Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 21 (tamat)


ANUGERAH CINTA
Tawa canda anak-anak kampung nelayan adalah obat lain dari kegalauanku. Alangkah bahagianya menjadi anak-anak yang hidup tanpa beban, tanpa tanggungjawab dan hanya ada keceriaan. Dulupun aku merasakan kebahagiaan yang serupa bersama teman-temanku di kampung. Karena tidak ada laut atau sungai, aku anak-anak kampung lainnya berenang di kolam depan mesjid. Di sudut kolam itu ada WC umum yang didatangi oleh seluruh warga kampung karena tidak WC di rumah warga. Untunglah kolam itu banyak ikan sehingga tidak ada kotoran yang tersisa.
Setahun sekali ikan-ikan di kolam itu dipanen dan dijual pada warga kampung. Hasil penjualannya di gunakan untuk beli anak ikan baru dan selebihnya untuk pembangunan Mesjid. Ayah selalu ikut saat panen ikan. Ikan itu ditarok di dalam baskom kira-kira seminggu agar kotoran yang dimakan ikan keluar dari perutnya. Setelah itu baru giliranku dan ibu membakar atau menggoreng ikan-ikan itu. Sedangkan Aisyah kecil bermain dengan ayah. Keluarga sederhana yang bahagia.
Apakah saat ini Ayah sedang melihatku? Apakah beliau bersedih di sana? Mataku berkaca-kaca bila ingat ayah. Pastilah ayah melihat apa yang sedang ku alami saat ini. Semoga saja beliau tidak bersedih.
Saat akan memasuki halaman rumah dinasku, aku melihat sebuah Cherooki hitam parkir di sana. Dengan harap-harap cemas aku melangkah masuk ke rumah yang pintunya ternganga. Ku lihat Datuk sedng duduk di lantai yang beralas tikar di ruang depan.
Janungku berdebar kencang saat dia menoleh ke arahku. Pertanda baik atau burukkah kedatangan beliau ke sini? Dengan sedikit canggung aku duduk di hadapan beliau. Aku sama sekali tidak berani mengangkat wajahku untuk menatapnya.
”Kamu dari mana Nur?” tanya Datuk dengan suaranya yang khas.
”Nur dari pantai Pak,” jawabku agak terbata.
Keheningan kemudian tercipta diantara kami. Begitu banyak hal yang ingin ku tanyakan padanya tapi entah mengapa lidahku kelu sehingga aku tidak bisa berkaa apa-apa.
”Ehm... apa kabar kamu?” tanya Datuk lagi.
”Baik,” anggukku.
Suasana saat ini lebih kaku dari pada malam pertama kami.
”Nur, kita pulang ya,” kata Datuk membuatku kaget.
Mataku berkaca-kaca menatap wajahnya yang teduh.
”Maafkan Nur Pak?” kataku sambil menangis.
Aku menangis seperti anak-anak yang ketahuan berbuat salah oleh ayahnya. Aku meminta maaf dengan sepenuh hati. Dan seperti seorang ayah yang bijaksana Datuk memegang tanganku dan memelukku sangat erat.
Semua bebanku seakan lepas, aku bisa rasakan betapa hangat dan nyaman pelukannya. Hanya saat bersujud kepada Allah lah yang bisa mengalahkan ketenangan saat berada dalam pelukan Datuk.
”Saya yang seharusnya minta maaf Nur. Tidak seharusnya saya bersikap seperti itu sama kamu,” ujarnya.
”Tapi Pak, masalah dr Yudha....” tanyaku nada bersalah.
”Yudha sudah menjelaskan semua, dan yang paling penting dari itu semua saya mencintai kamu Nur,” ujar Datuk.
”Saya juga mencintai bapak,” ujarku dan kembali memeluknya.
***
Usai shalat isya berjamaah, aku mengganti pakaianku dengan pakaian tidur dan melepaskan jilbabku. Sementara Datuk masih duduk di atas sajadahnya dengan kepala tertunduk dalam. Aku menunggunya selesai berdoa di sofa yang ada di sudut kamar kami di rumah atas bukit.
Begitu ia selesai dan melipat sajadahnya ia lalu menoleh ke arahku. Aku jadi salah tingkah dan deg-degan ketika dia menghampiriku. Jantungku berdebar kencang saat dia mengecup keningku. Bibirnya yang merah terasa hangat menyentuh keningku. Kemudian dia memegang tanganku dan bersimpuh di hadapanku.
Aku sangat tidak enak diperlakukan seperti itu. Bagaimanapun tidak pantas seorang istri duduk lebih tinggi dari pada suaminya. Aku berniat untuk ikut duduk di lantai agar sejajar dengannya tapi dengan cepat ia menahanku.
”Nur, terimakasih karena kamu telah bersedia menjadi istri saya,” katanya sambil menyandarkan kepalanya di pahaku. Dengan lembut ku belai kepalanya.
Air mata haru tiba-tiba mengalir di pipiku. Saat ini aku bisa merasakan benih cinta yang tumbuh pada dr Yudha hanya sebatas kekaguman, dan aku tidak punya asa untuk memilikinya.
Benih itu tidak pernah tumbuh dan berkembang dalam hatiku karena kemudian ia kering dan mati dan digantikan oleh ilalang. Ilalang yang tumbuh subur dan berayun gemulai mengikuti irama hati yang mulai mendendangkan lafaz cinta yang baru. Cinta untuk orang yang telah mengajarkan keiklasan padaku.
Perlahan aku duduk di hadapan Datuk dan menatapnya lekat dengan mata yang basah.
”Nur bahagia menikah dengan Bapak meskipun untuk merasakan kebahagiaan itu Nur harus melalui masa yang panjang. Nur tidak pernah merasa mencintai seseorang sebelum mencintai Bapak. Jika ada orang yang benar-benar Nur cintai itu adalah Bapak. Tidak ada orang lain yang Nur harapkan untuk memberikan kebahagian pada Nur selain Bapak,” kataku tulus.
Datuk menatap mataku lekat. Tangan Datuk yang kokoh kemudian menarikku ke dalam pelukannya yang hangat.
”Saya mencintai kamu Nur,” bisik Datuk.
Aku bahagia sekali mendengarnya. Kebahagiaan yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya. Bahakan lebih membahagiakan dari pada saat namaku dipanggil sebagai lulusan terbaik.
Seluruh alam berbahagia malam itu menyaksikan kebahagiaanku dengan Datuk. Aku benar-benar merasakan  cinta dan kasih sayang dalam setiap sentuhan dan kata-kata yang diucapkan Datuk. Ilalang dalam hatiku menari mengikuti arah angin cinta yang terucap mesra dari bibirnya. Malam ini sebagai seorang wanita aku merasa sangat sempurna dan bahagia.
Kehidupan baru ku jalani. Kehidupan berumah tangga yang harus serba berbagi tapi sangat damai. Aku menikmati silaturrahmi yang baik antara aku dengan istri Datuk lainnya, walau kadang ada rasa cemburu. Dan ternyata rasa cemburu itu sangat nikmat. Cemburu karena cinta. Seperti permen nano-nano yang punya semua rasa.
***
Cinta memberikan kekuatan yang luar biasa dalam hidupku. Aku jadi tambah bersemangat mengerjakan pekerjaanku. Tanpa terasa masa pengabdianku di desa nelayan hanya tinggal seminggu lagi.
Aku mendapat tawaran untuk praktek di Rumah Sakit M Jamil. Dan bagiku itu adalah tawaran yang sangat menarik, menjadi dokter di rumah sakit besar. Jika aku terima aku akan praktek di tempat yang sama dengan dosen-dosenku dulu termasuk Prof Ashaluddin dan dr Yudha.
Semangaku untuk mengabdi di desa nelayan makin menggebu di akhir-akhir masa pengabdianku. SK ku juga sudah keluar sehingga aku juga bisa membuka praktek sendiri sebagai dokter umum.
Frekuensi berkunjung ke rumah warga kampung nelayan makin ku tingkatkan dan bermain bersama anak-anak kampung menikmati matahari terbenam. Saat berkumpul anak-anak itu makin seru jika Datuk datang menjemputku karena sebelum pulang Datuk ikut bermain dengan mereka dan mengajak mereka membuat istana pasir dalam berbagai kreasi. Rona kebahagiaan terlukis jelas di wajah meraka. Datuk memang sangat pandai mengambil hati anak-anak itu.
Tapi diantara mereka yang sedang berbahagia aku menangkap wajah murung Rosa. Sejak aku memberitahunya tentang kepindahanku, dia jadi menjaga jarak denganku. Dia tidak seantusias biasanya saat melihatku. Jika aku membawakan sesuatu untuknya dia sama sekali tidak menyentuhnya.
”Rosa sedih banget karena bu dokter mau pindah. Dari kemaren dia nanya terus kapan ibu dokter mau pindah, kenapa harus pindah. Sepertinya Rosa tidak mau berpisah dengan bu dokter,” kata ni Ratna, ibunya Rosa.
Aku jadi sedih dibuatnya, sebenarnya aku juga berat berpisah dengan Rosa dan kehangaan kampung nelayan tapi masa tugasku sudah berakhir dan nanti akan datang pengganti yang mungkin akan lebih baik dariku. Dan tawaran untuk praktek di RS M Jamil adalah impianku sejak aku koas di sana. Dengan honor yang akan aku terima disana aku bisa melanjutkan studiku untuk mengambil spesialis jantung seperti cita-cita ku waktu ayah meninggal, tapi tentunya kalau Datuk memberi ijin.
Hati ku galau sekali dan aku tidak bisa menyembunyikannya.
”Sayang, kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanya Datuk di perjalanan pulang.
Ternyata Datuk juga bisa membaca kegalauan hatiku saat ini.
”Kamu sedih ya akan meninggalkan kampung nelayan?” tanyanya.
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Datuk sudah bisa membaca perasaanku dengan baik bahkan sangat baik.
”Bagi Nur berada di kampung nelayan seperti berada di tengah-tengah keluarga, Nur sedih sekali kalau harus meninggalkan mereka,” kataku datar.
”Mereka juga pasti akan sedih berpisah dengan kamu Nur, tapi kalau kamu menuruti perasaan, kamu hanya akan stag berada di satu titik. Sementara ada kesempatan besar menunggu di depan kamu. Seperti kamu meninggalkan ibu dan adikmu di desa untuk kuliah kedokteran. Waktu itu kamu pasti sedih juga, tapi kamu tetap meninggalkan mereka sehingga kamu bisa jadi dokter saat ini. Kejadian itu terjadi lagi pada kamu dengan kampung nelayan. Kamu harus meninggalkan mereka karena cita-cita mu ada di depan mata. Kamu harus meninggalkan satu titik untuk maju ke titik selanjutnya. Sebuah generasi harus maju dan digantikan oleh generasi selanjutnya,” kata Datuk bijaksana.
”Kamu masih ada waktu seminggu untuk berfikir kembali Nur, saya dukung semua keputusan kamu sayang. Kamu minta petunjuk Allah biar kamu yakin langkah apa yang akan kamu ambil,” kata Datuk dan senyum manis tersungging di bibirnya yang merah.
Aku merasa tenang mendengar saran Datuk. Itu adalah salah satu kelebihannya yang sangat aku suka, dia selalu memberi pencerahan terhadap masalah-masalah yang ku hadapi. Tapi dia tidak memaksakan kehendaknya padaku. Aku merasa benar-benar mendapat bimbingan darinya.
”Oh ya Nur, saya ada berita bagus buat kamu.”
”Apa?” tanyaku penasaran.
”Nanti saja di rumah, kita akan kedatangan tamu spesial,” katanya membuatku penasaran.
”Siapa?” tanyaku makin penasaran.
”Kamu lihat saja nanti,” kata Datuk membuatku makin penasaran.
Rasa penasaran menggelayuti hatiku sehingga aku jadi tidak sabar menunggu malam tiba. Untunglah aku bisa sedikit meredamnya dengan membantu Bu Zaedar dan Ibu yang sudah tinggal di rumah ini sejak sebulan yang lalu. Alhamdulullah Aisyah bisa jebol kuliah di jurusan Kedokteran Universitas Gajah Mada. Aku sungguh bangga padanya, dia bisa menimba ilmu di universitas yang kualitasnya lebih dari pada aku.
Sekitar pukul 19:00 WIB bel berbunyi, pasti itu dia tamu pentingnya. Setelah merapikan jilbabku aku berjalan menuju pintu depan, ternyata Datuk sudah lebih dulu membukakan pintu.
Aku melihat Yudha dan seorang laki-laki bertubuh tegap berjalan di belakang Datuk.
”Ah Nur, ini dia mereka sudah datang,” kata Datuk.
Aku tidak menyangka bahwa tamu spesial itu adalah Yudha dan temannya itu.
”Nur, ini dr Andra. Dia ini sahabatku waktu kuliah spesialis penyakit dalam dulu. Dia seorang spesialis tulang dari Jakarta,” kata Yudha memperkenalkan.
Aku mengatupkan telapak tanganku di depan dada untuk memberi salam. Aku masih belum mengerti mengapa dr Andra menjadi tamu spesial kami malam itu. Begitu mereka duduk, aku segera ke dapur untuk membuatkan minuman untuk  mereka. Tanda tanya masih saja menggelayut di benakku.
Setelah meletakkan minuman di meja tamu Datuk memintaku duduk.
”Nur, kemaren saya sudah bicara dengan dr Andra tentang Rosa. Dan beliau ini sengaja datang dari Jakarta untuk memeriksa Rosa dan kemungkinannya untuk memakai kaki palsu,” jelas Datuk.
Aku senang sekali mendengarnya. Sudah lama aku punya rencana seperti ini tapi belum pernah terwujud karena aku masih mengumpulkan uang untuk membeli kaki palsu untuk Rosa. Lagi pula untuk menggunakan kaki palsu Rosa harus mengikuti beberapa terapi yang juga tidak makan sedikit biaya. Walau Datuk memberiku sebuat ATM yang berisi banyak uang tapi aku takut menggunakan uang itu. Tapi lagi-lagi Datuk tau apa yang aku inginkan.
”Terimakasih,” kataku menatap mereka bergantian.
”Jadi kapan saya bisa bertemu anak itu?” tanya dr Andra.
”Besok kita akan sama-sama kesana,” jawabku cepat.
Aku jadi tidak sabar menunggu hari esok tiba agar bisa segera bertemu dan melihat reaksi Rosa.
”Ini baru kejutan pertama,” ujar Datuk.
Aku jadi kembali penasaran. Kejutan apa lagi yang akan ku dapatkan dari orang-orang ini. Hah, Datuk memang suka memberi ku kejutan. Dan aku menyukai semua kejutan yang diberikannya.
”Nur aku punya kabar buat kamu,” kali ini Yudha yang angkat bicara.
”Sepertinya aku akan mengambil sesuatu yang berharga dari mu,” Yudha menggantung kalimatnya, wajahnya terlihat sangat serius.
”Aku mau melamar sahabat kamu secepatnya,” ujar Yudha kemudian.
”Aida?” tanyaku tidak percaya.
Yudha menjawabnya dengan anggukan.
Subhanallah... terimakasih ya Allah, begitu banyak hal menyenangkan yang Engkau berikan padaku. Aku benar-benar tidak bisa lukiskan rasa syukurku saat ini. Aku bahagia karena orang-orang yang sangat ku sayangi mendapa titik terang dalam penantian hidup mereka.
***
Pekanbaru, 12 Mei 2009 12.19 Wib
Lagi off kerja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar