Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 7


KELUARGAKU DESA NELAYAN

Alhamdulillah, ibu cepat pulih dan diperbolehkan pulang. Ibu hanya berada di RS selama enam hari. Ternyata kesediaan ku untuk menikah dengan Datuk membuat ibu sangat senang sehingga kesehatannya cepat pulih. Kesediaan ku ini juga sudah diketahui oleh Nyiak Tuo yang di hari kedua datang menjenguk ibu. Aku menyerahkan semua masalah pernikahan pada ibu dan Nyiak Tuo. Aku siap kapan saja mereka memintaku untuk menikah.
Setelah yakin ibu akan baik-baik saja aku kembali ke desa nelayan di bungus. Aku sudah meninggalkan desa nelayan selama 7 hari, meskipun sudah memberi tahu Pak Syamsuri aku tidak enak meninggalkan tugas lebih lama.
Alhamdulillah, suster yang akan ikut praktek di puskesmas bersamaku sudah datang dan menempati kamar yang satunya. Namanya Zahra dan dipanggil Ara. Dia berasal dari Payakumbuh dan baru saja lulus Akper dan diminta bekerja di puskesmas ini. Ara lebih muda setahun dari ku, kulitnya putih dan lebih tinggi dari ku. Dia tidak mengenakan jilbab. Orangnya ramah dan bersahabat.
Warga desa terlihat senang melihatku kembali ke sini. Tidak sedikit dari mereka yang datang hanya untuk menanyakan keadaan ibuku. Ternyata Pak Syamsuri memberi tahu warga bahwa ibuku sakit. Aku senang sekali mendapat begitu banyak simpati dan empati dari mereka. Mereka bertanya seolah yang sakit adalah anggota keluarga mereka sendiri. Aku benar-benar merasa mereka adalah keluargaku meskipun hanya baru beberapa hari aku di sini.
Apakah nanti setelah menikah aku akan meninggalkan mereka? Aku berharap untuk tetap bisa berada ditengah-tengah mereka, setidaknya sampai waktu yang sudah ditetapkan.
“Ibu Dokter, Rosa terus-terusan menanyakan apakah ibu dokter sudah kembali atau belum,” kata Ni Ratna, ibunya Rosa.
“Nanti saya akan ke rumah uni,” kataku.
Usai Maghrib aku mengajak Ara ke rumah Ni Ratna untuk menemui Rosa. Dia senang sekali melihat aku datang.
“Ibu Doktel…” teriaknya begitu melihatku.
Aku memeluk anak itu dengan penuh kasih sayang. Entah mengapa aku merasa benar-benar dekat dengan Rosa. Sejak pertama kali melihatnya aku sudah merasa akan dekat dengannya.
“Apa kabar sayang,” tanyaku.
“Baik ibu doktel. Mama ibu dokter udah sembuh belum?” tanyanya.
“Udah,” anggukku.
“Kakinya nggak dipotong kan?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng mendengar pertanyaan lugu bocah kecil itu. Dia melontarkan pertanyaan yang sama setiap kali melihat aku memeriksa warga desa. Bahkan saat aku memeriksanya dia juga menanyakan hal yang sama. “Kaki Oca yang satu lagi nggak dipotong kan Ibu Doktel?”
Kadang aku sedih sekali mendengar pertanyaan itu. Aku pernah melihatnya berteriak histeris begitu melihat truk lewat dengan kecepatan tinggi dan suara yang sangat keras. Dia tergopoh-gopoh mencari ibunya dan menangis sampai matanya bengkak. Aku ingin sekali membantunya menghilangkan rasa trauma dan membuatnya bisa berjalan lagi dengan bantuan kaki palsu. Tapi semua itu butuh waktu.
“Sayang udah kenal sama kakak suster belum?” tanyaku begitu menyadari bahwa Ara memperhatiakn Rosa dari tadi. Rosa menggeleng malu.
“Kalau gitu kenalan dulu yuk, namanya Kak Ara. Ayo salam sama kak Ara,” aku mengulurkan tangnnya.
“Namanya siapa cantik?” tanya Ara sambil menyodorkan tangannya.
“Oca,” jawabnya malu-malu. Tapi dia tidak semalu-malu waktu aku pertama kali mengenalnya. Dia bisa langsung dekat dengan Ara meskipun baru kenal.
“Karena Suster Ara datang dengan ibu dokter makanya Rosa tidak takut,” kata Ni Ratna.
Hampir satu jam aku dan Ara berada di rumah Rosa dan bermain dengannya. Dia terlihat sangat senang sekali. Kalau aku nanti menikah mungkin aku tidak akan bisa lagi bermain dengan anak itu.
“Sepertinya Rosa anak yang pintar ya Uni,” kata Ara di perjalanan pulang.
“Iya, dia pandai menari lho,” ceritaku.
“Oya, bagaimana bisa?” tanya Ara tidak percaya.
Aku menceritakan padanya apa yang menimpa Rosa dan semua yang ku tau tentang dia.
“Kasihan ya uni,” ujar Ara prihatin.
“Iya, tapi jangan perlakukan dia seperti orang cacat biar dia tetap percaya diri dan tidak minder lagi.”
Ara manggut-manggut mendengar penjelasanku.
Malam itu aku kembali tidur di rumah dinas yang sangat sederhana. Ku baringkan tubuhku di di atas kasur yang sudah mulai keras. Sebuah kipas angin kecil sedikit memberi kesegaran di ruangan ini.
Rasanya tubuhku lelah sekali. Aku kembali teringat dengan keputusanku untuk menikah dengan Datuk Bandaro Kayo. Mataku terasa memanas begitu ingat aku akan menikah dengan orang yang sama sekali belum pernah ku lihat mukanya. Dalam waktu dekat aku akan menjadi istri seseorang yang benar-benar asing buatku. Kehidupan macam apa yang aku hadapai nanti?
Kemudian wajah dr Yudha dengan kebisuannya juga datang membayangi. Mengapa dia tidak menjawab apa-apa? Saat itu aku hanya ingin mendapat satu jawaban. Tapi tiada. Dan kini aku harus berperang dengan hatiku sendiri untuk melupakannya demi apa yang telah aku komitmenkan dalam hati dan pada ibuku.
Aku harus kuat, seperti karang yang terus diterpa ombak namun tetap tegar berdiri.
***
Inilah desa nelayan, tempat keluarga baruku berada dengan pemandangan yang luar biasa indahnya. Dan inilah Puskesmas tempa ku mengapdi yang tidak pernah tidak ada pengunjung. Semua pegawai puskesmas itu berjumlah 7 orang. 2 orang dokter, aku dan dr Angraini. Dr Anggraini tinggal di daerah Teluk Bayur, dia adalah dokter gigi yang sudah 5 tahun bekerja dipuskesmas ini yang praktek 2 hari dalam seminggu. Ara yang membantuku, Dina yang membantu dr Anggraini. seorang petugas karcis dan 2 orang bagian farmasi.
Puskesmas tutup pukul 12.00 siang, tapi jika pasien yang datang banyak, kami masih tetap melayani mereka. Sebenarnya tempat ini belum pantas disebut puskesmas karena fasilitasnya belum memenuhi standar. Tapi untunglah yang datang berobat kebanyakan hanya pasien yang sakit demam dan penyakit ringan lainnya.
Aku banyak belajar dari dr Anggraini. Wanita yang memiliki gigi rapi dan putih serta halus tutur katanya. Aku mengagumi wanita berwajah ayu itu. Di rumahnya ia membuka praktek gigi sendiri tapi dia masih menyempatkan diri untuk bekerja di puskesmas ini. Dia bekerja dengan penuh keiklasan tanpa memperdulikan gaji yang tidak seberapa jika dibanding dengan prakteknya di rumah. Aku sering berdiskusi tentang kondisi kesehatan warga di desa ini dan dia sangat banyak memberiku masukan yang positif.
Yah, beginilah ku lewati hari-hariku di desa nelayan. Tempat ini jauh sekali dengan kehidupan kota Padang. Di sini pasarnya hanya 2 kali seminggu. Sesekali di hari libur ada beberapa orang yang datang ke sini untuk berwisata. Tapi inilah kelebihan pantai bungus di desa nelayan. Karena belum begitu ramai oleh pengunjung wisata, pantainya sangat  bersih.
Aku sudah terbiasa menghabiskan sore di tepi pantai sampai matahari terbenam. Jika selama ini aku melakukannya sendiri, kini aku menikmati sunset bersama Ara. Gadis manis itu juga suka menikmati indahnya sunset. Dia juga senang melihat anak-anak yang bermain bola di atas pasir. Bahkan kadang-kadang dia juga ikut bermain bersama anak-anak itu.
“Masa kecil kurang bahagia Ni,” katanya singkat jika aku meledeknya.
Teman-teman kontrakanku pun juga sudah pernah datang ke rumah dinas ku dan menghabiskan akhir pekan di sini. Mereka juga berpendapat bahwa tempat ini sangat indah dan nyaman. Penduduk desanya sangat ramah dan terbuka menerima siapa saja yang datang ke desa mereka. Mereka juga memperlakukan teman-temanku seperti mereka memperlakukan aku.
“Kita dapat tempat liburan baru nih,” kata Rika.
“Iya, pantesan Nur betah di sini,” tambah Via.
“Kapan-kapan kami bolehkan main ke sini lagi?” tanya mereka begitu akan balik ke Padang.
“Tentu saja, atau kalian cari rumah kontrakan dekat sini aja,” candaku.
“Iya bisa, tapi bus kampus harus sampai ke sini biar kita nggak telat dan gak perlu bayar ongkos mahal-mahal,” jawab Meri.
“Oh ya Nur, kapan nih rencana janur kuning melingkar?” tanya Via membuat perasaanku tidak enak.
“Tunggu aja,” jawabku sekenanya. Jika aku bilang aku akan segera menikah dengan laki-laki paruh baya pasti mereka akan serangan jantung. Hahahahaha....
“Jadi udah ada calonnya Nur? Siapa?” buru Rika.
“Orang mana Nur? Dokter juga?” sambar Meri.
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan mereka. Untunglah bus yang akan membawa mereka kembali ke Padang segera datang menyelamatkanku.
“Kami tunggu undangannya ya Nur,” kata Meri begitu akan naik bus.
Aku hanya tersenyum kecut mendengar pesan Meri.
Jujur, jauh di dalam lubuk hati ku, aku belum siap menikah. Tapi ini telah menjadi tekad ku, demi keluargaku. Boleh kah aku menangis...???
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar