Jumat, 06 Mei 2011

Suatu Sore



Sebuah tamparan hebat ku rasakan saat melihat dia pergi. Mataku tak kuasa melihat walau semuanya tampak samar dibalik butir-butir air mata yang mengalir deras. Aku seperti sebuah titik yang secepat putaran waktu menghilang ditelan layar putih yang kosong. dan saat aku membuka mata semuanya terasa begitu sepi dan tiada siapapun disini.

Seandainya aku boleh meminta pada Tuhan, aku ingin hari itu tidak pernah ada. Hari dimana aku memutuskan untuk pindah ke kota kecil ini dan hari dimana aku kembali membiarkan diriku terhanyut dalam sebuah perasaan yang dinamakan cinta.

Sore yang basah, seperti sore-sore sebelumnya. Sore yang selalu membuatku merasa bahagia kala melihat titik-titik bening itu jatuh ke permukaan air dan membuat lingkaran yang makin lama makin membesar.
Kali ini semua menjadi sangat luar biasa. titik-titik bening itu menjelma menjadi malaikat tanpa sayap dengan tatapan hangat dari sepasang matanya yang indah. Dan dia tengah memamerkan keelokan rupanya di hadapanku saat ini.

”ada yang bisa saya bantu mas?” tanya ku pada customer yang terpaksa ku layani karena sebenarnya jam kerjaku sudah habis. Tapi seperti biasa teman-temanku terlalu usil untuk membiarkanku meninggalkan kursi eksekusi ini lebih cepat.

”ya, saya butuh informasi yang jelas tentang produk anda ini,” pintanya seraya memegang beberapa brosur produk terbaru dari perusahaan tempatku bekerja.

Dengan cepat aku menjelaskan tanpa bermaksud menawarkan produk itu.  Aku berharap dia tidak berminat, karena jika dia mau aku akan bekerja ekstra sore ini. Tapi semuanya persis terjadi diluar keinginanku, ketertarikannya terhadap produk itu membuat kami terlibat dalam pembicaraan yang panjang dan sesekali menyangkut hal yang pribadi.

Sesekali ku tatap pemilik mata indah itu. Ada rasa damai saat ku melihat jauh ke dalam sana. Ada rasa kagum dan sedikit hayalan bodoh tentang sesuatu yang ku kira mustahil terjadi.
Oh pemilik alam semesta, betapa elok ciptaanmu yang Engkau kirimkan ke hadapanku saat ini.
”aku ingin menjadi miliknya,” bisik hatiku yang tak bisa ku paksa diam.

Entah bagaimana garis nasip meliuk-liuk hingga di sebuah malam yang syahdu aku duduk bersamanya di bawah atap malam. Walau hanya beberapa bintang yang menemani bulan yang enggan bersinar, tapi malam itu terasa sangat sempurna saat dia menggenggam tanganku dan memintaku untuk jadi miliknya.
Seluruh rasaku tumpah saat itu juga.

Rasanya aku kembali menjadi gadis remaja yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta. Semua terasa begitu indah dan malam itu adalah malam yang sangat sempurna untuk mengatakan bahwa aku jatuh cinta dan aku adalah wanita yang paling bahagia saat ini.

Sekarang aku adalah pemilik mata indah itu. Rasanya ingin ku sulap dia menjadi sebuah miniatur agar bisa ku bawa ia kemapun aku pergi. Demikianlah cinta yang begitu gerlap gempita mempertontonkan keindahannya.

Semua hal biasa terasa begitu istimewa saat bersamanya. Tiada hari tanpa dirinya. Tiada kata tanpa menyebut namanya. Semua hanya dia, dia dan dia.

Hingga aku terlupa.
Senja tak selamanya jingga atau hujan tak selamanya hanya titik-titik kecil yang indah. Apalagi cinta yang kadarnya tak bisa diukur. Datang dan pergi tanpa mengenal kata permisi dan rambu-rambu. Semuanya terasa indah di awal tapi menyengsarakan di akhir.
Yang jika kehilangannya kau akan menyesalinya dari awal dan lupa memetik hikmah yang kau dapat saat bersamanya. Kenapa aku harus bertemu dia dan kemudian jatuh cinta jika hanya menorehkan luka???

Cinta berubah...
Cinta itu seperti es yang mencair lalu menjadi air dan menguap
Cinta itu tidak seperti asinnya air laut yang kadarnya tidak berubah
Dan cinta tak pernah seindah dongeng yang berakhir bahagĂ­a untuk selama-lamanya

kini si pemilik mata indah itu tak lagi ku dengar gelak tawanya. Tak lagi ku lihat keteduhan di wajahnya. Semua benar-benar sudah berubah.

“Aku sibuk dan ku harap kamu bisa ngerti,” ujarnya.
“Kenapa tiba-tiba sibuk? Dulu kamu punya banyak waktu buat aku,” protesku keras.
“terserah kamu mau bilang apa, yang jelas kondisiku sekarang memang begitu! Aku pusing karena gak cuma kerjaan aja yang ku pikirin tapi juga masalah keluarga. Dan aku harus cari solusi untuk semua masalah itu. Harus ada yang aku korbankan, dan aku ngorbanin kamu,” terangnya.

Lama aku mencari makna dari perkataannya ”mengorbankan”. Kenapa harus aku yang dikorbankan? Mengapa aku? Apakah ”dikorbankan” adalah posisi terhormat dalam sebuah kisah cinta? Apakah ”dikorbankan” adalah sebuah status yang harus membuatku bangga.
Mengapa dia tidak bersandar di pundakku jika dia sedang kehabisan akal? Atau mengapa dia tidak sedikitpun membagi laranya denganku? Bukankah bersama untuk saling berbagi dan melengkapi?

Setiap pagi aku terbangun dengan dirinya di benakku. Setiap yang ku lakukan ku berharap bisa memahami apa yang dia alami. Setiap malam aku mencoba tidur tanpa berfikir sedikitpun hal buruk tentang dirinya. Dan saat aku berangkat ke alam mimpi, ku harap bisa menemukan dia yang kemaren ku lihat dengan mata berbinar menatapku. Ku coba mencari rasa hangat yang ku rasa setiap dia menggenggam tanganku.
Tapi semakin lama rasa itu semakin kabur karena dia semakin jauh dari sisiku dan tak bisa selalu ku lihat. Aku bisa memaklumi ini saat aku berfikir dia butuh waktu untuk menyelesaikan semua urusannya. Aku bisa memahami saat aku membutuhkannya dia sedang berjuang disana untuk menata kehidupan masa depan buat kami berdua. Aku coba memahaminya walau prasangka buruk yang kerap muncul.

Aku berharap suatu sore dia hadir di hadapanku dengan senyum hangat di bibirnya dan binar di mata indahnya. Hanya itu harapan sederhana yang ku sematkan dalam hati setiap matahari mulai condong ke barat.

Entah berapa sore aku menunggu. Tapi menuju hatiku seperti jalan panjang yang tak berujung baginya. Lelah ku menunggu hingga akhirnya aku terluka oleh waktu. Kau pun berubah menjadi angan-angan buatku, hanya ada di hayalan tapi semakin pudar jika aku ingin mewujudkan.

Aku berharap dia berhenti sejenak dan duduk di hadapanku. Menatap ke dalam hatiku dan menyimak semua rasa yang timbul karena jarak yang tercipta diantara kami. Tapi itu tak kunjung terjadi hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengakikhirinya.

Suatu malam yang suram. Teramat sangat galau hati ini hingga tak sepatah katapun terucap dengan pasti. Tapi ku tau dia bisa menangkap maksudku dengan jelas. Bahkan sangat jelas sehingga dia meninggalkanku tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.

Cerita yang singkat. Tapi begitulah cinta menorehkan sejarahnya. Tidak peduli berapa singkatnya ia terjalin tapi luka dan air mata yang tercipta sama saja dengan cinta yang telah berabad dijalani.

Jika kemarin aku jatuh cinta seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta, kini aku seperti seseorang tua renta yang kehilangan tongkat untuknya menopang diri. Tiada siapapun di sisi dan tiada apapun di hati. Sepi dan perlahan dia mati tanpa siapapun menangisi kepergiannya.

Dan kini akhirnya ku temukan arti dari kata ”dikorbankan” adalahTIDAK DIINGINKAN.
***

Tembilahan
Selasa, 22 maret 2011





Tidak ada komentar:

Posting Komentar