Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 19


CINTA ADALAH KEIKLASAN

Beberapa hari ini aku merasa sangat bahagia. Senyum seakan tidak pernah lepas dari bibirku. Rasanya aku tidak sabar menunggu akhir pekan untuk bertemu dengan Datuk. Aku tidak sabar menunggu dia datang menjemputku. Aku rindu padanya.
Kebahagiaanku bertambah karena kemarin dokter Yudha bersedia menjadi pembimbing sementara Aida. Setidaknya ini adalah kesempatan baik untuk mereka agar saling mengenal lebih dekat dan kesempatan yang telah lama kutunggu untuk membantu Aida. Aku berharap Aida bisa segera menyelesaikan koas dan kuliah kedokterannya. Aku sudah tidak sabar berpartner dengannya.
Ku edarkan pandanganku ke sekeliling kamarku yang dipenuhi bunga beraneka ragam. Aku benar-benar bahagia melihat bunga-bunga itu. Mereka bermekaran seperti cinta yang sedang mekar di hatiku. Aku benar-benar tidak sabar bertemu dengan Datuk walaupun jantungku berdebar-debar dan aku tidak tau apa yang harus aku katakan atau ku lakukan di hadapannya nanti.
Jumat sore menjadi hari yang sangat ku nanti-nantikan. Usai shalat Ashar aku segera bersiap-siap karena biasanya Datuk datang sekiar jam 4 sore. Aku mengenakan pakaian terbaikku dan sedikit berdandan dengan harapan Datuk akan senang begitu melihatku. Ara yang melihat penampilanku agak berbeda saat itu tersenyum menggoda. Aku jadi tersipu dibuatnya.
Pukul 4.30 sore terdengar suara mobil memasuki perkarangan rumah dinas ku. Aku bergegas keluar karena yakin itu adalah mobil Datuk, aku sangat hapal suara mobilnya. Begitu aku membuka pintu,  sebuah cerooki hitam berdiri dengan gagah di perkarangan yang tidak terlalu luas itu.
Begitu pintu mobil dibuka, ternyata yang turun dari mobil itu bukan sosok yang ku nanti. Wajah ramah Pak Ujang menimbulkan pertanyaan di hati ku akan keberadaan Datuk. Belum pernah Pak Ujang menjemputku sebelumnya, Datuk selalu melakukannya sendiri.
“Udah siap mau pulang Bu dokter?” tanya Pak Ujang ramah sambil meraih tas yang ku jinjing.
“Iya sudah,” jawabku dan kemudian melangkah di belakang Pak Ujang menuju ke mobil.
Perlahan mobil meninggalkan rumah dinas ku yang sangat sederhana itu.
“Datuk kemana Pak Ujang?” tanyaku pada Pak Ujang.
“Hhmm anu Buk…” Pak Ujang terlihat sedikit bingung menjawab pertanyaanku.
“Kenapa Pak?” tanyaku lagi.
“Sebenarnya Bapak sedang sakit, tapi beliau bilang jangan kasi tau Ibuk dulu biar tidak khawatir,” jelas Pak Ujang akhirnya.
Kenapa Datuk berfikir seperti itu? Malah aku akan lebih kuwatir kalau aku tidak tau keadaannya saat ini.
“Sekarang beliau dimana dan sakit apa Pak Ujang?”
“Beliau di rumah sakit sejak kemarin, magh beliau kambuh,” jelas Pak Ujang.
Kecemasan menggerogoti hatiku. Aku tidak pernah tau kalau Datuk punya penyakit magh. Setahuku beliau sangat menjaga pola makan dan selalu memakan makanan yang bergizi. Untunglah kami segera sampai di rumah sakit tempat Datuk dirawat. Aku berjalan dengan cepat menuju kamar rwatnya.
Begitu pintu kamar VIP itu terbuka, langkahku tertahan dan aku tidak berani masuk ke dalamnya. Seorang wanita dan seorang anak perempuan remaja yang kira-kira tidak jauh beda umurnya dengan Aisyah sedang duduk di samping tempat tidur Datuk. Suasana hangat tercipta diantara mereka. Meski terbaring lemah dengan infuse tertancap di tangannya Datuk masih bisa tertawa.
Wanita itu pasti Salma istri kedua Datuk dan anak itu adalah Lulu anak kandung Datuk satu-satunya. Aku tidak pernah bertemu dengan mereka sebelumnya tapi aku sudah banyak mendengar cerita tentang mereka dari Bu Zaedar.
Ku balikkan tubuhku dan duduk di bangku yang menempel di dinding rumah sakit itu. Perasaanku tidak enak jika harus masuk ke dalam dan merusak kehangatan yang tercipta diantara mereka. Hhhaaahhh aku menghela napas panjang dan menunduk memperhtikan jari-jariku yang tidak bisa berhenti bergerak mengikuti gemuruh dalam hatiku.
Tadinya ku harap bisa segera melihat Datuk dan memegang tangannya agar dia jadi lebih kuat. Tapi ternyata sudah ada orang lain yang melakukan itu untuknya. Bahkan aku tidak yakin Datuk mengharapkanku untuk membesuknya. Dia tidak memberitahuku bahwa saat ini dia sedang terbaring di rumah sakit, mungkin dia ingin bersama istri dan anaknya. Aku jadi merasa tidak dianggap olehnya, aku juga merasa bukan bagian dari hidupnya. Aku benar-benar cemburu melihat wanita itu menyuapi Datuk.
Cukup lama aku tertunduk di sana dan sibuk dengan pikiranku sendiri sampai sebuah suara menegurku.
“Kok nggak masuk Nur?” tanya dokter Yudha yang kemudian duduk di sampingku.
“Ah, tidak apa-apa,” jawabku sambil tersenyum kecut tanpa melihat ke arahnya.
Yudha bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar Datuk. Tapi beberapa detik kemudian dia kembali duduk di tempatnya semula.
“Ooo, itu namanya Kak Salma dan anaknya Lulu,” jelas Yudha seakan mengerti alasanku tidak masuk ke sana.
Aku hanya diam mendengar penjelasan Yudha. Aku tidak tau harus berkata apa.
“Datuk sakit apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Yudha diam sejenak dan kemudian menarik napas panjang.
“Dari waktu dia masih muda Datuk itu udah jadi workaholic sampai-sampai lupa dengan dirinya sendiri. Dia jadi tidak memperhatikan kesehatan dan yang paling parah, maghnya sudah akut. Jika dia melenceng sedikit saja dari jadwal makannya, akibatnya ya seperti sekarang,” terang Yudha.
Aku manggut-manggut mendengarnya. Pantas saja Datuk selalu makan tepat waktu dan dia tidak pernah lupa membawa buahan atau roti setiap akan bepergian. Aku tidak pernah tau itu.
“Ayo,” Yudha berdiri dan mengajakku untuk masuk ke kamar Datuk.
Aku menggeleng, tapi Yudha terus mengajak dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Dan aku tetap menggeleng.
“Sampai kapan kamu nggak mau menghadapi mereka? Cepat atau lambat kamu pasti bertemu dengan istri Datuk yang lainnya. Dan mungkin inilah waktunya,” ujar Yudha lagi.
Entah sejak kapan aku merasa bahwa Yudha sangat memahamiku seolah dia bisa membaca apa yang ada dalam hatiku. Dia selalu punya cara untuk membuatku melakukan apa yang terkadang sulit untuk ku lakukan. Seperti sekarang, aku tidak bisa menolak ajakannya untuk masuk ke kamar Datuk.
Dengan tersendat-sendat aku berjalan mengikuti Yudha memasuki kamar Datuk. Udara sejuk langsung menyambutku dan perlahan mengusir rasa gundah yang tadi memenuhi rongga dadaku. Hatiku mulai tenang begitu senyum Salma mengembang saat pandangan kami saling bertemu.
Senyumannya sangat lembut dan hangat. Aku jadi heran, apa alasan Datuk mencari istri lagi setelah menikahi wanita yang memiliki senyum sangat lembut itu. Padahal wanita itu juga telah memberinya seorang anak perempuan yang sangat cantik. Tapi aku menangkap rona sinis yang terpancar dari mata indah gadis remaja itu. Berbeda sekali dengan Salma yang menyambutku dengan hangat.
“Nur, maaf saya tidak bisa menjemput kamu,” ujar Datuk dengan suara yang sayup.
“Tidak apa-apa Pak,” jawabku.
“Oh ya kenalkan ini Salma,” ujarnya lagi dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Salma menjaba tanganku dengan hangat dan matanya juga memancarkan rasa senang bisa berkenalan denganku. Begitu aku menyodorkan tanganku untuk bersalaman dengan Lulu, gadis remaja yang memiliki rambut ikal itu melengah dan tidak mau menyambut tanganku.
“Lu, nggak boleh gitu nak,” ujar Salma lembut.
“Lulu nggak suka sama orang yang sudah mengambil Papa dari kita,” ujarnya ketus dan kemudian berlari ke luar.
“Ah, maafkan sikap Lulu,” ujar Salma yang merasa tidak enak dengan sikap anaknya.
“Tidak apa-apa Kak,” ujarku pada istri kedua Datuk yang ku panggil Kakak itu.
Suasana hening menyelimuti. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara Datuk terlihat menerawang entah apa yang dipikirkannya. Kejadian tadi pasti berpengaruh tidak baik pada kondisinya saat ini. Aku jadi merasa bersalah sudah berada di ruangan ini karena membawa keributan.
Begitu Salma keluar untuk mencari Lulu suasana masih tetap hening. Yudha pun sepertinya tidak mau ikut larut dalam keheningan pamit dengan alasan harus mencek pasien lainnya. Sedangkan aku masih tetap berdiri di posisiku semula tanpa tau harus berbuat apa.
“Nur, duduklah di sini,” pinta Datuk.
Aku menuruti permintaan Datuk dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Salma.
“Maafin sikap Lulu tadi ya,” kata Datuk.
Aku benar-benar tidak tega mendengar suaranya yang lemah. Biasanya setiap kata yang keluar dari mulutnya sangat tegas dan berenergi. Tapi sekarang aku benar-benar tidak tega mendengar dia bicara. Ku raih tangannya dan menggenggamnya dengan erat.
“Tidak apa-apa Pak,” ujarku sambil tersenyum.
Hari itu terasa sangat panjang bagiku. Berada diantara Datuk, Salma dan Lulu yang memandangku dengan tatapan sinis. Aku menawari mereka untuk pulang ke rumah kami di Indarung, tapi Salma menolak dengan halus. Katanya dia akan menemani Datuk malam ini di rumah sakit. Sedangkan Lulu sudah pasti bisa ditebak tidak akan mau menginap di rumahku.
Sebenarnya aku juga ingin menemani Datuk di rumah sakit malam itu tapi Datuk tidak mengizinkan. Dia malah memintaku untuk pulang dan beristirahat. Aku jadi makin merasa Datuk benar-benar tidak menginginkan kehadiranku. Akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah di atas bukit itu, aku tidak ingin “terusir” lagi dari ruangan ini.
Lampu-lampu kota dimalam hari berkelap-kelip layaknya bintang-bintang yang ada di langit jika dilihat dari balkon kamarku. Aku seperti berada di tempat yang lebih tinggi dari bintang-bintang itu. Gugusannya seakan membentuk sebuah kota yang bernama kota Padang.
Malam hampir larut dan lagi-lagi aku tidak bisa tidur di kamar ini. Hatiku diselimuti kabut tebal dan udara dingin seakan menusuk-nusuk jantungku. Jiwaku seakan dibawanya terbang jauh dari jasatku yang tengah bimbang. Titik demi titik airmataku tumpah tanpa permisi. Aku benar-benar gundah saat ini.
Ternyata cinta tidak seindah ku duga dan keiklasanku untuk menikah dengan Datuk kembali diuji. Ternyata tidak gampang mngiklaskan orang yang ku cintai bersama wanita lain yang juga mencintainya. Bahkan mungkin Datuk juga sangat mencintai istrinya itu.
Aku merasa menjadi seorang pengganggu dan duri dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mungkin Lulu benar, aku telah mencuri seorang ayah dari anaknya dan suami dari istrinya. Tapi sungguh semua ini diluar kemampuanku. Jika aku bisa melawan takdir aku elakkan semua ini agar tidak terjadi. Tapi apa yang harus ku lakukan, aku sebenarnya juga tidak senang berada di posisi ini. Tangisku pecah dan hatiku rasanya sangat sakit sekali.
Malam ini aku bersimpuh di hadapan Allah dan larut dalam setiap doa yang kupanjatkan dengan linangan air mata. Aku yakin Allah senantiasa memberiku pertolongan sehingga aku masih kuat sampai detik ini.
***
Pagi-pagi usai sarapan aku meminta Pak Ujang untuk mengantarku ke rumah sakit. Begitu melewati tukang susu kedelai aku berhenti dan membeli beberapa bungkus untuk ku bawa ke rumah sakit. Walaupun tengah sakit ku harap Datuk tetap bisa menikmati harinya dengan meminum susu kedelai kesukaannya dan sebuah koran.
Begitu memasuki ruang perawatan, ku lihat Datuk sedang asik membaca koran yang sama dengan yang ku belikan untuknya. Aku jadi merasa bodoh sendiri, ini adalah kamar VIP dan tentunya rumah sakit menyediakan apa yang dibutuhkan oleh pasiennya.
“Assalamualaikum,” sapaku.
“”Waalaikumsalam,” jawab Datuk sambil melipat korannya.
Wajahnya terlihat lebih berseri dan segar pagi ini. Dia menyambutku dengan senyum hangat. Ku letakkan kantong plastik yang berisi susu kacang kedelai di rak yang ada di samping tempat tidurnya. Ku buka bungkusnya dan menuangnya ke dalam gelas.
“Wah, terimakasih Nur. Saya memang sangat ingin minum susu kedelai ini,” katanya sambil meneguk susu itu. Aku memperhatikan Datuk sejenak. Aku terhibur melihat dia menikmati susu kedelai itu.
“Tadi kamu bawa apa lagi Nur?” tanya Datuk kemudian.
“Koran Pak, saya kira tidak ada koran di sini,” kataku menahan malu.
“Sini korannya,” ujar Datuk.
“Sama dengan Koran yang Bapak baca kok,” ujarku.
“Tidak apa-apa,” ujar Datuk lagi.
Akhirnya aku menyerahkan koran itu pada Datuk. Tanpa banyak komentar dia langsung membuka koran itu dan membacanya. Sementara koran yang tadi dibaca dibiarkannya terlipat di samping ranjangnya.
Tidak lama berselang Salma datang bersama Lulu. Mereka tadi pergi untuk sarapan. Salma menegurku dengan ramah sementara Lulu berbalik dan pergi entah ke mana.
“Udah lama?” tanya Salma.
“Baru Kak,” jawabku.
“Kamu udah ketemu dokter?” tanyanya lagi dan ku jawab dengan gelengan.
“Tidak usah khawatir, keadaan Bapak udah jauh lebih baik,” jelasnya.
Aku lega mendengarnya. Aku juga lihat Datuk lebih bersemangat hari ini. Aku dan Salma berbincang-bincang sambil menunggui Datuk. Aku benar-benar kagum pada Salma.
Dia adalah guru honor Sekolah Dasar di desa sebelah desaku. Walau sudah mengajar selama 20 tahun tapi statusnya belum juga naik menjadi pegawai negeri. Tapi keadaan itu tidak serta merta membuatnya kecil hati dan berniat untuk pindah. Ia bertahan karena sangat mencintai anak-anak yang ada di desanya. Baginya status dan uang tidaklah penting karena dia masih menerima nafkah dari Datuk.
Aku benar-benar kagum padanya. Dia benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa dan tidak banyak orang seperti dia. Sama sekali aku tidak merasa seperti istri muda suaminya. Dia memperlakukan aku seperti adiknya sendiri. Padahal kalau dilihat-lihat aku lebih pantas menjadi anaknya.
Aku sempat mempertanyakan keberadaan Aryuni istri keempat Datuk. Menurut Salma dia tidak bisa datang karena sedang berada di Jogja untuk menghadiri acara wisuda anaknya. Anak Ariyuni adalah anak tiri Datuk, tapi biaya pendidikannya ditanggung oleh Datuk. Sebenarnya Datuk akan pergi ke Jogja bersama Aryuni, bahkan tiket sudah dipesan, tapi Datuk malah jatuh sakit. Akhirnya Aryuni berangkat sendiri ke Jogja menghadiri wisuda anaknya.
Cukup lama aku berbincang-bincang dengan Salma sampai akhirnya dia berpamitan untuk pulang ke desanya yang berada di sebelah desaku. Walau Datuk belum dinyatakan sembuh benar dia mempercakan Datuk padaku.
”Sekarang giliran kamu untuk jaga suami kita,” katanya dengan senyum mengembang.
Aku benar-benar kagum dengan kebesaran hati wanita itu. Dalam posisinya sebagai istri pertama saat ini, dia tidak mau egois untuk memberikan segenap kasih sayang dan perhatian pada suaminya. Dia masih sempat berbagi dan bisa memberikan senyuman setulus itu. Jika aku berada di posisinya belum tentu aku bisa bersikap semanis itu.
Hatiku terenyuh mengingat curahan hatinya beberapa saat lalu.
”Kakak senang melihat kamu berada di sisi Datuk karena dia benar-benar membutuhkan kamu Nur,” katanya dengan nada serius.
”Ah, Datuk membutuhkan kita semua untuk memberinya dukungan kak,” bantahku merasa tidak enak seakan memonopoli keadaan.
”Datuk benar-benar mencintai kamu Nur, kakak bisa melihat dari sorot matanya.”
Kalimatnya terhenti dan matanya menerawang ke langit-langit rumah sakit.
”Waktu itu Datuk datang ke pada kakak dan menceritakan tentang keinginannya untuk punya istri lagi. Saya sangat kecewa saat itu tapi sudah mulai terbiasa karena sebelumnya Datuk pernah mengemukakan keinginan yang sama. Tapi entah mengapa, saat saya mendengar Datuk ingin menikahi kamu saya merasa sangat cemburu. Saya cemburu karena saya tau Datuk benar-benar mencintai kamu. Tidak seperti saya atau Aryuni yang dinikahi Datuk karena kasihan. Walau Datuk tidak bilang tapi saya bisa rasakan kalau kamu adalah orang yang benar-benar dia cintai. Dan saya senang Datuk akhirnya menikahi wanita yang benar-benar dicintainya. Dia pantas mendapatkan itu karena dia sudah begitu baik. Saya minta kamu jangan pernah mengecewakan beliau Nur,” cerita Salma saat itu.
Aku sangat terharu mendengar penjelasan Salma. Walau aku tidak suka berada di posisi ku saat ini tapi aku berada diantara orang-orang yang berhati mulia dan memiliki keiklasan yang sangat luar biasa.
Aku tidak mengerti apa itu cinta, tapi apa yang dilakukan Salma adalah bukti cintanya pada Datuk dan apa yang Datuk lakukan untukku itu juga sebagai bukti cintanya pada ku. Dan mengapa aku tidak melakukan apa-apa untuk orang yang aku cintai? Aku malah sibuk memprotes keadaanku sehingga hatiku pun kabur melihat bahwa aku telah berada di ditengah-tengah orang yang dipenuhi rasa cinta.
Perlahan ku buka pintu kamar tempat Datuk dirawat. Ku lihat raut wajah tenangnya yang tengah asik mengotak-atik laptopnya. Jantungku seketika berdebar-berdebar melihat keelokan yang ada pada dirinya. Begitu terpukaunya aku sampai aku tidak sadar ada orang yang juga memperhatikanku dengan jarak yang lebih dekat.
”Lho kok malah mengintip, kayak orang lain aja Nur,” goda dr Yudha yang tidak ku sadari kehadirannya.
Aku jadi salah tingkah dibuatnya, untung saja tiba-tiba Aida muncul dan langsung memelukku. Datuk menyambut kedatangan Yudha dan Aida dengan senyum ramahnya.
”Lusa abang udah boleh pulang,” kata Yudha yang kami sambut dengan senyum bahagia.
”Alhamdulillah,” syukur Datuk.
”Aida, apa kamu sudah menikah?” tanya Datuk pada Aida ditengah-tengah obrolan kami.
Dengan senyum malu Aida menggeleng.
”Tunggu apa lagi Yud, kamu sudah cukup umur untuk menikah. Tidak perlu mencari jauh-jauh, yang dekat kan ada,” ujar Datuk.
Ku lihat Yudha dan Aida jadi salah tingkah begitu mengerti apa maksud pembicaraan Datuk. Aku hanya berdoa dalam hati semoga mereka memang berjodoh. Amiin...
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar