Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 3


KETULUSAN

Minggu siang, aku mengantar Ibu ke depan Minang Plaza untuk naik travel menuju Bukittinggi. Meski tidak diantar sampai rumah  setidaknya ibu bisa langsung turun di terminal oplet 02 Damar. Aku belum bisa pulang karena masih ada yang harus aku urus untuk melaksanakan tugasku sebagai dokter bantu di desa nelayan sebelum aku bisa praktek dan dapat izin profesi. Sebenarnya aku ingin ibu lebih lama di Padang tapi kasihan Aisyah tinggal sendiri di rumah.
Dengan persetujuan ibu, akhirnya aku memilih mengabdi di puskesmas desa nelayan di Bungus. Awalnya ibu memintaku mencari puskesmas yang ada di Bukittinggi atau dekat desaku, tapi aku jelaskan pada ibu bahwa desa nelayan lebih membutuhkan dokter. Sedangkan kampungku, walaupun desa tapi masyarakatnya sudah maju dan puskesmasnya juga tidak kekurangan tenaga medis. Akhirnya ibu mengizinkanku.
“Jangan lupa ya nak, setelah urusanmu selesai, cepatlah pulang karena ada hal penting yang harus ibu bicarakan padamu,” pinta ibu.
Ini sudah ke tiga kalinya ibu mengingatkanku. Sepertinya memang ada hal penting yang hendak beliau bicarakan tapi beliau tidak mau membicarakannya langsung padaku saat ini.
“Iya bu, kalau urusan Nur sudah selesai, Nur akan segera pulang,” ujarku sebelum Ibu menaiki travel.
Ku cium dan ku peluk ibuku. Mataku jadi panas ketika ibu menaiki mobil kijang hitam yang dijadikan travel oleh pemiliknya itu. Aku jadi sedih melepas kepergian ibu. Aku belum puas melewati kebersamaanku bersamanya. Aku melihat travel yang ditumpangi ibu bergerak meninggalkan tempat ngetemnya di bawah jembatan penyeberangan di depan Minang Plaza.
Aku melirik jam tanganku, pukul 14.15WIB. Aku segera naik angkot menuju rumah Aida. Kemarin dia menawarkan diri untuk mengantarku ke Bungus untuk melihat puskemas di desa nelayan Bungus yang akan menjadi tempatku mengabdi dan mempraktekkan ilmu kedokteran yang telah aku dapat selama ini.
Sebenarnya dia juga menawariku untuk mengantar ibu, tapi aku segan merepotkannya. Di dalam angkot tidak henti-hentinya aku bertanya-tanya tentang apa kira-kira yang akan dibicarakan ibu. Sepertinya masalah yang serius. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada keluargaku di desa? Atau apakah ibu sedang membutuhkan biaya untuk Aisyah melanjutkan sekolahnya ke SMU? Atau ada masalah lain yang sangat berat dan rahasia yang hanya bisa dibicarkan dan diselesaikan langsung di desa?
Serentetan pertanyaan itu memenuhi otakku dan bahkan saat aku sudah berada di perjalanan menuju Bungus bersama Aida dengan Teranno hitamnya.
“Kamu kenapa sih Nur, gelisah amat?” tanya Aida.
“Entahlah Da, Ibu memintaku segera pulang ke desa. Katanya ada urusan penting yang harus dibicarakan denganku,” jelasku.
“Lho, kenapa kemarin tidak langsung dibicarkan?”
“Nah itu dia yang jadi tanda tanya besar.”
“Masalah jodoh kali.”
Jawaban Aida sontak membuatku kaget. Sepertinya tidak, aku kan belum kerja Da. Lagi pula aku belum berfikir kearah sana. Mau berkarir dulu dan membahagiakan keluarga, baru deh nikah.”
Aida mematikan AC dan membuka kaca mobilnya begitu memasuki jalan bukit lampu. Udara segar mengibas-ngibaskan jilbab coklat yang dikenakannya. Jilbab hitamku juga ikut mengibas-ngibas mengikuti hembusan angin.
“Kalau udah ada jodoh kenapa tidak Nur.”
Aku hanya diam mendengar kata Aida.
“Atau kamu maunya sama dr Yudha,” ledek Aida membuatku mati kutu.
“Apaan sih kamu,” aku mengelak.
“Buruan dikejar Nur, ntar disambar orang lho,” lanjutnya tanpa menghiraukanku.
Suasana hening sejenak.
”Emang anak ayam, disambar,” ledekku dan kami pun tertawa.
“Nur, aku mau nanya suatu hal tapi kamu harus jawab dengan jujur dari hati yang paling dalam dan jangan ada yang ditutup-tutupi,” pinta Aida membuat perutku mulas. Aku merasa apa yang mau ditanyakan Aida pastilah hal yang sulit untuk ku jawab.
Aida menarik napas dalam dan memperlambat laju mobilnya.
“Kamu suka gak sama dr Yudha?”
Pertanyaan Aida lebih susah untuk ku jawab dari pada pertanyaan dari Prop dr Asaluddin saat ujian kompre. Aku terdiam lama memikirkan apa yang harus ku jawab. Aida adalah sahabatku, selama ini diantara kami tidak pernah ada rahasia kecuali perasaanku pada dr Yudha.
“Hhmm…” aku mengangguk.
Aida langsung rem mendadak dan memelukku.
“Kamu menyukai orang yang tepat Nur,” bisik Aida dengan suara bergetar.
Ku lepaskan pelukannya dan melihat matanya yang basah dengan air mata. Aku tidak tau mengapa Aida berekspesi seperti itu. Air mata itu bukan airmata bahagia tapi kesedihan. Aku menatap wajah Aida lekat-lekat. Aku berusaha mencari apa yang tersembunyi di balik matanya. Aku sudah lama bersahabat dengannya tapi aku belum pernah melihat sorot mata seperti itu. Dia seperti menyimpan luka yang dalam. Aahh maafkan aku Aida, aku benar-benar takut mengambil kesimpulan.
Begitu sampai di desa nelayan, kami langsung menemui kepala desanya. Namanya Bapak Syamsuri. Kumisnya tebal seperti Pak Raden, dia bicara dengan suara yang keras dan kulitnya hitam terbakar matahari. Sehari-hari dia bekerja sebagai nelayan seperti warga lainnya. Rumahnya sangat sederhana, sebuah rumah petak yang tidak terlalu besar dan memiliki dua kamar.
Rumahnya berjarak 20 meter dari pantai dan terletak di tepi jalan. Dari teras rumahnya, aku bisa melihat ke laut lepas. Aku bisa menangkap pemandangan yang indah dari teras rumahnya. Aku ingin sekali punya rumah di tepi pantai seperti ini. Dari sini aku bisa mendengar deburan ombak yang saling berkejaran.
Pak Syamsuri bercerita banyak tentang kondisi desanya yang terletak di jalur lintas Padang dan Pesisir. Begitu mendengar aku adalah dokter yang akan bekerja di Puskesmas desanya, Pak Syamsuri terlihat sangat senang sekali.
Kami pasti sanang manarimo ibuk dokter di tampek kami, salamo ko puskesmas kami acok tutuik dek dokter nyo indak ado. Jadi kami binguang nio barubek kama. Rancak bana ibuk amuah jadi dokter di desa kami,” katanya dalam bahasa minang yang kental.
”Mudah-mudahan saya bisa membantu warga yang ada di sini pak,” ujarku.
Aku menjadwalkan akan mulai mengabdi di sini bulan depan atau tiga minggu lagi. Aku juga diajak Pak Syamsuri mengintip keadaan puskesmas yang berada 100 meter dari rumahnya dan juga terletak di tepi jalan. Keadaan puskesmas itu cukup memprihatinkan, bangunannya tidak terawat dan dipenuhi debu. Tapi untunglah, Pak Syamsur akan meminta warga untuk bergotong-royong membersihkannya. Dia juga menunjukkanku sebuah rumah petak berukuran 10x15 meter yang dulunya adalah rumah dinas untuk dokter puskesmas itu.
“Dulu rumah ini dihuni oleh dokter yang praktek di puskesmas kami, tapi sejak setahun lalu dokter itu tidak lagi praktek di sini karena dia menikah dan ikut suaminya,” jelas Pak Syamsur.
Cukup memprihatikan kadaan di sini tapi sama sekali tidak menyurutkan niatku untuk mengabdi di puskesmas ini.
“Pokoknya sebelum ibu dokter datang kesini, semuanya sudah kami bersihkan,” janji Pak Syamsuri penuh semangat.
Setelah berbincang cukup lama dengan Pak Syamsuri dan beberapa orang warga desa nelayan, kami pun mohon pamit. Aida tidak begitu banyak bicara tadi, pada hal dia yang paling semangat datang ke sini. Setelah shalat Ashar, Aida mengemudikan mobilnya meninggalkan Bungus.
“Gimana menurut kamu tempatnya Da?” tanyaku. Tapi tidak ada jawaban dari Aida. Aku ulangi lagi pertanyaanku, tetap tidak ada jawaban. Ku lihat Aida mengendarai mobil sambil melamun. Ku pegang bahunya sehingga dia tersentak kaget.
“Eh iya, kamu bilang apa?” tanyanya kelabakan.
“Aku bilang di depan kita berhenti ya, lihat sunset dulu,” ajakku sambil menunjuk sebuah warung minum di tepi jalan sebelum teluk bayur. Dari tempat ini sunset terlihat dengan jelas tanpa ada yang menghalangi. Apa lagi langit di sore itu sangat cerah dan tak berawan.
Kami memesan dua buah teh botol dingin dan duduk di bangku yang menghadap ke matahari terbenam. Kembali ku perhatikan wajah Aida. Ku kumpulkan keberanianku untuk bertanya pada Aida.
“Aida, kok tiba-tiba kamu jadi pendiam sih?”
“Aku? Pendiam?” tanyanya balik.
“hhmm..” anggukku.
“Gak ada apa-apa,” elaknya.
“Aku tau ada sesuatu dan kamu tidak mau memberi tahu aku,” serangku.
“Gak ada apa-apa ibu dr. Nuraini,” ia meyakinkan.
Ku tarik napas dalam-dalam.
“Kamu juga suka kan pada dr Yudha?” tanyaku hati-hati.
Aida tersentak dan langsung menatapku. Tapi baru saja mata kami bertemu dia langsung berpaling. Ku raih tangannya dan menggenggamnya erat.
“Kalau aku bisa jujur ke kamu, kenapa kamu tidak jujur ke aku?”
Ku lihat mata Aida berkaca-kaca. Ada gurat kesedihan di wajah ayunya yang tidak dapat dia sembunyikan. Seketika itu hatiku juga terasa sakit.
“Yudha adalah cinta pertamaku,” tutur Aida membuatku kaget. Tidak sepatah katapun keluar dari bibirku.
“Aku menyukai dia sejak SMP. Dia adalah senior ku waktu di pesantren dan dia adalah satu-satunya cowok yang pernah aku sukai dan yang membuat aku mengambil jurusan kedokteran,” suara Aida terdengar datar.
“Untuk petama kali aku menyukai seorang cowok, dia adalah Yhuda. Tapi aku tidak pernah berani mengungkapkannya pada siapapun. Aku suka mencari informasi tentangnya. Aku selalu berusaha mendekatkan diri padanya. Aku bertahan sekolah di pesantren agar bisa tetap dekat dengannya. Hanya saja waktu UM UGM aku nggak lulus makanya aku kuliah kedokteran di Unand. Aku berharap suatu saat bisa bekerja di rumah sakit yang sama dengannya, dan ternyata dia memang balik ke sini. Tapi semuanya tetap sama, dia tidak pernah menyadari keberadaanku. Aku hanya bisa mengaguminya tanpa bisa berharap lebih,” cerita Aida dengan suara bergetar menahan tangis.
”Ternyata kamulah orang yang beruntung bisa mendapat perhatiannya Nur, dan aku sangat lega karena dia tidak salah pilih. Dia menyukai orang yang juga ku kagumi,” lanjut Aida. Air mata yang sedari tadi ia tahan tumpah sudah.
Lidahku terasa kelu, aku tidak bisa berkata apa-apa. Ternyata selama ini kami sama-sama menyembunyikan perasaan kami pada dr Yudha. Dan Aida sudah jauh lebih dulu punya perasaan itu. Aku hanya bisa memeluk Aida tanpa sepatah katapun terucap dari bibirku. Jahatnya aku selama ini, aku hanya memperdulikan perasaanku. Kalau saja aku tau Aida punya perasaan khusus pada dr Yudha aku tidak akan memulai hayalanku tentang dirinya.
Aida melepaskan pelukanku dan menatapku dalam.
“Kamu lebih pantas buatnya Nur. Aku akan bahagia jika melihat orang-orang yang aku sayangi bahagia,” ujarnya.
Subhanallah, di belahan bumi mana akan ku temukan sahabat sebaik Aida. Benarkah masih ada orang sebaik dia di muka bumi ini. Bukankah tidak sedikit persahabatan yang hancur karena seorang makluk Allah SWT lainnya. Tapi tidak buat Aida. Mungkin dalam hal kuliah aku lebih jago darinya, tapi dalam urusan ketulusan aku kalah jauh darinya.
Aku menatap ke ujung cakrawala yang terbakar matahari senja. Sang raja telah membenamkan dirinya sebagai bukti cintanya pada alam untuk memberikan sinar kehidupan di belahan bumi lainnya dan memberikan kesempatan pada ratu malam untuk  menebar pesonanya di alam semesta. Suara azan berkumandang menuntun seluruh jagat raya kembali menekur pada Sang Khalik. Dan aku pun larut dalam sujud di depan Sang Maha Kuasa.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar