Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 5


GUNDAH

Aku mempercepat jadwal pengabdianku di desa nelayan yang menurut rencana baru akan dimulai 10 hari mendatang. Karena masih belum waktunya, begitu aku datang ke desa itu, rumah dinas yang akan aku tinggali belum dibersihkan warga. Berkali-kali Pak Samsuri minta maaf padaku karena mereka belum membersihkan rumah itu. Aku hanya tersenyum karena ini bukan salah dan kemauan mereka. Aku yang tidak menepati waktu. Saat ini aku hanya ingin sendiri untuk berfikir lebih jernih.
Banyak warga desa nelayan yang membantuku membersihkan rumah itu. Aida juga datang untuk membantu kepindahanku dari rumah kontrakan. Tidak ada meja makan, kursi tamu apalagi tempat tidur dan perabotan lainnya di rumah itu. Aku baru bisa mengisinya dengan barang-barang yang ku punya semasa kuliah dulu. Kompor, lemari pakaian dan kasur. Untunglah ada warga yang berbaik hati memberiku dua buah tikar untuk dijadikan alas.
“Sepertinya kamu bakal kesepian di sini Nur karena tidak ada apa-apa,” ujar Aida begitu rumah itu sudah bersih dan semua orang yang membantuku sudah balik ke rumah mereka masing-masing.
“Gak apa-apa Da, Insyaallah nanti kalau aku sudah dapat rejeki aku akan beli beberapa perabotan,” jawabku.
Untuk saat ini aku belum mengeluhkan kondisi rumah ini. Ada hal lain yang lebih mendominasi pikiranku yaitu perjodohan ku dengan Datuk tua itu. Hatiku benar-benar diselimuti rasa marah dan sedih. Itu bukan sekedar lamaran lagi tapi perjodohan yang akan merenggut seluruh kebahagiaan dan kebanggaan yang aku punya. Aku kuliah kedokteran dan lulus sebagai mahasiswa terbaik dan dokter termuda, semuanya terasa tidak berguna sekarang. Semuanya hancur, aku sudah tidak merasa berarti lagi saat ini. Ternyata nasipku tidak jauh berbeda dengan Siti Nurbaya.
“Hey kok melamun,” Aida mengibaskan tangannya di depan wajahku.
Aku hanya menunduk di depan sahabatku itu. Aku ingin sekali bercerita dan mengadu padanya, tapi aku tidak tau harus mulai darimana. Tanpa ku sadari air mata mengalir begitu saja membasahi pipiku. Aku benar-benar merasa sangat sakit saat ini. Aida memelukku erat, dan untuk sejenak aku merasa sangat tenang dalam pelukan sahabatku itu. Lama sekali aku menangis dalam pelukannya. Sampai akhirnya aku bisa meredam tangisku.
“Udah mau cerita?” tanya Aida lembut dan menyodorkan aqua gelas padaku.
Lama aku terdiam sampai akhirnya aku menceritakan apa yang terjadi saat aku berada di desa sampai aku memutuskan untuk mempercepat jadwal praktekku di desa nelayan ini. Aida mendengarkan ceritaku dengan seksama dan penuh perhatian. Matanya juga berkaca-kaca mendengar cerita di tengah isakanku. Dia menggenggam tanganku erat.
“Ibu ku jahat Da. Dia menerima lamaran itu tanpa persetujuanku,” aku kembali menangis tersedu-sedu.
“Istighfar Nur, tidak ada orang tua yang berniat jahat pada anaknya. Tidak ada orang tua yang mau hal buruk menimpa anak yang sudah dilahirkan dan dipeliharanya hingga besar. Dan nggak mungkin Ibu tega menyakiti anak yang paling disayangi dan dibanggakannya Nur,” Aida menasihatiku.
“Pasti ada alasan mengapa ibu mu menerima lamaran itu sebelum minta persetujuan mu Nur,” lanjutnya.
Aku tidak tau harus berkata apa. Aku benar-benar tidak bisa berfikir dengan jernih saat ini. Aku tidak bisa melihat sisi baik dari perjodohan yang tidak wajar ini.
“Nur, kamu ingatkan kemarin kamu bilang mempercayakan jodoh kamu pada ibu?” tanya Aida.
Ya aku memang pernah bilang seperti itu pada ibu, tapi bukan dengan laki-laki yang lebih pantas jadi bapakku dan punya banyak istri.
“Da, kamu nggak ngerti. Aku bisa terima jika saja yang dijodohkan denganku bukan orang tua yang sudah punya istri. Aku nggak mau jadi istri yang kesekian Da,” aku memelas meminta agar dia lebih memihak padaku.
“Nur, aku ngerti perasaan kamu. Jangankan laki-laki yang sudah punya istri, tentunya yang masih bujangan pun kita ingin mengenalnya terlebih dahulu. Tapi aku yakin, kali ini ibu kamu pasti punya alasan yang sangat kuat sehingga menerima lamaran itu. Sebaiknya kamu membicarakan hal ini lagi dengan ibu,” Aida menasihatiku.
Entahlah, aku benar-benar bingung. Rasanya berat sekali buatku untuk bicara dengan ibu sekarang. Ada sisi hatiku yang merasa sangat marah pada ibu. Dari kecil aku tidak pernah menolak permintaan ibu, aku belum pernah menentang beliau tapi kali ini aku benar-benar kehilangan itu semua. Aku ingin sekali memberontak. Aku ingin menentukan jalanku sendiri kali ini saja karena akulah yang akan menjalankannya kelak.
Tapi apakah aku masih bisa menolak? Apakah aku masih punya pilihan? Aku tidak tau, hatiku benar-benar galau. Aku ingin sekali melarikan diri sejauh mungkin dari persoalan ini. Aku ingin sekali berhenti jadi diriku. Untuk pertamakalinya aku merasa benci jadi diriku. Aku ingin berganti posisi dengan orang lain yang nasipnya tidak sepertiku.
Ya Allah apakah aku tidak boleh memilih jodohku sendiri?
***
Aku berjalan menyusuri Pantai Bungus di sore yang cerah ini. Beberapa orang nelayan terlihat mulai sibuk mempersiapkan kapal mereka untuk melaut. Anak-anak dengan riang bermain bersama-sama di pasir yang sedikit memutih. Pasir pantai bungus adalah pasir yang paling bagus menurutku. Warnanya lebih terang dari pada pasir yang ada di pantai lainnya di sepanjang kota Padang. Ombaknya juga tidak terlalu besar. Di ujung pantai yang berbatasan dengan jalan raya tumbuh pohon yang rindang dan beberapa pohon kelapa.
“Ibu dokter, mau kemana?” seorang wanita yang kira-kira tidak terlalu tua dariku menegur dengan suara yang keras. Dia bukannya sedang marah, tapi orang yang tinggal di pesisir pantai memang suaranya lebih keras dari pada orang yang tinggal di kota atau daerah pegunungan. Ini karena mereka harus bertarung dengan suara ombak agar suara mereka terdengar.
Aku menghampiri wanita yang tengah memungut ikan yang tadinya dijemur di atas seng depan rumahnya.
“Ini uni lagi jalan-jalan sore,” jawabku sekenanya.
“Dokter sendirian?” tanyanya lagi.
“Iya uni, perawat yang akan kerja bersama saya di puskesmas baru akan datang senin depan,” jelasku.
“Ooo… Dokter belum menikah?” tanyanya lagi tetap sibuk dengan ikan-ikannya.
Aku terdiam mendengar pertanyaan uni itu. Pertanyaannya itu seperti memaksaku mengingat kembali semuanya. Aku kembali ingat kata-kata Nyiak Tuo dan Ibu. Aku sakit sekali mengeingat itu semua.
“Belum,” jawabku singkat.
“Kalau calon sudah punya kan dokter?” tanyanya lagi.
Lagi-lagi aku terdiam. Aku tidak mungkin menjawab bahwa aku sudah dijodohkan dengan seorang laki-laki paruh baya dan sudah punya beberapa istri. Sebentar lagi aku akan menambah panjang deretan istrinya. Tidak, aku tidak mungkin mengatakan hal itu.
“Permisi dulu ya uni, saya mau lihat-lihat daerah sini,” aku segera berpamitan agar terhindar dari pertanyaan selanjutnya. Aku terus berjalan mendekati tempat segerombolan anak-anak yang sedang asik bermain bola kaki di atas pasir. Aku duduk di pohon kelapa yang sepertinya sudah lama tumbang dan dibiarkan tetap disana karena bisa dijadikan tempat duduk.
Angin sepoi-sepoi berhembus menebarkan bau air laut. Jilbabku juga ikut bergoyang mengikuti hembusan angin. Aku merasa damai sekali berada di tempat ini. Aku ingin sekali perasaan tenang dan damai seperti ini terus ada dalam hatiku. Ku arahkan pandanganku ke batas cakrawala. Sang mentari dengan perlahan menuju ke batas itu.
Sesekali ku alihkan pandanganku pada anak-anak yang sedang asik bermain bola kaki di atas pasir. Teriakan mereka membuat suasana sore itu makin ceria. Saat aku akan berpaling kembali ke arah laut aku menangkap sosok seorang anak perempuan yang bertumpu pada tongkat yang ada di tangan kanannya. Sepertinya dia juga sedang memperhatikan ku. Aku tersenyum kepadanya, tapi dia terus memandangku tanpa ekspresi.
Tanpa ku sadari dan juga tanpa dia sadari, tiba-tiba bola yang dimainkan oleh segerombolan anak tadi mengenai kepalanya dan diapun tersungkur. Aku segera berlari menghampirinya. Anak perempuan itu meringis kesakitan. Aku memeriksa kepalanya dan Alhamdulillah tidak ada yang luka.
Seorang wanita datang dan langsung memegang anak perempuan itu.
Itulah, kan alah amak katoan, hati-hati,” kata wanita itu sambil memeriksa anak perempuan itu dengan rasa cemas.
Ternyata wanita kurus berkulit hitam karena terbakar matahari itu adalah ibunya anak perempuan itu.
“Dia nggak apa-apa kok uni,” aku menenangkan wanita itu.
Wanita itu tersenyum padaku. “Adek dokter puskesmas itu kan?” tanya si wanita itu. Aku mengangguk untuk mengiyakan.
“Nama anak uni siapa?”
“Rosa.”
Ternyata anak perempuan itu bernama Rosa. Kalau dilihat, Rosa adalah anak yang manis. Kulitnya putih tapi ada beberapa bekas luka di kaki dan tangannya. Rambutnya panjang dan pirang seperti rambutku waktu kecil.
Tanpa ku tanya, Uni Ratna ibunya Rosa bercerita mengapa ada begitu banyak bekas luka di tubuh Rosa. Setahun yang lalu bocah yang berusia 8 tahun itu ditabrak mobil. Dia terluka parah dan tulang kakinya patah. Karena tidak punya cukup uang Rosa tidak dirawat intensif di rumah sakit sehingga lukanya membusuk kaki kanan rosa terpaksa diamputasi. Sejak itu kemana-mana dia harus pakai tongkat. Dia jadi tidak bisa bermain lagi dengan teman-temannya. Rosa juga berubah menjadi anak yang pendiam dan tidak mau sekolah karena dia sering diledekin oleh teman-teman sekolahnya.
Aku menangkap sorot mata Rosa yang dingin. Waktu aku mengajaknya bicara Rosa hanya diam dan tidak mau bicara sepatah katapun.
“Dia memang begitu, takut pada orang baru. Kadang-kadang mendengar suara bus yang agak keras, dia langsung berteriak dan menangis ketakutan,” cerita uni Ratna.
Aku jadi sedih mendengar cerita tentang anak malang itu. Aku tau memang susah menghilangkan trauma dari diri seseorang, apa lagi anak kecil. Hal itu diperparah karena kecelakaan itu telah merenggut sesuatu yang sagat berharga dari dirinya. Hal itu juga mengakibatkan dia kehilangan teman-teman bermainnya.
Dan sepertinya rasa kehilangan susuatu yang sangat berharga akan menimpaku. Dan rasa sedih yang dirasakan Rosa akan ku rasakan juga. Hidup bersama orang yang sama sekali asing bagi ku.
Aaaaaaaarrrrrrrgggggghhhhhh.......
Saat hatiku gundah aku jadi tidak bisa berfikir secara jernih. Aku hanya ingin lari dari kenyataan ini. Aku ingin lepas dari semua derita yang mendera jiwaku. Keputusan ibu benar-benar telah merenggut seluruh kebahagiaanku. Aku hanya ingin ada seseorang yang bisa membawaku pergi jauh dan mengusir Datuak Bandaro Kayo dari hidupku.
Entah mengapa saat ini aku teringat pada dr Yudha. Ku harap padanya ku temukan sebuah penyelesaian atas semua rasa gundahku. Aku benar-benar kalut dan aku sudah tidak tau lagi mau mengadu pada siapa. Aku tidak mungkin selalu mengeluh pada Aida. Aku sudah tau apa yang akan dikatakan Aida.
Dengan segenap keberanianku, aku mendatangi RS M Jaamil untuk menemui dr Yudha keesokan harinya. Saat memasuki ruangannya aku tidak melihat sosoknya ada di sana. Hanya ada seorang suster yang sedang sibuk melaksanakan tugasnya. Saat aku bertanya tentang keberadaan dr Yudha padanya dia mempersilahkanku duduk dan menunggu dr Yudha karena dia sedang memeriksa pasien rawat inap dan akan kembali beberapa menit lagi.
Hawa dingin dari pendingin ruangan yang cukup besar itu tidak cukup untuk menyejukkan hatiku yang sedang galau. Aku hanya ingin bertemu dr Yudha secepatnya. Untunglah tak lama kemudian dia datang dan ku lihat dia sedikit kaget melihat keberadaanku.
”Nur, apa kabar? Ada apakah gerangan kamu datang ke sini?” tanyanya.
Aku menatapnya sesaat dan aku bisa lihat ada keheranan di matanya. Seketika aku diselimuti rasa bimbang, haruskah aku membicarakan tentang hal ini pada dr Yudha? Solusi apa yang akan diberikannya? Bagaimana aku memulai kisahku padanya?
”Aku rasa dia menaruh hati juga sama kamu” kata-kata Aida terngiang kembali di benakku. Jika memang dia menaruh hati padaku mungkin saja dia bisa membantuku keluar dari masalahku.
”Kok diam Nur? Kamu baik-baik saja? Apa ada masalah di kampung nelayan?” tanyanya bertubi-tubi karena dari tadi aku hanya diam.
Aku menarik nafas panjang dan kembali meyakinkan diriku bahwa apa yang akan ku minta padanya adalah jalan keluar terbaik.
”Dokter, apakah dokter mau menikahi saya?” tanyaku dengan suara bergetar dan pada akhirnya hanya itu yang bisa langsung ku katakan tanpa ada kisah sebelumnya.
Seluruh alam terasa terbalik. Adat minang mengajarkan seorang wanita untuk tidak gampangan. Wanita sama sekali tidak pantas mengungkapkan perasaan lebih dulu. Itu sangat memalukan dan bahkan akan menjadi aib bagiku. Tapi aku tidak tau apa yang harus aku lakukan selain hal ini.
Dokter Yudha sepertinya shock mendengar pertanyaan sekaligus permintaanku. Lama aku menunggu jawaban darinya, tapi detik demi detik terasa sangat lama untuk sebuah jawaban iya atau tidak. Aku mulai meragukan kata-kata Aida bahwa dr Yudha menyukaiku.
Detik itu telah berganti menit dan dr Yudha belum juga memberi jawaban. Dia hanya terpaku menatapku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. Hatiku hancur seketika. Bukannya jawaban atas rasa gundah yang ku dapatkan tapi satu lagi beban dan rasa malu yang harus ku tanggung. Aku berbalik dan berlari keluar ruangan dr Yudha. Aku benar-benar melakukan tindakan bodoh. Ku kira akan mendapatkan sedikit cahaya terang dengan bicara pada dr Yudha, orang yang ku cinta. Tapi ternyata tidak.
Sepanjang perjalanan pulang ke kampung nelayan aku tidak henti mengutuk tindakan bodoh yang baru saja ku lakukan. Aku benar-benar merasa bodoh dan sangat putus asa. Air mataku tidak bisa ku bendung. Hatiku benar-benar tengah dihantam badai yang memporak-porandakan ketegaranku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar