Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 9


ISTANA PASIR

Usai waktu shalat Jumat aku berangkat pulang ke desaku. Sepenjang perjalanan perasaanku terasa tidak tenang. Aku mencoba menghela napas panjang beberapa kali. Agar perasaan itu tidak hadir lagi aku membaca buku yang ku bawa. Buku tentang penyakit jantung. Jika punya uang nanti aku ingin kuliah lagi dan mengambil spesialis jantung. Sejak ayah meninggal, aku bertekat dalam hati untuk jadi dokter jantung. Dan jika ada kesempatan aku akan belajar lagi.
Saking asik membaca aku sampai tidak sadar bahwa travel yang ku tumpangi sudah sampai di Bukittinggi dan penumpangnya sudah bersiap-siap turun. Aku menaiki angkot dari Aur ke Pasar Bawah dan baru kemudian menaiki oplet menuju ke desaku. Aku sampai di rumah menjelang Maghrib.
Ibu terlihat sangat senang dengan kedatanganku. Kondisi ibu juga sudah baik, hanya saja beliau tidak boleh bekerja yang berat-berat dan stress. Aisyah juga sangat senang menyambut kepulanganku.
Usai Shalat Isya Nyiak Tuo pun datang kerumah kami yang sederhana dan sudah tua. Aku berusaha menenangkan diri dan menguatkan hati untuk menerima apa saja yang akan beliau sampaikan nanti.
Setelah berbasa-basi sedikit Nyiak Tuo baru bicara to the point.
“Nur, Inyiak dan beberapa tokoh adat lainnya sudah bermusyawarah dan memutuskan engkau akan menikah tanggla 1 bulan depan,” kata Nyiak Tuo seperti hakim yang menjatuhkan vonis pada terdakwanya. Tanggal 1 bulan depan (Desember) berarti hanya 2 minggu lagi.
Tanggal 28 November japuik tando dan hari Jumat tanggal 1 akad nikah. Datuk Bandaro Kayo ingin baralek gadang hari Sabtu laki-laki dan Hari Minggu Padusi,” jelas Nyiak Tuo tentang prosesi adat yang akan aku jalani.
“Gimana Nur, siap?” tanya Nyiak Tuo lagi.
”Apakah tidak mubazir Nyiak kalau harus baralek 2 hari? Alangkah lebih baik sehari saja Nyiak?” tanyaku.
”Suami engkau itu bukan orang biasa, banyak koleganya yang diundang jadi waktu sehari tidak akan cukup untuk tamu-tamu yang diundang,” jelas Nyiak Tuo.
”Engkau setujukan?” tanya orang yang dituakan di sukuku itu lagi, yang hanya ku jawab dengan anggukan.
Keegoisan macam apa yang merasuki Datuk Bandaro Kayo itu. Apakah dia tidak berfikir betapa sakit hati istri-istrinya yang lain melihat dia menaja perhelatan itu? Dan aku ikut menari di atas penderitaan mereka semua.
“Alhamdulillah… Agau baruntuang dapek suami urang darmawan Nur,” ujar Nyiak Tuo.
”Satu yang ingin inyiak sampaikan Nur, cinta itu adalah hayal, hanya indah untuk dikenang. Karena itu datanglah bandiang jo bantahan, jika ingin mengabadikan cinta, jangan menikah dengan orang yang engkau cintai karena suatu saat cinta itu akan hilang, tapi menikahlah dengan orang yang akan membuat engakau bahagia,” nasihat Nyiak Tuo sebelum berpamitan pulang.
Aku tidak begitu mengerti apa maksud perkataan Inyiak. Mengapa aku tidak boleh minikah dengan orang yang ku cintai? Mengapa beliau begitu yakin aku akan bahagia menikah bersama orang yang sama sekali belum pernah ku lihat dan ku kenal sebelumnya.
Setelah mengantarkan Inyiak ke depan halaman, aku langsung masuk kamar. Aku hanya ingin menenangkan diri sejenak sebelum mendengar penjelasan lain dari ibu. Aku tidak ingin terlihat sedih atau tidak bisa terima di depan ibu. Aku tidak ingin ibu berfikir aku melakukan ini dengan terpaksa walaupun sebenarnya itulah yang ku rasakan.
Baru saja aku akan keluar kamar, ibu telah membuka pintu kamarku dan masuk bersama Aisyah. Kami duduk di atas kasur yang sudah lusuh itu.
“Kamu menyesal nak?” tanya ibu sambil mengawasi raut wajahku.
“Tidak bu, Nur tidak akan pernah menyesal membuat ibu senang,” jawabku.
“Apakah kau menerima pernikahan ini demi ibu?” tanyanya lagi.
Pertanyaan itu seperti jarum yang menusuk-nusuk jantungku.
“Nggak bu, kan memang sudah waktunya Nur menikah tapi Nur belum punya calon sendiri. Kalau ayah ada beliau juga pasti akan mencarikan jodoh buat Nur, Insyaallah restu ibu juga restu Allah,” jawabku mencoba menghibur diriku sendiri.
Ibu langsung memelukku dengan hangat. Aku bisa merasakan seluruh kasih sayangnya ditumpahkannya untukku. Aku akan mengiklaskan semua ini terjadi padaku asal ibu bahagia. Aku sangat mencintai ibuku. Bahkan jika aku akan terlahir 10 kali lagi pun aku tetap memilih ibu menjadi ibuku. Aku akan bahagia jika ibu bahagia dan hingga saat ini baru ini yang bisa ku lakukan untuk membuatnya bahagia.
“Bu bolehkah Nur tetap di Bungus sampai hari pernikahan?” tanyaku pada ibu begitu ingat seluruh warga desa yang juga sudah ku anggap keluargaku.
Ibu berfikir sejenak lalu mengangguk.
“Sebenarnya kamu harus dikurung nak, tapi ibu tidak akan melarangmu mengabdikan ilmumu untuk membantu orang lain,” jawab ibu bijaksana.
“Ai nanti juga ingin jadi dokter seperti uni biar Ai bisa bantu orang,” kata Aisyah tiba-tiba. Aku dan ibu senang sekali Aisyah sudah punya cita-cita semulia itu.
“Oya uni, memangnya uni tidak punya pacar dokter? Kata teman-teman Ai, dokter biasanya menikah dengan dokter atau perawat,” cerocos Aisyah dengan lugu.
Aku tidak menjawab pertanyaan Aisyah. Cukup aku dan Allah saja yang tau perasaanku yang sebenarnya.
***
Aku kembali menjalankan aktivitasku di puskesmas Bungus. Aku makin intensif dan sering mengunjungi warga desa. Aku hanya ingin menikmati sisa hari ku bersama mereka karena aku tidak tau apakah setelah aku menikah masih akan disini atau tidak. Aku tentu akan ikut suamiku nantinya.
Usai shalat Ashar aku menemui Rosa. Jika ada orang yang paling berat untuk ku tinggalkan adalah bocah kecil itu. Aku masih punya hutang padanya. Aku belum berhasil membuatnya melupakan traumanya dan belum bisa memberinya sebuah kaki palsu agar dia bisa beraktifitas seperti anak-anak pada umumnya.
Rosa sedang nonton TV saat aku datang. Seperti sore-sore sebelumnya, sore ini dia langsung menarik tanganku menuju ke tepi pantai.
“Bu doktel bisa bikin istana pasil tidak?” tanya Rosa dengan suara cemprengnya.
“Nggak bisa, Oca bisa?” tanyaku balik dan dijawabnya dengan gelengan. Ada raut kecewa di wajah inocentnya.
Aku tau bagaimana memasang infuse atau peralatan kedokteran lainnya di tubuh manusia tapi aku tidak pernah belajar dan tidak pula bisa membuat istana pasir.
“Bagaimana kalau om yang bikinkan,” sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku. Suara yang sudah ku kenal dan sekali lagi kurasakan jantungku berdebar.
Bagaimana bisa aku tidak menyadari kehadiran dr Yudha, tiba-tiba saja dia sudah ada di belakangku. Tanpa banyak bicara dia langsung membuka sepatu dan jas putih dokternya. Dia mengumpulkan pasir dengan tangan dan sebuah gelas plastik yang dibawa Rosa setiap kali bermain pasir.
Dokter Yudha bolak-balik mengambil air untuk membasahi pasir agar padat dan tidak mudah roboh. Aku juga ikut membantu mengambilkan air laut untuk membasahi pasir. Sementara Rosa mengumpulkan pasir yang ada di sekitarnya, dan dr Yudha mulai memadatkan pasir itu. Anak-anak yang tadinya asik bermain bola juga  tertarik sehingga mereka berdatangan ke tempat kami. Sudah banyak personil yang membantu dr Yudha membangun istana pasir itu. Bahkan Ara yang baru datang juga ikut membantu.
Dia terlihat sangat serius, keringat bercucuran membasahi kemeja biru tua yang dikenakannya. Melihat keakraban dr Yudha dengan anak-anak itu sepertinya mereka sudah lama kenal dan sering bermain bersama. Mereka dengan senang hati melakukan apa yang disuruh dr Yudha.
Dengan sabar dr Yudha menjawab  pertanyaan dari anak-anak itu dan mengajari mereka berbagai macam hal untuk membuat istana pasir. Sesekali dia menyeka keringat yang mengalir deras di wajahnya.
Tidak lama kemudian sebuah istana pasir yang sangat indah dan cukup besar telah terbentuk. Anak-anak yang ada disana terlihat sangat senang, bahkan mereka membangun istana-istana kecil di sekitarnya. Dan si kecil Rosa yang biasanya bermian sendiri terlihat senang berada diantara teman-temannya.
Usai merayakan keberhasilannya membangun istana pasir bersama anak-anak itu, dia menghampiriku dan tersenyum manis.
“Bagaimana? Bagus tidak istananya?” tanyanya padaku.
“Bagus,” anggukku.
“Abangku yang mengajarkannya, bahkan aku bisa menjadi seperti ini pun berkat Allah yang diturunkan melalui dia,” katanya.
Alangkah eloknya orang yang telah membimbing doker yang sangat ku kagumi ini. Pasti dia adalah orang yang hebat. Dr Yudha sungguh beruntung punya saudara seperti beliau.
“Heh, tempat ini asik juga ya, bersih dan pemandangannya indah,” kata dr Yudha dengan wajah berseri. Sinar matahari sore menerpa wajahnya yang bersih. Mata coklatnya terlihat makin bening tertimpa cahaya.
Matahari sudah amat condong ke barat. Kira-kira 20 menit lagi dia akan tenggelam dan malam segera menjelang.
“Selamat ya Nur…” kata dr Yudha tiba-tiba membuatku bingung. Apa maksudnya.
“Selamat untuk apa?” tanyaku karena aku benar-benar tidak tau apa maksudnya.
Dia diam sejenak dan memandangku lekat-lekat. Aku langsung menundukkan wajahku dan memandang ke arah cakrawala yang tidak berawan sedikitpun. Aku tau dia masih memperhatikanku karena itu aku belum berani mengalihkan pandanganku ke arahnya.
“Selamat karena sebentar lagi kamu akan menikah,” katanya membuat jantungku terasa akan copot.
Dari mana dia tau tentang pernikahanku? Aku belum memberitahukan soal ini pada siapapun kecuali Aida. Mungkinkah Aida yang bercerita padanya? Tidak mungkin, aku belum memberi tau Aida bahwa aku akan menikah minggu depan.
“Dokter tau dari mana saya akan menikah?”
Dia hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Pria itu sangat beruntung dapat istri seperti kamu Nur,” katanya tanpa memperdulikan pertanyaanku. Aku makin tidak paham dengan apa yang dikatakannya.
“Tapi sayang dia bukan aku,” bisiknya nyaris tak terdengar. Aku pun sebenarnya tidak yakin itu adalah kalimat yang diucapkannya.
Ku lirik wajahnya yang kini menghadap ke arah matahari yang telah menyentuh garis cakrawala. Wajahnya terlihat teduh tertimpa cahaya jingga petang itu. Namun tidak seceria biasanya atau saat membuat istana pasir tadi.
Aku hanya diam melihat dia juga terdiam. Hanya suara anak-anak yang tetap asik bermain yang memecah kesunyian diantara kami. Tidak lama kemudia dokter Yudha mengambil dan menjinjing sepatunya lalu pergi setelah mengucapkan salam.
Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikapnya barusan. Awalnya datang dengan senyuman yang biasa menghiasi bibirnya, lalu sekarang dia pergi dengan raut wajah yang jauh berbeda dan belum pernah ku lihat sebelumnya. Apakah ada yang mengganggu pikirannnya atau ada yang menyakiti hatinya? Dari mana dia tau tentang pernikahanku? Atau mungkinkah dia bersedih karena aku akan menikah?
’Tapi sayang dia bukan aku’ apa maksudnya berkata begitu? Bukankah aku sudah pernah ”melamarnya” dan dia tidak memberikan jawaban apa-apa?
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar