya? Pasti enak tinggal di sini,” ujar Aisyah.
“Ini bukan punya uni tapi punya Datuk Ai,” ujarku pada Aisyah.
”Rumah Datuk kan rumah uni juga, Ai mau tinggal di sini” lanjut Aisyah lagi.
Aku hanya tersenyum simpul mendengar perkataan Aisyah. Aku sangat memahami pemikiran ABG seumuran dia. Pastilah rumah mewah dengan perabotan mahal menjadi impian semua orang. Apa lagi semua tontonan mengagung-agungkan kehidupan serba mewah seperti ini. Tapi mereka lupa bahwa keluarga lah yang paling penting. Jika boleh jujur aku lebih senang tinggal di rumah kami yang kecil di kampung karena ada ibu dan Aisyah di sana. Sementara di rumah ini penghuninya sedikit tapi ruangannya banyak.
“Nur apa ibu akan segera punya cucu?” tanya ibu tiba-tiba.  
Aku terenyuh mendengar pertanyaan ibu. Pertanyaan itu sudah dua kali aku dengar hari ini. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan ibu. Aku belum siap untuk itu. Bagiku untuk melakukan hubungan suami istri dibutuhkan cinta dan keiklasan. Dan masalahnya ada pada ku.
Berusaha tetap tersenyum aku menggeleng pelan. Aku tidak ingin ibu tau bagaimana hubungan ku dengan Datuk saat ini. Lagi pula memang tidak ada masalah. Toh semuanya juga disetujui oleh Datuk.
Ibu memandangku dengan tatapan penuh cinta.
“Belum rejeki,” ujar ibu pendek.
Untunglah perbincangan yang tidak ku harapkan itu terhenti oleh panggilan Bu Zaedar yang memberitahukan bahwa makan siang sudah terhidang. ’Terima kasih Bu Zaedar udah menyelamatkanku kali ini’ gumamku dalam hati.
Baru saja kami hendak melangkah ke ruang makan tiba-tiba aku mendengar suara mobil memasuki perkarangan. Begitu aku membuka pintu ku lihat Datuk berjalan dengan agak tergesa menghampiriku.
“Kamu nggak pa-pa kan Nur?” tanya Datuk dengan nada khawatir.
Aku menggeleng.
“Syukurlah ibu ada di sini,” Datuk segera menghampiri ibu dan menyalami beliau.
Datuk sangat menghormati ibu. Walaupun di mata orang-orang dia sangat tinggi dan disegani, di hadapan ibu dia tetap menjalankan perannya sebagai seorang menantu. Dia menyalami ibu dan mencium tangannya.
Tidak lama kemudian Yudha juga mencul dan menyalami ibuku.
“Sudah nggak sepi lagi kan?” katanya padaku sambil berlalu.
Aku melihat kearah kumpulan orang-orang itu. Seandainya setiap hari aku bisa menikmati kebersamaan seperti ini. Berkumpul dan makan di meja yang sama, setelah itu berkumpul di ruang keluarga dan bercerita tentang apa saja yang menyenangkan.
Sepanjang kebersamaan kami, Aida tidak terlalu banyak bicara. Aku tidak tau apa yang sedang difikirkan oleh sahabatku itu. Apa gerangan yang membuatnya merasa tidak nyaman?
“Kamu kok diam aja sih Da?” tanyaku pelan.
“Nggak kok Nur, nggak pa-pa,” jawabnya.
“Jangan bohong Da.”
“Bener nggak pa-pa,” jawabnya lagi.
“Aida…” aku mempelototinya.
Dia menoleh ke arahku dengan senyum cemas.
“Aku grogi karena ada dokter Yudha,” bisiknya malu-malu.
Aku jadi tersenyum geli melihat sahabatku itu. Ternyata itu alasannya. Apakah ada sesuatu yang bisa ku lakukan untuk sahabatku ini? Ku harap ada. Aku ingin melihat sahabatku mendapatkan cinta pertamanya. Dan dia juga berhak mendapat pendamping sebaik Yudha karena mereka adalah orang-orang tulus yang pernah aku temui. Jika saja Aida bisa bersama dengan Yudha, pastilah keluarga ini akan terasa sangat menyenangkan. Persaudaraan ku dengan Aida akan semakin kuat karena dia akan menjadi iparku. Seandainya . . .
Malam ini atas persetujuan Datuk aku meminta Ibu, Aisyah dan Aida untuk menginap. Alhamdulillah ibu dan Aisyah bersedia tapi Aida tidak bisa karena dia harus kembali ke Padang Panjang.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar