Sabtu, 07 Mei 2011

Yang Salah Hanya Awalnya

Mauris sedikit heran melihat mobil tantenya terparkir di halaman rumah. Pasti ada sesuatu yang sedang terjadi di dalam rumah, mengingat hubungan tante dan mamanya tidak begitu baik. Dan benar saja, saat ia memasuki rumah terdengar suara ribut dari ruangan keluarga.
Setelah mendengar beberapa saat Mauris mengerti apa yang diributkan oleh tante dan mamanya. Yeah apalagi yang diributkan saudara kalau bukan harta warisan.
“maaf, mama dan tante buat apa sih ribut-ribut masalah yang nggak penting gini,” Mauris berusaha menengahi.
“heh anak ingusan, jangan ikut cambur kamu masalah orang tua!” bentak tantenya. Mauris hapal watak tantenya, kasar dan sombong. Dia punya pengalaman buruk dengan tantenya itu. Waktu kecil Mauris sering dimarahi dan diplototi oleh tantenya tanpa ada alasan yang jelas.
“tante sekarang dirumah ku dan jangan bikin ribut donk,” Mauris melawan karena tidak bisa menahan emosi.
“dasar anak haram, gak sopan kamu sama orang tua!” bentak tantenya lagi.
“heh kamu nggak pernah ya ngajarin anak harammu itu sopan santun!” bentaknya lagi mengarah ke mama Mauris.
Mauris terperanjat mendengar kata-kata yang dilontarkan tantenya barusan. Dia disebut ”anak haram” dan itu sungguh sangat mengejutkan.
”apa maksud tante?” tanya Mauris dengan suara menahan tangis dan kaget.
“kamu tanya sama mama kamu itu!” ujar tantenya lalu pergi meninggalkan Mauris dan mamanya yang sama-sama terdiam dengan seribu kata yang tertahan.
Dengan langkah berat Mauris mendekati mamanya yang duduk dengan kepala tertunduk di sofa ruang keluarga itu.
“tolong jelaskan ma,” pinta Mauris jantung berdebar.
“Ris, maafin mama,” ujarnya seraya menangis.
”jelaskan!”
”memang benar mama mengandung kamu sebelum menikah dengan papa. Mama nggak sengaja, mama khilaf,” terang mamanya singkat dan penuh penyesalan.
Untuk sesaat Mauris merasa dadanya sangat sesak dan ia merasa berada diwah kaki takdir yang menginjaknya sampai rata dengan tanah.
”semua . . . ”
”cukup ma, aku nggak mau dengar lagi!“ bentak Mauris lalu pergi meninggalkan rumah tanpa menghiraukan panggilan mamanya.
Selama ini ia merasa bahwa mamanya adalah manusia paling suci dan hebat di muka bumi ini. Walau hubungan mama dan papa tidak berjalan lancar tapi mama adalah mama terbaik di dunia. Mama yang mengajarkannya untuk menjaga diri. Mama yang mengajarkan keperawanan itu adalah harga diri.
Sementara papa sibuk dengan urusannya sendiri. Dia lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah, bahkan Mauris tidak pernah merasa belaian kasih sayang dari papanya. Mereka sering bertengkar karena hal-hal sepele seperti mama telat menghidangkan makan malam atau lauk yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Mauris hanya bisa menutup kupingnya rapat-rapat setiap kali mereka bertengkar. Keributan itu akan semakin gaduh saat Vina, adiknya, menangis karena tidak tahan mendengar bentakan-bentakan yang terlontar dari mulut mereka.
Mauris sering bertanya dalam hati mengapa keluarganya tidak bisa bahagia seperti keluarga teman-temannya. Ia dibesarkan dalam keluarga yang cacat tanpa tau penyebab cacatnya apa. Bahkan pernah ia menyarankan pada mama untuk menceraikan papanya. Tapi hingga saat ini tidak ada yang mau bercerai.
Sekarang pertanyaannya terjawab sudah. Selama ini mama tidak pernah mau bercerita tentang bagaimana ia bertemu dengan papa, karena ingin menutupi bahwa aku ini adalah anak diluar nikah. Ia menyadari mengapa keluarganya tidak pernah bahagia, itu semua karena dimulai dengan langkah yang salah.
Mauris memacu sepeda motornya tanpa tujuan yang pasti. Di tempat yang sepi ia lalu menumpahkan tangisnya yang sudah ditahannya dari tadi. Hari ini benar-benar berat baginya. Kenyataan ini sungguh berat baginya.
Berhari-hari ia murung dan mengunci diri di kamar. Hanya keluar untuk pergi kuliah dan baru pulang hampir tengah malam saat semua orang sudah tidur. Jika tanpa sengaja ia bertemu pandanga dengan mama, ia langsung membuang muka dan bergegas masuk ke kamarnya.
Dikampuspun Mauris yang biasa ceria tiba-tiba menjadi pendiam. Kadang saat semuanya sudah tertawa ngakak dia hanya menyunggingkan senyum tipis karena tidak begitu mengikuti obrolan teman-temannya.
“Loe napa sih Ris murung aja beberapa hari ini?” tanya Yudha, salah seorang sahabatnya.
Mauris menghela napas panjang sambil menggeleng.
”Kalau memang nggak ada masalah jangan diem donk, anak-anak kan pada bingung kalau loe diem gini,” bujuk Yudha.
”Yud, loe ngeliat gw beda nggak dari temen-temen yang lain?” tanya Mauris.
”Ya bedalah, loe tuh gila, tengil dan jail,” jawan Yudha setengah tertawa.
”Loe nggak ngeliat bintik hitam dijidat, pipi, hidung  atau dimana aja yang membuat orang-orang tau asal-muasal gw?” tanyanya lagi.
”Maksudnya apa sih Ris? Yg gw liat muka loe tuh kaya toilet lalat buang hajat,” jawab Yudha berusaha membuat lelucon.
”Ternyata gw anak haram Yud,” ujar Mauris lalu tertunduk dalam
Yudha segera menghentikan tawanya dan menatap Mauris dengan pandangan iba. Ia berusaha mencari kata-kata untuk menghibur sahabatnya itu.
“Ris, bukan cuma loe di dunia ini yang terlahir dengan cara seperti itu. Banyak, malah lebih tragis karena mereka sama sekali gak tau terlahir dari rahim siapa. Yang salah cuma awal tapi selanjutnya sama aja. Loe jangan ngejudge orang tua loe hina karena loe gak tau betapa berat hidup yang mereka jalani dulu menanggung cemoohan orang sekitar mereka. Cukup itu mereka alami dulu, jangan loe lakuin lagi sekarang,” ujar Yudha.
“Tapi . . .”
“ssssttt….” Yudha menaruh jarinya di bibir Mauris
“begitulah cara takdir membawa loe ke dunia ini dan menjadikan loe sahabat gw yang paling gw sayang,” ujar Yudha sambil memeluknya erat.
“sekarang loe samperin mama loe sana, kemaren dia nelpon gw nanyain loe,” suruh Yudha sembari melepaskan pelukannya.
Tapi belum sempat ia melagkah, handphonenya berbunyi dan terdengar suara diseberang sana menyampaikan berita yang membuat dunianya berhenti berputar.
Mauris memacu langkahnya menuju ruang ICU. Mamanya terbaring lemah bersimbah darah karena baru saja menjadi korban tabrak lari. Dokte berusaha keras membantu tapi keadaannya sangat kritis. Mauris tak kuasa menahan tangis saat berada disamping mamanya tak bergerak.
”mama bangun,” pintanya sesungutan.
Dua hari mamanya koma karena mengalami pendarahan otak. Akhirnya sore itu jemari mama menggapai kepala Mauris yang tengah tertidur di samping tempat tidur perawatan.
”mama . . . ” panggil mauris berlinang air mata.
Air mata mengalir dari sudut mata mamanya. Ia memandang Mauris tanpa berkedip dan seulas senyuman tersungging di bibirnya yang tertutup alat bantu pernapasan. Beberapa detik kemudian genggaman tangannya perlahan melemah dan terus melemah sampai tangan itu tak ada tenaga lagi.
***

1 komentar: