Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 6


YANG TIDAK KU TAHU

Dua minggu sudah aku berada di desa nelayan dan seminggu sudah setelah peristiwa di ruangan dr Yudha terjadi. Aku tidak penah menghubungi ibu di desa meski beberapa kali Aisyah sms menanyakan kabarku. Begitu juga dengan dr Yudha, aku tidak pernah lagi menemuinya dan diapun sepertinya enggan mengontakku.
Sekuat tenaga ku coba melupakan kejadian itu. Ku sibukkan diriku di desa nelayan hingga tidak ada waktu tersisa untuk memikirkan betapa bodohnya tindakanku.
Hari-hari ku jalani dengan berusaha mengenali seluk beluk desa nelayan dan sekitarnya. Aku suka melihat ibu-ibu menjemur ikan di depan halaman rumah mereka. Walaupun bau amis sangat menusuk hidung tapi aku menikmati setiap kebersamaanku dengan mereka. Aku merasa sudah sangat akrab dengan mereka. Begitu aku memeriksa kesehatan mereka, mereka terlihat sangat senang dan berterima kasih sekali.
Ini ku lakukan sebagai langkah awal untuk mengetahui tingkat kesehatan warga yang profesi utamanya adalah nelayan. Hasilnya kesehatan mereka cukup baik, masalah terbesar yang mereka hadapi adalah tidak bisa hidup bersih karena belum ada sarana MCK yang memadai. Tidak semua rumah memiliki WC sehingga banyak dari mereka yang memanfaatkan WC umum. Anak-anak juga kebanyakan kekurangan gizi karena mereka tidak makan lauk-pauk yang beragam. Tapi sejauh ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Tidak jarang warga datang mengunjungiku dan membawakanku kelapa muda atau ikan yang sudah dimasak. Mereka juga memperlakukanku dengan sangat baik. Hal yang paling membuat ku senang adalah Rosa. Kini bocah kecil itu tidak lagi takut pada ku. Walau masih malu-malu dia sudah mulai mau berbicara dan bercerita pada ku. Aku juga sudah memeriksa kakinya. Bekas amputasi kakinya sudah mengering tapi lapisan kulitnya belum bereinkarnasi secara sempurna. Kira-kira beberapa bulan lagi dia sudah bisa memakai kaki palsu agar bisa berjalan dengan lebih baik. Namun aku yakin, orang tuanya tidak akan sanggup membeli kaki palsu yang harganya cukup mahal itu.
“Ibu doktel, Oca dulu pandai menali lho,” cerita Rosa dengan lidahnya yang cadal saat kami sedang berada di tepi pantai sore itu.
“Oya? Nari apa?” tanyaku antusias.
“Tali piling. Oca dulu sering disuruh nali sama gulu,” lanjutnya lagi.
“Pintar…” aku memuji sambil membelai kepalanya.
“Tapi sekalang udah nggak bisa lagi ibu doktel,” raut mukanya langsung berubah menjadi sedih.
“Rosa kan masih bisa menggerakkan tangan?” hiburku dan dia mengangguk pelan.
“Kan dengan menggerakkan tangan saja masih bisa menari, tari indang kan duduk sayang, yang digerakkan cuma tangan kan?” hiburku.
Dia terlihat berfikir sejenak. Ku lihat matanya mulai berbinar menutupi rasa sedih yang tadi menyerangnya.
“Oo iya bu doktel, Oca masih bisa tali indang,” dia tersenyum lebar.
Anak itu terlihat sangat tegar untuk anak seumurnya. Aku saja tidak bisa membanyangkan jika musibah itu menimpa diriku. Aku tidak tau bagaimana akan menjalankan hidup dalam kekurangan seperti Rosa. Aku bersyukur sampai saat ini tidak ada satupun bagian dari tubuh ku yang tidak berfungsi atau sakit. Allah masih melimpahkan nikmat kesehatan padaku.
Sebelum Maghrib Aida datang ke rumah dinasku. Tadi siang dia menelpon dan mengajakku makan malam di luar. Aku jadi geli memikirkannya. Aida itu seperti cowok yang sedang mengincarku untuk melakukan PDKT saja. Dia memberi perhatian dan kenyamanan pada ku. Hahahahahaha….
”Maaf kan aku Da, aku tidak bisa menceritakan padamu tentang apa yang telah ku lakukan minggu kemaren,” bisik hatiku.
Aku tidak ingin ada yang tau peristiwa itu karena itu sangat memalukan buatku. Entah berapa lama waktu yang ku butuhkan untuk menghapus kenangan buruk dalam hidupku itu.
Selesai shalat kami pun berangkat menuju kota Padang. Aida mengajakku makan jagung bakar di Jembatan Siti Nurbaya. Aku jadi ingat dengan teman-teman di kontrakanku. Kami juga pernah makan jagung bakar di sini sambil bercerita. Waktu itu mereka mempertanyakan namaku. “Kenapa nama kamu Siti Nuraini sih, bukannya Siti Nurbaya,” itu yang selalu dipertanyakan mereka.
Namaku memang bukan Siti Nurbaya tapi sepertinya nasipku hampir sama dengannya. Siti Nurbaya juga dijodohkan dengan orang tua kaya raya yang punya banyak istri. Siti Nurbaya dipaksa menikah oleh orang tuanya, pada hal ia sudah mencintai Syamsul Bahri. Karena tidak mau menerima pernikahan itu akhirnya dia melompat ke laut, bunuh diri.
Perasaanku saat ini sama dengan Siti Nurbaya. Aku merasa sangat putus asa dan tidak tau harus berbuat apa. Tapi aku tidak mau melakukan apa yang dilakukan sosok wanita yang menjadi legenda rakyat Minang Kabau itu. Bagaimanapun Islam mengajarkan bahwa bunuh diri adalah perbuatan yang sangat terkutuk. Seseorang tanpa dihitung amal ibadahnya akan langsung dilempar ke dalam Neraka Jahanam.
Aku tidak mau bernasip seperti itu. Orang tuaku memberiku nama Siti Nuraini agar aku menjadi salah seorang yang pertama ditimbang amal ibadahnya. Dan Nur artinya adalah cahaya. Mereka juga berharap aku memberi cahaya pada kehidupan mereka. Aku tidak mungkin meredupkan harapan itu dengan perbuatan dosa.
“Aku ada kabar baik Nur,” ujar Aida membuyarkan lamunanku.
“Apa,” tanyaku.
“Semester depan aku akan koas,” ujarnya dengan senyum mengembang.
“Selamat ya,” ujarku tak kalah bahagia.
“Dimana?”
“Di RS M Jamil.”
Hah, itu artinya di RS yang sama denganku dulu dan Aida pasti akan sering bertemu dengan dr Yudha, cinta pertamanya dan juga aku. Bahkan padanya sudah ku ungkapkan perasaanku. Tapi sampai detik ini aku belum mendapatkan jawaban darinya. Dan mungkin tidak akan pernah ada jawaban.
Aku bisa melihat Aida sangat senang sekali. Mungkinkah senyum bahagianya itu akan tetap mengembang seperti ini jika dia mengetahui apa yang telah sahabatnya ini lakukan?
Dulu aku juga merasakan kebahagiaan seperti dia. Bahkan sampai kemarinpun aku masih bahagia, tapi sekarang semuanya sudah hilang. Aku harus membangunnya dari awal lagi atau malah tidak akan pernah bahagia selamanya. Ahh, tidak aku tidak boleh bersedih saat ini. Aku tidak boleh merusak kebahagiaan Aida. Biarlah ini akan tetap menjadi rahasia.
Kami terus bercerita tentang hal yang menyenangkan malam itu sampai aku dikagetkan oleh bunyi HP ku. Ku lihat dilayarnya muncul nomor telpon Ibu. Jantungku berdebar-debar melihat no itu. Aku takut sekali untuk menerima panggilan itu.
“Assalmualaikum,” kataku gugup.
“Waalaikumsalam.” jawab suara Aisyah di seberang sana.
Beberapa hari yang lalu sampai tadi siang adikku itu sering mengirimkan SMS untuk menanyakan kabar dan keberadaanku. Tapi seperti biasa aku tidak pernah membalasnya. Rasa kesalku belum juga hilang dan bagiku menghilang adalah langkah terbaik saat ini.
“Uni, ibu masuk rumah sakit,” suara Aisyah diseberang sana terdengar bergetar.
“Apa? Sakit apa?” aku kaget sekali mendengarnya.
“Belum tau Ni, ibu masih di ruang gawat darurat rumah sakit Achmad Mukhtar. Uni cepatlah pulang, Ai takut uni,” kata Aisyah masih dengan suara bergetar. Aku mengerti betapa takutnya dia saat ini.
“Telpon dari siapa Nur,” tanya Aida heran.
“Aisyah, dia bilang ibu masuk rumah sakit,” jawabku singkat. Aku cemas sekali tapi di saat-saat seperti ini aku tidak boleh panik. Aku akan pulang sekarang juga tapi aku belum tau apakah masih ada bus atau travel ke Bulittinggi.
“Lho kok bengong, ayo,” Aida menarik tanganku. Aku menatapnya bingung.
“Aku yang kan antar kamu ke Bukittinggi,” katanya dan berjalan dengan cepat untuk membayar makanan kami dan langsung masuk ke mobilnya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Sekali lagi Aida membantuku dan ada disaat-saat darurat dalam hidupku. Aku benar-benar tidak tau bagaimana caranya membalas budi baiknya. Aku jadi merasa bersalah pada Aida atas kejadian ”penembakan” minggu lalu. Aku merasa menjadi seorang penghianat. Hatiku jadi gerimis dan mataku terasa panas.
Aida mengebut mobilnya di jalan lintas Padang-Bukittinggi yang tidak begitu ramai. Dengan serius dia meliuk-liukan Teranno hitam itu dan mendahului semua kendaraan yang ada di depannya. Aku tidak bisa memprotes aksi kebut-kebutannya itu karena aku ingin segera sampai di RS tempat ibu dirawat.
Perjalanan yang normalnya dua jam lebih itu, hanya kami tempuh dalam waktu satu jam lebih. Memang nggak salah cerita Tante Yuni, mama Aida yang mengatakan bahwa waktu SMU Aida adalah pembalap dan sering ikut balapan liar di jalan dekat Pantai Padang. Aida sempat mengecap kehidupan anak-anak bandel Padang. Tapi untunglah kemudia dia sadar dan menjadi jauh lebih baik setelah mamanya jatuh sakit. Aida meninggalkan kehidupan hura-hura demi kesembuhan mamanya.
Dia meninggalkan egonya demi orang yang telah melahirkan dan dengan tangan sucinya telah membimbing Aida hingga menjadi seperti sekarang. Apakah aku juga harus membuang ego ku demi kesembuhan ibu? Entahlah...
 Kami langsung berlari menuju unit gawat darurat. Ku lihat Aisyah duduk tertunduk di kursi di depan kamar gawat darurat yang tertutup rapat.
“Ai…” panggilku dan dia langsung menghambur ke dalam pelukanku.
“Ibu uni, Ai takut terjadi apa-apa sama ibu,” Aisyah terisak di bahuku.
“Tenang lah, kita berdoa aja ibu nggak apa-apa,” aku menenangkannya.
Walaupun aku adalah seorang dokter tapi aku juga tidak bisa menghilangkan rasa cemas yang menyesak di dadaku. Air mataku juga ikut mengalir karena aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu.
Setengah jam kami menunggu di depan kamar itu sampai akhirnya seorang suster keluar dari ruangan itu.
“Bagaimana keadaan ibu saya suster?”
“Ibu anda akan segera dipindahkan ke kamar perawatan dan silakan selesaikan administrasinya di kasir depan,” ujar suster itu dengan wajah dingin.
Aku sedikit kesal mendengar kata-kata suster itu. Apakah begini RS memperlakukan keluarga pasiennya. Bukannya menenangkan keluarga si pasien tapi malah meributkan soal administrasi. Aku langsung menuju ke ATM yang terletah tidak jauh dari kasir, sedangkan Aida tetap disana menemani Aisyah. Kulihat saldo yang ada di ATM ku hanya Rp 1 juta.
Untunglah uang itu cukup untuk membayar administrasi. Usai membayar administrasi aku kembali ke tempat Aisyah dan Aida berada. Begitu dokter keluar dari ruangan itu, aku langsung menanyakan keadaan ibu.
“Ibu anda terkena serangan jantung,” kata dokter itu singkat.
Aku langsung lemas mendengarnya. Sedangkan Aisyah langsung menangis tersedu-sedu. Aida berusaha menenangkan Aisyah.
“Kami sudah berusaha semampunya, berdoa saja semoga ibu anda bisa melewati masa-masa kritisnya,” lanjutnya lagi.
Aku merasa tubuhku lunglai. Aku kembali teringat Ayah, mengapa sakit yang sama juga menimpa ibu? Aku takut ibu juga akan berakhir seperti ayah. Aku belum siap kehilangan ibu, aku belum mau kehilangan beliau. Aku tidak ingin ibu pergi untuk selamanya dan meninggalkanku dalam kedurhakaan.
”Ya Allah, apa saja akan ku lakukan demi kesehatan ibu,” pintaku pada Illahi.
Hanya pertolongan-Nya yang bisa menyelamatkan ibu saat ini dan Dia adalah sebaik-baiknya tempat meminta dan berharap.
Usai shalat dan berdoa, aku kembali ke ruang ICU tempat ibu berada. Terdengar suara tik tik tik dari mesin penghitung denyut jantung yang ada di samping kiri tempat ibu terbaring. Di muka ibu terpasang alat bantu pernapasan dan 2 buah jarum infuse tertancap di lengannya. Ibu terbaring lemah disana.
Aisyah duduk disamping ibu dan air mata terus mengalir di pipinya yang mulus. Aku menghampiri Aisyah dan memeluk adikku itu.
“Uni, apakah ibu akan bernasip seperti ayah?” tanya Aisyah serak.
“Kita berdoa aja agar ibu sehat ya Dek,” jawabku mencoba menghiburnya dan menghibur diriku sendiri.
Aisyah menatapku, lalu dia berlari ke luar ruangan itu. Ku perhatikan wajah ibu yang tenang dengan mata yang tertutup rapat. Apakah dalam perjuangan antara hidup dan matinya ibu akan menang memperjuangkan hidupnya? Apakah ini saatnya aku akan kehilangan satu-satunya orang tuaku yang tertinggal?
“Nur dan Ai masih membutukan ibu, kami masih ingin ibu menemani kami. Ibu berjuanglah untuk kembali pada kami,” bisikku di telinga ibu.
Aku berharap ibu mendengar bisikanku. Ku ambil Al-Quran yang ada di dalam tasku dan membaca surat Al Ambiya dengan setengah berbisik.
***
Aku dapati Aisyah sedang menangis di depan kamar rawat ibu. Dia menunduk dan memainkan jari-jarinya. Aku memegang bahunya lalu duduk di sampingnya.
“Apa ibu sudah sadar uni?” tanyanya.
Aku menggeleng menatapnya dengan penuh kasih. Aku mengerti perasaan adikku itu. Aku pernah merasa begitu takut saat ayah juga berada dalam keadaan ini. Dan saat itu ibu meyakinkan ku bahwa ayah akan baik-baik saja.
“Ai, kenapa ibu bisa kena serangan jantung? Apakah ada orang yang menyakiti hati beliau?” tanyaku hati-hati.
Aisyah menggeleng. Dia menyeka air mata yang mengalir di pipnya yang bersih.
“Sejak uni pergi ibu sering melamun. Ibu jadi jarang makan dan beliau terlihat sangat sedih,” Ai bercerita.
Astghfirullah, ternyata akulah orang yang telah menyakiti hati ibu sehingga beliau sakit seperti sekarang. Rasa bersalah menyesak di dadaku dan aku benar-benar tidak bisa mengatasinya. Mataku tiba-tiba jadi panas.
“Dulu waktu uni kuliah, ibu makin sering bekerja di sawah orang-orang desa. Banyak orang yang menggunjingkan ibu. Mereka bilang ‘jaleh-jaleh miskin, sok-sokan pulo nak manguliahan anak, suruah lah si Nur tu baranti kuliah tu balaki bia ndak manjadi baban’. Hampir setiap hari ibu dikatai seperti itu oleh orang-orang kampung. Tapi ibu tidak pernah ambil pusing dan terus bekerja. Ibu selalu bertanya pada Ni Memet apa-apa saja yang dibutuhkan oleh mahasiswa kedoktean karena dulu dia juga kuliah kedokteran. Dari Ni Memet ibu tau kalau uni butuh banyak uang untuk beli buku dan bayar ini itu. Ibu mencari pinjaman uang untuk dikirim ke uni, tapi nggak ada yang mau meminjamkan uang pada ibu, kalau dapat pinjaman pastilah sebelumnya ibu dikatai. Sampai pada saat uni mau koas, ibu kembali mencoba meminjam uang tapi sudah tidak ada yang mau meminjamkan ibu karena hutang yang sebelumya belum lunas. Akhirnya ibu mencoba meminjam uang pada Datuk Bandaro Kayo. Ternyata Datuk mau meminjamkan ibu uang, bahkan setelah mendengar cerita ibu, beliau memberikan dua petak sawahnya untuk dikerjakan oleh ibu. Dia yang menyediakan benih dan pupuk, tapi saat panen dia sama sekali tidak meminta bagian dari hasil panen itu. Dia memberikan semuanya pada ibu. Kita berhutang budi banyak pada Datuk uni,” cerita Aisyah.
Aku merasa sedih sekali mendengar cerita Aisyah. Aku tidak tau segitu susahnya ibu untuk membiayai kuliahku. Ternyata ibu menerima lamaran Datuk untukku bukan karena ingin harta orang kaya itu tapi untuk membals semua budinya. Kalau aku berada di posisi ibu mungkin aku akan melakukan hal yang sama karena hutang uang bisa dibayar tapi hutang budi akan dibawa mati.
Jika Aida memintaku untuk mengorbankan sesuatu yang berharga untuk membalas semua budinya padaku aku juga akan memberikannya. Jika ibu hanya berhutang uang atau materi pada Datuk aku akan bekerja keras untuk melunasinya. Tapi hutang budi tidak bisa diukur dan dibayar dengan materi.
Dan aku sudah sangat egois melawan permintaan ibu bahkan menyalahkannya. Beliau saja mengorbankan hartanya yang sangat berharga untuk membalas budi orang lain yaitu aku. Lalu mengapa aku yang bisa menjadi seperti sekarang karena ibu tidak mau sedikit berkorban untuknya. Bahkan apa yang aku korbankan belum tentu cukup untuk membalas setitik air susunya. Aku merasa sangat berdosa pada ibu. Aku merasa sangat durhaka pada perempuan yang sudah melahirkan aku ke dunia ini.
“Seandainya Ai bisa, Ai akan menggantikan uni untuk membuat ibu sehat kembali,” bisik Aisyah lirih.
Aku memeluk adikku itu dengan erat. Aku sangat malu padanya. Aku jauh lebih tua darinya, tapi saat ini aku merasa jauh lebih kecil darinya. Dia saja sudah bisa berfikir untuk melakukan itu untuk ibu, kenapa aku tidak. Aku benar-benar merasa bersalah pada ibu dan Aisyah. Aku merasa tidak pantas menjadi bagian dari orang-orang yang baik hati seperti mereka.
“Ibu kalian pasti sembuh,” tiba-tiba Aida datang dan ikut memeluk kami.
***
Pagi yang cerah di kota Bukittinggi. Matahari pagi kembali hadir memenuhi janjinya untuk menyinari alam semesta. Sinarnya menghangatkan pagi yang beku di kota kecil yang dikelilingi bukit itu.
Pagi ini benar-benar cerah, secerah wajah Aisyah begitu ibu sadar karena telah berhasil melewati masa-masa kritisnya. Aku memasuki kamar tempat ibu dirawat. Meskipun samar aku bisa melihat senyuman tersungging di bibirnya yang kering. Aku menggenggam tangan ibu dan menciuminya.
“Maafkan Nur karena sudah bikin ibu jadi seperti ini,” kataku dengan air mata penyesalan.
Ibu membelai kepalaku dan aku bisa rasakan tangannya sama sekali tidak punya tenaga. Beliau sangat lemah dan kekuatannya sama sekali telah luruh.
“Kamu tidak salah nak, ibu yang seharusnya minta maaf,” bisiknya terbata-bata.
Aku menggeleng dan membungkuk memeluknya. Aku merasakan air mata ibu di pipiku. Ku pandangi wajah ibu yang dipenuhi oleh keriput dan terlihat sangat lelah. Ku seka airmatanya dan ku kecup keningnya dengan penuh rasa cinta.
“Ibu, Nur akan menikah dengan Datuk kapanpun waktu yang ibu tetapkan,” kataku mantap.
Ya, aku sudah berfikir dan bersimpuh di hadapan Sang Khalik semalaman dan aku sampai pada keputusan untuk menikah dengan Datuk. Aku sudah mantap dengan keputusan ini dan aku tidak akan menyesalinya. Aku mengambil jalan yang berbeda dengan Siti Nurbaya karena itu namaku Siti Nuraini.
“Tidak nak, ibu tidak mau memaksamu,” kata ibu sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“Nur sama sekali tidak terpaksa bu. Nur akan lakukan apa saja agar ibu sehat dan bahagia. Insyaallah, jodah dari ibu adalah jodoh dari Allah juga,” ujarku mantap.
Air mata ibu kembali menetes dan kami kembali berpelukan.
“Ibu harus banyak istirahat dan cepat sembuh supaya bisa menjahitkan kebaya untuk pernikahan Nur nanti,” kata ku lagi.
Ibu mengangguk dan tersenyum. Senyuman ibu kali ini lebih jelas dan sangat manis. Aku kembali bisa melihat kecantikan ibu. Ya, sisa-sisa kecantikan ibu masih terpancar dari wajahnya yang sudah mulai keriput.
“Nur, kamu benar-benar mau menikah dengan Datuk?” tanya Aida begitu kami keluar dari kamar rawat ibu.
Aku menjawabnya dengan anggukan tanpa keraguan sedikitpun.
“Nur, aku bangga punya sahabat seperti mu,” Aida memelukku.
“Apakah keputusanku tepat Da?” tanyaku.
“Jodoh dari orang tua adalah jodoh dari Allah, restu orang tua adalah restu Allah. Kamu harus iklas Nur,” Aida menenggam tanganku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar