Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 2

 
SAAT MENDEBARKAN
                                                                      
 Akhirnya saat-saat mendebarkan dan yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Dengan kebaya warna hijau jahitan ibu, aku melangkah dengan hati bergetar berbaris paling depan. Namaku pertama kali dipanggil sebagai lulusan terbaik dan termuda. Aku mendapat titel dokter dalam waktu 4 tahun di usia 22 tahun.
Air mata bahagia mengalir deras di pipiku usai mengucap sumpah dokter di Aula Universitas Andalas Limau Manis. Aku berlari memeluk ibu ku tercinta yang duduk seorang diri dengan mata yang juga dibasahi air mata haru. Air mata yang sudah lama tak ku lihat di wajahnya yang kini mulai keriput.
Entah kapan terakhir kali aku melihat wanita agung itu meneteskan air mata. Aku rasa air mata bukan lah bagian dari kehidupan wanita hebat yang telah membuatku menyandang gelar dokter sekarang ini, dr. Siti Nuraini.
Aku memeluk ibu dengan sangat erat dan penuh rasa terimakasih. Ibu tidak hanya mengabdikan hidupnya untuk melahirkan dan membesarkan ku, tapi beliau juga telah membuatku merasa sebagai orang yang paling beruntung pernah terlahir di dunia ini. Ku ciumi punggung tangannya yang mulai keriput dan terasa kasar. Tangan inilah yang telah membimbingku dan menjadikan aku seperti sekarang. Allah SWT sungguh telah memberikan karunia terbesarnya melalui tangan suci ini.
“Ibu, terimakasih,” bisikku lirih.
Ibu kembali memelukku erat.
“Seandainya Ayahmu masih ada nak, dia pasti akan sangat bangga pada mu” lirihnya.
Aku tersedu mendengar bisikan lirihnya, kali ini bukan lagi air mata bahagia yang tumpah dari kelopak mataku, tapi air mata rindu. Rindu pada ayah yang sudah meninggalkan kami untuk selama-lamanya sejak aku berumur 10 tahun dan masih duduk di kelas 4 SD. Sejak itu ibu berjuang sendiri untuk membesarkanku dan Aisyah. Ibu menjadi single parent yang berjuang siang malam untuk menghidupi kami.
Hasilnya, sekarang aku menjadi dokter termuda dan mendapatkan gelar dokter dengan nilai terbaik. Ucapan selamat, datang dari seluruh teman-teman yang mengikuti upacara sakral bagi seluruh mahasiswa kedokteran itu. Tidak hanya dari teman-teman, dosen-dosen yang pernah mengajarku pun ikut memberi ucapan selamat dan berdoa untuk kesuksesanku.
“Selamat ya Nur,” Aida, sahabat yang selama ini sudah banyak membantuku memberi ucapan selamat sambil memelukku. Aku berhutang banyak pada sahabatku ini. Sejak aku menginjakkan kaki di kampus ini, ia sudah menanamkan jasanya dalam hidupku yang tidak akan pernah ku lupa dan akan jadi hutang budi yang kan ku ingat sampai akhir hayatku. Hutang budi yang tidak bisa dilunasi dengan harta sebanyak apapun atau berjuta ucapan terimakasih. Bahkan saat aku akan mendapatkan gelar dokterpun, dia masih ada di sampingku untuk membantuku.
Tadinya aku, ibu dan teman-teman kontrakan akan mencater angkot munuju ke Aula yang terletak di Limau Manis. Tapi belum rencana itu terlaksana Aida sudah parkir di depan rumah kontrakanku dengan Teranno Hitamnya.
“Terimakasih Da, kamu cepat nyusul ya,” kataku begitu ia melepaskan pelukannya.
“Aku sih maunya begitu, tapi usahaku masih kurang dibanding kamu,” katanya dengan senyum mengembang.
”Yang penting jangan menyerah dan terus semangat,” kataku. Kalimat itu adalah kalimat yang pernah dikatakan Aida padaku saat aku mulai terjepit dengan kondisi keuanganku di awal kuliah dulu. Dia senantiasa memberiku semanga shingga aku terus berjuang hingga sampai seperti ini.
”Hhmm, sekarang kamu yang ngomong gitu,” Aida tersenyum lebar mendengar kata-katanya dulu ku kembalikan padanya.
Dari sekian banyak teman-teman yang memberikan ucapan selamat ada satu orang yang membuat hatiku lebih bahagia. Ucapan selamat darinya sangat ku nantikan meski aku tidak berani terlalu berharap. Tapi kemudian harapan itu terwujud dalam waktu yang tidak lama. Suaranya telah ku dengar diantara keriuhan ruangan aula.
“Selamat Nur,” seorang pria dengan jas putih dan kemeja hitam di dalamnya menghampiriku dan memberi ucapan selamat dengan suaranya yang lembut namun tegas.
“Te…terimakasih Pak,” jawabku gugup.
“Sekarang jangan panggil bapak lagi, karena kamu sudah bukan mahasiswa saya,” katanya dengan senyum mengembang di bibir tipisnya.
Jantungku terasa mau copot mendengar suaranya. Seandainya dia tau bagaimana perasaanku mendengar permintaannya itu. Hah, aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini. Saat dr Yudha tidak lagi menganggapku sebagai mahasiswanya tapi sebagai perempuan yang pantas dijadikan seorang yang lebih dari sekedar mahasiswa. Istri misalnya. Astaghfirullah...
Hayalan tingkat tinggi, dokter muda dengan wajah mempesona dan idola semua pasiennya tidak mungkin masih single dan belum punya calon istri. Kalau bukan dia yang mencari calon istri, pastilah para wanita yang menawarkan diri menjadi calon istrinya. Meskipun aku tidak ahli dalam urusan menilai seorang pria, menurutku dr Yuda adalah pria yang baik dan idaman semua wanita (ucapan teman-teman yang aku kutip). Dia juga idola mahasiswi kedokteran yang pada umumnya berasal dari keluarga yang mampu. Yang jelas orang tua mereka bukan buruh tani atau tukang jahit.
Astaghfirullah, aku baru saja merendahkan diriku sendiri. Aku beristighfar beberapa kali begitu menyadari bahwa aku tidak mensyukuri nikmat Allah SWT yang diberikan kepada ku.
Justru aku tidak boleh merasa rendah diri dan menyesali keadaan orang tuaku. Seharusnya aku banyak-banyak bersyukur karena anak seorang buruh tani bisa menjadi seorang dokter. Bukankah kita tidak boleh selalu melihat ke atas karena terlalu sering melihat ke atas, mata akan kelilipan. Dibanding aku masih banyak yang tidak  mampu.
“Nur!” Aida menyikut dan membuyarkan lamunanku. Aku jadi linglung begitu sadar dr Yudha sedang memperhatikanku.
“Oh iya, terimakasih …. Uda,” meski aku agak ragu aku berusaha mengucapkannya dengan tenang. Dr Yudha kembali tersenyum padaku kemudian berlalu pergi dari hadapan kami. Sepertinya dia tidak keberatan dengan panggilan baru ku untuknya.
“Ehm ehm… Ketahuan ya sekarang,” Aida meledekku sambil tersenyum menggoda.
“Apa?” tanyaku mulai khawatir dia mengetahui perasaanku.
“Ternyata dr Yudha yang berhasil menyentuh hati sang dara yang tak tersentuh hatinya ini,” ledek Aida lagi.
‘Dara yang tak tersentuh hatinya’ adalah julukan Aida buatku setiap kali dia mulai menyinggung soal cowok padaku. Jujur saja, aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, apalagi pacaran. Selama ini aku hanya sibuk dengan studi dan kerja sampinganku. Aku pernah menyukai teman sekolahku waktu SMU, tapi hanya sebatas suka.
Begitu juga saat kuliah, ada cowok yang aku sukai, salah satunya dr Yudha. Aku menyukainya karena dia adalah orang yang sangat pintar. Dia lulusan Kedokteran UGM, tapi memilih mengabdi di kampung halamannya yaitu Sumatera Barat. Selain menjadi dokter di Rumah Sakit M Jamil Padang, dia juga menjadi asisten Prof dr Ashaluddin yang juga dokter bedah yang sudah tidak diragukan lagi keahliannya dan juga dosen terbaikku.
Aku yakin, siapapun yang jadi asistennya pastilah bukan orang sembarangan karena dia adalah seorang dokter yang luar biasa dan paling aku kagumi di kampus ini. Dan kekagumanku padanya juga menular pada dr Yudha. Aku mengenal dr Yudha 2 tahun yang lalu. Dia banyak membantu saat aku koas di RS M Jamil Padang. Lagi-lagi aku berhutang budi pada orang. Mungkin itu adalah salah satu sifat orang minang yang mendarah daging di tubuhku, aku merasa berhutang budi pada siapa saja yang pernah berbuat baik padaku.
“Udah, gak usah dilamunin. Mumpung orangnya masih dekat samperin sana,” goda Aida lagi. Aku mencubit pinggangnya sehingga dia agak terpekik.
“Jangan godain aku terus donk.”
“Aku gak godain kamu Nur, tapi aku rasa dia menaruh hati juga sama kamu. Buktinya dia bela-belain kesini buat ngucapin selamat sama kamu,” terang Aida dengan mimik serius. Aku merasa sedikit GR dan berharap yang dibilang Aida benar.
“Liat tuh dia juga ngasih selamat sama yang lain kok,” tunjukku dengan gerakan bibir begitu aku melihatnya menyalami salah seorang dari yang tadi juga disumpah bersamaku. Walau sedikit kecewa pernyataan Aida tidak benar tapi aku cukup lega karena itu membuat Aida kehilangan kata-kata untuk menggodaku.
Ku lihat ibu yang sedang asik berbincang dengan mama Aida. Mereka terlihat akrab walau ini adalah pertemuan pertama mereka. Mama Aida memang sangat ramah pada siapapun. Meski orang kaya Beliau tidak memandang orang lain rendah dan mau berteman dengan siapa saja.
Aku dan Aida menghampiri mereka. Ucapan selamat terus berdatangn dari teman-teman seangkatanku dan juga semua orang yang ku kenal.
“Kak, bagi sedikit kepintarannya donk ke aku,” pinta Nita, junior 2 angkatan dibawahku dengan gayanya yang khas seperti anak kecil.
”Minta kepintaran sama Allah donk dan yang pening harus belajar,” jawabku.
”Duh kakak ku ini emang paling pintar ngingatin orang sama Allah.” ujarnya.
Nita tersenyum lebar ke arahku. Dia adalah orang yang menyenangkan. Aku yakin, jika nanti dia jadi dokter, dia akan jadi dokter favorit pasiennya. Dia murah senyum dan ramah. Itu adalah modal utama menjadi seorang dokter karena salah satu obat pemulih paling cepat bagi pasien adalah senyum ramah dari dokter dan suster yang merawatnya. Usai memberikan sekuntum bunga mawar merah plasik padaku, dia segera berlalu.
“Kapan wisuda keduanya Nur?” tanya mama Aida begitu aku ikut berkumpul dengan mereka.
Aku menatap ibu dengan sorot mata bertanya dan bingung. Aku mengerti arah pertanyaan mama Aida, tapi aku tidak tau, jangankan calon suami pacar saja aku belum punya.
“Nur sih terserah ibu, ma,” jawabku sekenanya yang ditanggapi ibu dengan senyuman. Tapi aku memang sudah menyerahkan masalah jodohku pada ibu, karena Insyaallah jodoh dari orang tua itu adalah jodoh dari Allah SWT.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar