Kamis, 26 Mei 2011

SEDIH



Hey…
Salam dari ku yang bercokol di sudut hatimu
Jabatlah tangan semuku
Perkenalkan aku adalah rasa
Aku adalah bagian dari dirimu yang sering kau abaikan
Dan kadang aku kehilangan suara untuk memanggilmu
Mau tau bagaimana aku bisa bicara padamu saat ini ?...
Aku selalu ada disetiap permainan hati yang kau lakukan
Karena hanya saat itu jiwamu menjadi sarang yang nyaman untukku
Taukah kau ?...
Aku senang saat kau kalah
Aku senang saat kau menumpahkan air mata
Aku senang saat hatimu teriris
Aku menikmati setiap penderitaanmu
Karena hanya saat itulah kau menoleh padaku
Kau milikku seutuhnya saat kau tertunduk bisu disitu
Sekarang tariklah dirimu dari hingar-bingar itu dan ikut bersamaku
Hanya aku yang paling setia di setiap jalan yang kau pilih
Ayo bergegaslah...

Hey rasa...
Ku sambut salammu
Terimakasih sudah hadir
Sungguh hebat dirimu
Ku fikir aku sangat ingin berguru dan mengabdi padamu
Tapi aku tau, tempatmu terlalu kecil untukku mengayunkan tangan dan kaki
Dan ku rasa kau juga tidak memerlukan pengikut sepertiku
Terimakasih kau menarik mata dan hatiku untuk menoleh ketempatmu berada
Menundukkan wajahku dan memalingkanku dari cahaya yang membutakan itu
Aku akan duduk bersamamu sejenak
Tapi esok aku akan melupakanmu lagi
Dan sebelum aku pergi
Aku akan menoleh ke arahmu dengan senyum tipis disudut bibirku...


Tembilahan, 27 Mei 2011
So sad when I know something about you
But I think I need this feeling…




Sabtu, 07 Mei 2011

Yang Salah Hanya Awalnya

Mauris sedikit heran melihat mobil tantenya terparkir di halaman rumah. Pasti ada sesuatu yang sedang terjadi di dalam rumah, mengingat hubungan tante dan mamanya tidak begitu baik. Dan benar saja, saat ia memasuki rumah terdengar suara ribut dari ruangan keluarga.
Setelah mendengar beberapa saat Mauris mengerti apa yang diributkan oleh tante dan mamanya. Yeah apalagi yang diributkan saudara kalau bukan harta warisan.
“maaf, mama dan tante buat apa sih ribut-ribut masalah yang nggak penting gini,” Mauris berusaha menengahi.
“heh anak ingusan, jangan ikut cambur kamu masalah orang tua!” bentak tantenya. Mauris hapal watak tantenya, kasar dan sombong. Dia punya pengalaman buruk dengan tantenya itu. Waktu kecil Mauris sering dimarahi dan diplototi oleh tantenya tanpa ada alasan yang jelas.
“tante sekarang dirumah ku dan jangan bikin ribut donk,” Mauris melawan karena tidak bisa menahan emosi.
“dasar anak haram, gak sopan kamu sama orang tua!” bentak tantenya lagi.
“heh kamu nggak pernah ya ngajarin anak harammu itu sopan santun!” bentaknya lagi mengarah ke mama Mauris.
Mauris terperanjat mendengar kata-kata yang dilontarkan tantenya barusan. Dia disebut ”anak haram” dan itu sungguh sangat mengejutkan.
”apa maksud tante?” tanya Mauris dengan suara menahan tangis dan kaget.
“kamu tanya sama mama kamu itu!” ujar tantenya lalu pergi meninggalkan Mauris dan mamanya yang sama-sama terdiam dengan seribu kata yang tertahan.
Dengan langkah berat Mauris mendekati mamanya yang duduk dengan kepala tertunduk di sofa ruang keluarga itu.
“tolong jelaskan ma,” pinta Mauris jantung berdebar.
“Ris, maafin mama,” ujarnya seraya menangis.
”jelaskan!”
”memang benar mama mengandung kamu sebelum menikah dengan papa. Mama nggak sengaja, mama khilaf,” terang mamanya singkat dan penuh penyesalan.
Untuk sesaat Mauris merasa dadanya sangat sesak dan ia merasa berada diwah kaki takdir yang menginjaknya sampai rata dengan tanah.
”semua . . . ”
”cukup ma, aku nggak mau dengar lagi!“ bentak Mauris lalu pergi meninggalkan rumah tanpa menghiraukan panggilan mamanya.
Selama ini ia merasa bahwa mamanya adalah manusia paling suci dan hebat di muka bumi ini. Walau hubungan mama dan papa tidak berjalan lancar tapi mama adalah mama terbaik di dunia. Mama yang mengajarkannya untuk menjaga diri. Mama yang mengajarkan keperawanan itu adalah harga diri.
Sementara papa sibuk dengan urusannya sendiri. Dia lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah, bahkan Mauris tidak pernah merasa belaian kasih sayang dari papanya. Mereka sering bertengkar karena hal-hal sepele seperti mama telat menghidangkan makan malam atau lauk yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Mauris hanya bisa menutup kupingnya rapat-rapat setiap kali mereka bertengkar. Keributan itu akan semakin gaduh saat Vina, adiknya, menangis karena tidak tahan mendengar bentakan-bentakan yang terlontar dari mulut mereka.
Mauris sering bertanya dalam hati mengapa keluarganya tidak bisa bahagia seperti keluarga teman-temannya. Ia dibesarkan dalam keluarga yang cacat tanpa tau penyebab cacatnya apa. Bahkan pernah ia menyarankan pada mama untuk menceraikan papanya. Tapi hingga saat ini tidak ada yang mau bercerai.
Sekarang pertanyaannya terjawab sudah. Selama ini mama tidak pernah mau bercerita tentang bagaimana ia bertemu dengan papa, karena ingin menutupi bahwa aku ini adalah anak diluar nikah. Ia menyadari mengapa keluarganya tidak pernah bahagia, itu semua karena dimulai dengan langkah yang salah.
Mauris memacu sepeda motornya tanpa tujuan yang pasti. Di tempat yang sepi ia lalu menumpahkan tangisnya yang sudah ditahannya dari tadi. Hari ini benar-benar berat baginya. Kenyataan ini sungguh berat baginya.
Berhari-hari ia murung dan mengunci diri di kamar. Hanya keluar untuk pergi kuliah dan baru pulang hampir tengah malam saat semua orang sudah tidur. Jika tanpa sengaja ia bertemu pandanga dengan mama, ia langsung membuang muka dan bergegas masuk ke kamarnya.
Dikampuspun Mauris yang biasa ceria tiba-tiba menjadi pendiam. Kadang saat semuanya sudah tertawa ngakak dia hanya menyunggingkan senyum tipis karena tidak begitu mengikuti obrolan teman-temannya.
“Loe napa sih Ris murung aja beberapa hari ini?” tanya Yudha, salah seorang sahabatnya.
Mauris menghela napas panjang sambil menggeleng.
”Kalau memang nggak ada masalah jangan diem donk, anak-anak kan pada bingung kalau loe diem gini,” bujuk Yudha.
”Yud, loe ngeliat gw beda nggak dari temen-temen yang lain?” tanya Mauris.
”Ya bedalah, loe tuh gila, tengil dan jail,” jawan Yudha setengah tertawa.
”Loe nggak ngeliat bintik hitam dijidat, pipi, hidung  atau dimana aja yang membuat orang-orang tau asal-muasal gw?” tanyanya lagi.
”Maksudnya apa sih Ris? Yg gw liat muka loe tuh kaya toilet lalat buang hajat,” jawab Yudha berusaha membuat lelucon.
”Ternyata gw anak haram Yud,” ujar Mauris lalu tertunduk dalam
Yudha segera menghentikan tawanya dan menatap Mauris dengan pandangan iba. Ia berusaha mencari kata-kata untuk menghibur sahabatnya itu.
“Ris, bukan cuma loe di dunia ini yang terlahir dengan cara seperti itu. Banyak, malah lebih tragis karena mereka sama sekali gak tau terlahir dari rahim siapa. Yang salah cuma awal tapi selanjutnya sama aja. Loe jangan ngejudge orang tua loe hina karena loe gak tau betapa berat hidup yang mereka jalani dulu menanggung cemoohan orang sekitar mereka. Cukup itu mereka alami dulu, jangan loe lakuin lagi sekarang,” ujar Yudha.
“Tapi . . .”
“ssssttt….” Yudha menaruh jarinya di bibir Mauris
“begitulah cara takdir membawa loe ke dunia ini dan menjadikan loe sahabat gw yang paling gw sayang,” ujar Yudha sambil memeluknya erat.
“sekarang loe samperin mama loe sana, kemaren dia nelpon gw nanyain loe,” suruh Yudha sembari melepaskan pelukannya.
Tapi belum sempat ia melagkah, handphonenya berbunyi dan terdengar suara diseberang sana menyampaikan berita yang membuat dunianya berhenti berputar.
Mauris memacu langkahnya menuju ruang ICU. Mamanya terbaring lemah bersimbah darah karena baru saja menjadi korban tabrak lari. Dokte berusaha keras membantu tapi keadaannya sangat kritis. Mauris tak kuasa menahan tangis saat berada disamping mamanya tak bergerak.
”mama bangun,” pintanya sesungutan.
Dua hari mamanya koma karena mengalami pendarahan otak. Akhirnya sore itu jemari mama menggapai kepala Mauris yang tengah tertidur di samping tempat tidur perawatan.
”mama . . . ” panggil mauris berlinang air mata.
Air mata mengalir dari sudut mata mamanya. Ia memandang Mauris tanpa berkedip dan seulas senyuman tersungging di bibirnya yang tertutup alat bantu pernapasan. Beberapa detik kemudian genggaman tangannya perlahan melemah dan terus melemah sampai tangan itu tak ada tenaga lagi.
***

Jumat, 06 Mei 2011

Suatu Sore



Sebuah tamparan hebat ku rasakan saat melihat dia pergi. Mataku tak kuasa melihat walau semuanya tampak samar dibalik butir-butir air mata yang mengalir deras. Aku seperti sebuah titik yang secepat putaran waktu menghilang ditelan layar putih yang kosong. dan saat aku membuka mata semuanya terasa begitu sepi dan tiada siapapun disini.

Seandainya aku boleh meminta pada Tuhan, aku ingin hari itu tidak pernah ada. Hari dimana aku memutuskan untuk pindah ke kota kecil ini dan hari dimana aku kembali membiarkan diriku terhanyut dalam sebuah perasaan yang dinamakan cinta.

Sore yang basah, seperti sore-sore sebelumnya. Sore yang selalu membuatku merasa bahagia kala melihat titik-titik bening itu jatuh ke permukaan air dan membuat lingkaran yang makin lama makin membesar.
Kali ini semua menjadi sangat luar biasa. titik-titik bening itu menjelma menjadi malaikat tanpa sayap dengan tatapan hangat dari sepasang matanya yang indah. Dan dia tengah memamerkan keelokan rupanya di hadapanku saat ini.

”ada yang bisa saya bantu mas?” tanya ku pada customer yang terpaksa ku layani karena sebenarnya jam kerjaku sudah habis. Tapi seperti biasa teman-temanku terlalu usil untuk membiarkanku meninggalkan kursi eksekusi ini lebih cepat.

”ya, saya butuh informasi yang jelas tentang produk anda ini,” pintanya seraya memegang beberapa brosur produk terbaru dari perusahaan tempatku bekerja.

Dengan cepat aku menjelaskan tanpa bermaksud menawarkan produk itu.  Aku berharap dia tidak berminat, karena jika dia mau aku akan bekerja ekstra sore ini. Tapi semuanya persis terjadi diluar keinginanku, ketertarikannya terhadap produk itu membuat kami terlibat dalam pembicaraan yang panjang dan sesekali menyangkut hal yang pribadi.

Sesekali ku tatap pemilik mata indah itu. Ada rasa damai saat ku melihat jauh ke dalam sana. Ada rasa kagum dan sedikit hayalan bodoh tentang sesuatu yang ku kira mustahil terjadi.
Oh pemilik alam semesta, betapa elok ciptaanmu yang Engkau kirimkan ke hadapanku saat ini.
”aku ingin menjadi miliknya,” bisik hatiku yang tak bisa ku paksa diam.

Entah bagaimana garis nasip meliuk-liuk hingga di sebuah malam yang syahdu aku duduk bersamanya di bawah atap malam. Walau hanya beberapa bintang yang menemani bulan yang enggan bersinar, tapi malam itu terasa sangat sempurna saat dia menggenggam tanganku dan memintaku untuk jadi miliknya.
Seluruh rasaku tumpah saat itu juga.

Rasanya aku kembali menjadi gadis remaja yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta. Semua terasa begitu indah dan malam itu adalah malam yang sangat sempurna untuk mengatakan bahwa aku jatuh cinta dan aku adalah wanita yang paling bahagia saat ini.

Sekarang aku adalah pemilik mata indah itu. Rasanya ingin ku sulap dia menjadi sebuah miniatur agar bisa ku bawa ia kemapun aku pergi. Demikianlah cinta yang begitu gerlap gempita mempertontonkan keindahannya.

Semua hal biasa terasa begitu istimewa saat bersamanya. Tiada hari tanpa dirinya. Tiada kata tanpa menyebut namanya. Semua hanya dia, dia dan dia.

Hingga aku terlupa.
Senja tak selamanya jingga atau hujan tak selamanya hanya titik-titik kecil yang indah. Apalagi cinta yang kadarnya tak bisa diukur. Datang dan pergi tanpa mengenal kata permisi dan rambu-rambu. Semuanya terasa indah di awal tapi menyengsarakan di akhir.
Yang jika kehilangannya kau akan menyesalinya dari awal dan lupa memetik hikmah yang kau dapat saat bersamanya. Kenapa aku harus bertemu dia dan kemudian jatuh cinta jika hanya menorehkan luka???

Cinta berubah...
Cinta itu seperti es yang mencair lalu menjadi air dan menguap
Cinta itu tidak seperti asinnya air laut yang kadarnya tidak berubah
Dan cinta tak pernah seindah dongeng yang berakhir bahagĂ­a untuk selama-lamanya

kini si pemilik mata indah itu tak lagi ku dengar gelak tawanya. Tak lagi ku lihat keteduhan di wajahnya. Semua benar-benar sudah berubah.

“Aku sibuk dan ku harap kamu bisa ngerti,” ujarnya.
“Kenapa tiba-tiba sibuk? Dulu kamu punya banyak waktu buat aku,” protesku keras.
“terserah kamu mau bilang apa, yang jelas kondisiku sekarang memang begitu! Aku pusing karena gak cuma kerjaan aja yang ku pikirin tapi juga masalah keluarga. Dan aku harus cari solusi untuk semua masalah itu. Harus ada yang aku korbankan, dan aku ngorbanin kamu,” terangnya.

Lama aku mencari makna dari perkataannya ”mengorbankan”. Kenapa harus aku yang dikorbankan? Mengapa aku? Apakah ”dikorbankan” adalah posisi terhormat dalam sebuah kisah cinta? Apakah ”dikorbankan” adalah sebuah status yang harus membuatku bangga.
Mengapa dia tidak bersandar di pundakku jika dia sedang kehabisan akal? Atau mengapa dia tidak sedikitpun membagi laranya denganku? Bukankah bersama untuk saling berbagi dan melengkapi?

Setiap pagi aku terbangun dengan dirinya di benakku. Setiap yang ku lakukan ku berharap bisa memahami apa yang dia alami. Setiap malam aku mencoba tidur tanpa berfikir sedikitpun hal buruk tentang dirinya. Dan saat aku berangkat ke alam mimpi, ku harap bisa menemukan dia yang kemaren ku lihat dengan mata berbinar menatapku. Ku coba mencari rasa hangat yang ku rasa setiap dia menggenggam tanganku.
Tapi semakin lama rasa itu semakin kabur karena dia semakin jauh dari sisiku dan tak bisa selalu ku lihat. Aku bisa memaklumi ini saat aku berfikir dia butuh waktu untuk menyelesaikan semua urusannya. Aku bisa memahami saat aku membutuhkannya dia sedang berjuang disana untuk menata kehidupan masa depan buat kami berdua. Aku coba memahaminya walau prasangka buruk yang kerap muncul.

Aku berharap suatu sore dia hadir di hadapanku dengan senyum hangat di bibirnya dan binar di mata indahnya. Hanya itu harapan sederhana yang ku sematkan dalam hati setiap matahari mulai condong ke barat.

Entah berapa sore aku menunggu. Tapi menuju hatiku seperti jalan panjang yang tak berujung baginya. Lelah ku menunggu hingga akhirnya aku terluka oleh waktu. Kau pun berubah menjadi angan-angan buatku, hanya ada di hayalan tapi semakin pudar jika aku ingin mewujudkan.

Aku berharap dia berhenti sejenak dan duduk di hadapanku. Menatap ke dalam hatiku dan menyimak semua rasa yang timbul karena jarak yang tercipta diantara kami. Tapi itu tak kunjung terjadi hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengakikhirinya.

Suatu malam yang suram. Teramat sangat galau hati ini hingga tak sepatah katapun terucap dengan pasti. Tapi ku tau dia bisa menangkap maksudku dengan jelas. Bahkan sangat jelas sehingga dia meninggalkanku tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.

Cerita yang singkat. Tapi begitulah cinta menorehkan sejarahnya. Tidak peduli berapa singkatnya ia terjalin tapi luka dan air mata yang tercipta sama saja dengan cinta yang telah berabad dijalani.

Jika kemarin aku jatuh cinta seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta, kini aku seperti seseorang tua renta yang kehilangan tongkat untuknya menopang diri. Tiada siapapun di sisi dan tiada apapun di hati. Sepi dan perlahan dia mati tanpa siapapun menangisi kepergiannya.

Dan kini akhirnya ku temukan arti dari kata ”dikorbankan” adalahTIDAK DIINGINKAN.
***

Tembilahan
Selasa, 22 maret 2011