Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 17


SESUATU YANG TIDAK BIASA

Ternyata kebersamaan dengan ibu dan Aisyah tidak bisa berlangsung lama. Usai shalat subuh ibu dan Aisyah sudah siap-siap untuk pulang ke Bukittinggi karena Aisyah harus sekolah. Datuk meminta supirnya untuk mengantar mereka sampai ke rumah. Tentu saja ibu menolak, tapi Datuk berhasil meyakinkan mereka sehingga akhirnya ibu bersedia diantar.
Aku bisa meliha raut bahagia di wajah Aisyah. Tentu saja dia senang karena jarang-jarang bisa naik mobil pribadi. Aku jadi gemas melihat adikku itu. Aku berharap suatu saat ibu dan Aisyah bisa tinggal bersama denganku. Tapi tentunya atas izin Datuk. Aku mulai nggak tega membiarkan ibu mengurus rumah dengan kondisinya sekarang ini. Ibu seharusnya menikmati masa tua dengan banyak beristirahat bukannya bekerja. Belum lagi dalam hitungan bulan Aisyah akan kuliah, pastinya nanti ibu akan tinggal sendiri.
Sorot mataku tidak bisa berpaling melepas kepergian ibu. Memang jarak Bukittinggi-Padang tidaklah jauh, hanya 2 atau 3 jam perjalanan. Tapi waktu yang membuat jarak itu terasa sangat sulit ditempuh. Aku bekerja di puskesmas kampung nelayan sampai Jumat siang dan kemudian pulang ke rumahku. Hari Sabtu dan Minggu aku bersama Datuk. Beliau kerap membawaku bertemu dengan teman-teman bisnisnya. Dan sebagai seorang istri aku tidak boleh menolak, meski kadang aku harus memendam dalam-dalam rinduku untuk bertemu orang tuaku.
Kadang aku merasa sangat durhaka. Sebagai seorang anak aku belum bisa membahagiakan orang tuaku. Aku belum bisa membalas apa yang telah dilakukan ibu unukku. Aku masih sibuk dengan kehidupanku sendiri, bahkan saat aku menjadi seorang dokter, aku tidak tau kesehatan ibuku sendiri.
Sementara sebagai seorang istri aku tidak menjalankan tugasku layaknya seorang istri. Diam-diam aku sering merasa bersalah pada Datuk setiap kali aku melihatnya tidur di ruang kerja, lari pagi sendirian dan menghabiskan akhir pekannya dengan bekerja. Seorang suami tentu saja ingin menghabiskan waktu libur dengan menikmati kehangatan bersama keluarganya. Tapi aku malah tidak bisa menjalankan peranku sebagai penyejuk hatinya. Aku malah membuatnya seperti orang asing.
Apakah boleh, menikah karena terpaksa ku jadikan alasan untuk membenarkan semua tindakan ku ini? Apakah boleh aku membayar semua rasa kecewaku atas semua yang telah ditakdirkan Allah padaku dengan cara seperti ini? Aku tau semua ini tidak benar tapi aku tidak tau harus mulai dari mana untuk memperbaikinya.
Usai sarapan Datuk mengantarku ke desa nelayan. Pagi itu Datuk terlihat sangat berseri. Beliau mengenakan kemeja coklat tua dan celana dasar warna hitam. Terlihat sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih.
“Datuk itu berkharisma ya” kata-kata Aida kembali melintas di benakku. Dasar Aida, dia paling bisa menggodaku. Tapi memang benarkan?
“Kenapa kamu senyum Nur?” tanya Datuk mengagetkanku.
Seperti orang yang tertangkap basah aku jadi salah tingkah ditanya begitu. Apakah aku harus bilang kalau aku tersenyum karena mimikirkan dia atau harus mencari alasan lain yang lebih serius? Hah, lebih baik tidak memberi jawaban apa-apa.
“Kamu cantik hari ini,” kata Datuk tiba-tiba.
Apakah aku tidak salah dengar? Datuk barusan memujiku. Lagi-lagi aku salah tingkah. Baru kali ini ada laki-laki yang memujiku seperti itu, dan dia adalah suamiku sendiri. Jadi boleh donk aku sedikit bangga. Ternyata beginilah rasanya dirayu oleh seorang laki-laki.
Hari ini aku mengenakan baju gamis warna biru muda dan jilbab dengan warna senada. Stelan yang sedang ku pakai ini adalah oleh-oleh yang dibawakan Datuk untukku kemarin. Sebenarnya aku sangat suka dan nyaman mengenakan pakaian ini tapi aku sedikit canggung karena aku yakin baju ini pasti mahal. Dan aku tidak terbiasa memekai barang mahal. Tapi rezeki diberikan Allah bukan bertujuan agar kita mengeluh bukan?
Sesampai di depan rumah dinasku, Datuk membukakan pintu mobil dan mempersilahkan ku turun.
“Kamu yakin sudah sehat dan bisa bekerja hari ini?” tanya Datuk.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku benar-benar merasa sudah sehat, lagipula aku tau apa yang harus ku lakukan jika tiba-tiba nanti aku merasa sakit.
“Baiklah kalau gitu, kamu hati-hati dan jangan terlalu lelah. Nanti saya akan menginap di sini,” ujar Datuk.
Belum sempat aku menyetujuinya Datuk sudah menaiki mobilnya dan pergi usai memberi salam. Aneh, bukankah seharusnya hari ini dia berada di rumah istrinya yang lain? Mengapa dia malah mau menginap di rumah dinas yang sangat sederhana ini?
Hari ini banyak warga desa yang peduli padaku. Setiap ada yang berpapasan denganku mereka menanyai keadaanku. Saat aku akan membuang umbang-umbang yang ada di halaman rumah, Bapak Kepala Desa yang kebetulan lewat langsung menolongku. Ibu-ibu tetangga juga datang membawakan buah kelapa muda segar dan ikan yang sudah dimasak. Bahkan Zahara pun ikut-ikutan menjadi sangat over protektif. Saat aku akan mengangkat air galon ke atas dispenser dia langsung mengambil alih dan mengangkatnya sendirian.
“Uni jangan kerja berat-berat, nanti keguguran lho,” ujar Ara.
Aku melongo mendengar apa yang barusan dikatakannya. Keguguran? Siapa yang hamil? Aku jadi bingung.
“Siapa yang hamil?” tanyaku heran.
“Uni?” katanya.
Aku jadi tertawa dibuatnya.
“Jadi kamu kira uni hamil?” tanyaku di sela-sela tawaku.
Dengan muka nggak kalah bingung dia mengangguk.
“Dan ini semua karena kalian berfikir saya hamil?” tanyaku sambil menunjuk kelapa muda dan ikan goreng segar.
Lagi-lagi Ara mengguk.
Aku benar-benar tidak bisa menahan ketawa. Ku raih tangan Ara dan meletakkannya di perutku.
“Nggak buncitkan?” tanyaku menggoda.
“Ih uni kami kira uni hamil karena pingsan kemaren,” tawa Ara pecah begitu menyadari kekeliruannya dan orang desa.
Aku jadi heran, mengapa semua orang jadi membicarakan hal seputar anak. Kemarin Yudha dan ibu, sekarang Zahara dan orang desa. Sepertinya sakit kemarin menjadi arti khusus buat ku. Setidaknya ada yang bisa membuatku tertawa setelah kemarin mengalami hari yang cukup menakutkan.
Hari yang menyenangkan di desa nelayan. Warga desa yang sudah seperti keluar bagiku dan yang tidak ingin ku lewatkan adalah bermain bersama anak-anak pantai, tidak ketinggal ada Rosa di sampingku. Menikmati matahari terbenam sambil bermain, itu tidak pernah terlewatkan dan tidak pula terlupakan. Apalagi kalau ada jagung bakar, hhhmmm nikmat.
“Boleh saya bergabung di sini?” tanya Datuk yang kedatangannya tidak kami sadari.
“Hah tentu” jawabku sambil tersenyum.
Belum sempat Datuk beranjak dari tempatnya berdiri tiba-tiba bola kaki yang dimainkan oleh anak-anak pantai itu mendarat mulus di punggungnya. Datuk tampak kaget dengan kejadian itu, sementara anak-anak yang tadinya ribut juga tak kalah kaget. Ketakutan terlihat jelas di wajah mereka yang polos.
Datuk membalikkan badannya dan mengambil bola itu perlahan. Aku jadi khawatir Datuk akan memarahi mereka. Aku tidak bisa bayangkan kalau hal itu sampai terjadi. Aku makin cemas saat Datuk berjalan mendekati gerombolan anak-anak yang terlihat takut.
“Maaf Pak,” ujar salah seorang diantara mereka dengan suara bergetar.
Tapi ternyata Datuk bukannya memarahi mereka, malah dia ikut bermain dengan anak-anak itu. Bahkan dia tidak kalah heboh dibandingkan mereka. Saat anak dari timnya mencetak gol, dia ikut tos-tosan dengan mereka. Dengan cepat Datuk berbaur dengan anak-anak itu.
“Ternyata Datuk baik juga ya ni,” ujar Ara.
Aku hanya tersenyum sambil memperhatikan Datuk yang semakin asik bermain. Hhmm, kadang aku lupa betapa penyayangnya dia. Bahkan semua orang di lingkungan komplek pun sangat menghormatinya karena keramah-tamahannya. Dia disegani bukan ditakuti.
Entah mengapa matahari sore itu seakan kalah saing dengan Datuk. Buktinya mataku enggan beralih darinya. Apa mungkin karena kemeja coklat tua dan celana dasar warna hitam yang dikenaknnya? Entahlah… Yang jelas dia membuat matakku tidak bisa beralih darinya dan membawa tawa bagi anak-anak itu.
Sesuai janjinya malam ini Datuk menginap di rumah dinasku. Karena kamarnya hanya dua, Datuk tidur di kamarku. Aku canggung sekali berada satu kamar dengannya. Setelah 3 bulan menikah, ini kali ke kelimanya kami tidur satu kamar. Sebenarnya aku ingin mengungsi ke kamar Ara, tapi tidak mungkin karena aku tidak ingin Ara berfikir yang macam-macam.
Datuk tidur hanya beralaskan sebuah tikar karena di kamar ku hanya ada kasur singel. Aku menawarkan Datuk untuk tidur di atas kasur tapi dia menolak.
“Saya mengerti mengapa kamu sangat menyukai desa ini Nur,” ujar Datuk.
Aku tersenyum tipis.
“Tawa anak-anak itu mendamaikan hati. Saya seperti menemukan sebagian diri saya yang hilang.” Datuk menarik napas panjang, matanya menerawan seakan mengingat sesuatu.
“Dulu waktu saya seumuran mereka, saya tidak bisa menikmati kebebasan seperti itu. Bapak mendidik saya dengan sangat keras. Saya dipaksa belajar dan tingkah laku saya pun harus seperti bangsawan pada umumnya. Saya tidak sempat menikmati kebahagiaan masa kecil. Ibu yang sangat memahami saya meninggal saat saya benar-benar sedang butuh seseorang untuk mengadu dan mncurahkan semua isi hati saya. Saat Bapak dan ibu tiri saya mengalami kecelakaan dan meninggal pun saya harus menjalani hidup dengan sungguh karena harus mengurus usaha keluarga agar bisa bertahan hidup dengan Yudha. Yudha yang baru berumur 10 tahun kala itu belum benar-benar memahami apa yang terjadi. Tapi saya bersyukur karena memiliki dia dan bisa melihat dia tumbuh sampai sekarang. Dia adalah alasan terkuat saya untuk menjalani semuanya dengan sungguh-sungguh,” Datuk kembali menghela napas.
”Kamu tau Nur, anak-anak tadi mengingatkan saya pada 17 tahun yang lalu. Saat itu saya melihat segerombolan anak-anak sedang bermain bola kasti di lapangan dekat persawahan. Saya bermaksud mau melihat para petani memanen padi dan tiba-tiba bola itu mengenai kening saya hingga memar. Lalu seorang anak perempuan yang kira-kira berumur 7 tahun dan berambut panjang menghampiri saya. Dia menggulung rambutnya dan menggosokkannya ke kening saya. Gadis kecil itu berkata ’Kalau saya jatuh dan terluka, ibu selalu menggosokkan rambutnya ke luka saya dan setelah itu saya tidak merasa saki lagi.
Datuk menghentikan ceritanya. Sementara aku menatap wajah Datuk lekat-lekat. Lapangan yang diceritakannya itu adalah lapangan tempat aku dan ayah sering singgahi, dan gadis kecil yang diceritakannya itu adalah aku. Datuk membalas tatapanku.
”Saat itu saya merasakan sesuatu dalam hati saya dan saya berdoa semoga kelak gadis kecil itu akan menjadi bagian hidup saya, dan ternyata doa itu terkabul,” ujar Datuk.
Aku tidak sanggup berkata apa-apa dan hanya memandangi wajah Datuk yang tenang.
“Terimakasih Nur, kamu membawa damai dalam hidup saya,” ujar Datuk setengah berbisik.
Sungguh aku tidak bisa berkata apa-apa. Padahal baru saja aku merasa sangat berdosa karena tidak bisa membawa kesejukan baginya. Tapi ternyata Datuk malah merasakan kedamaian bersamaku. Aku makin tidak mengerti dengan sosok yang ada disampingku saat ini. Beberapa saat yang lalu aku masih melekatkan image yang tidak baik padanya. Tapi saat ini aku malah melihat dia sebagai manusia biasa yang punya kelemahan dan butuh orang lain untuk menguatkannya.
Entah kekuatan apa yang mendorongku, perlahan ku raih tangannya dan menggenggamnya erat. Tangan itu terasa lembut dan hangat seakan kasih sayangnya mengalir ke dalam jiwaku. Datuk mengingatkanku pada sosok Ayah yang sudah pergi untuk selamanya namun sering ku rindukan. Genggaman itu membuatku nyaman dan dikuatkan.
Aku merasa sesuatu terjadi di hatiku. Ada rasa ingin selalu dekat dengan Datuk. Rasa yang lebih dari sekedar mengagumi. Ada getaran halus di jiwaku yang dulu juga pernah ku rasakan pada Yudha, tapi kali ini lebih kuat. Ada asa ingin memiliki dan takut untuk kehilangan. Hah, mungkinkah ini cinta? Apakah aku telah jatuh cinta? Dan mungkin inilah yang dirasakan Datuk saat aku membantunya dulu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar