Jumat, 16 Maret 2012

It’s Called Desteny

Sore yang cerah di pertengahan November. Yah, disinilah aku, di kota ini, di taman ini dan dibangku ini. Tidak banyak yang berubah dengan tempat ini. Hembusan angin sepoi yang begitu dingin menusuk sampai ke tulang membuai dan memaksaku untuk menutup mata merasakan energinya mengalir hingga ke rongga dada. Tidak terasa sudah hampir lima tahun aku meningggalkan kota ini dan karena alasan pekerjaan aku kembali ke kota tempatku pernah menimba ilmu ini.
Ku buka notebook yang sedari tadi hanya tergelatak disampingku. Begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan apa lagi besok adalah meeting penting dengan salah satu kliant terbesar perusahaan adverticing tempatku bekerja. Dan di sini adalah tempat yag tepat untuk mencari inspirasi.
Saking seriusnya aku sampai tidak sadar seorang anak kecil yang berumur lebih kurang tiga tahun tengah memperhatikan ku dengan serius. Ku angkat kacamataku yang melorot sembari menyapanya dengan hangat.
“Hai sayang, dimana mamanya? Kamu tersesat?” tanyaku sambil mencolek dagunya.
Dengan tersipu-sipu dia menggeleng dan menunjuk susu kotak yang ada disebelah ku. Aku mengerti pasti dia menginginkan susu itu. Salahku menyukai susu yang biasa diminum oleh anak kecil, padahal dulu aku sama sekali tidak suka minum susu.
”Pasya...” panggil suara seorang pria dari arah sampingku. Dengan cepat anak itu menoleh kea arah datangnya suara dan berlari menuju pemilik suara itu.
Dan alangkah kagetnya saat aku mengenali pemilik suara itu. Mataku tak berkedip menatap sosok jangkung yang terlihat sedikit agak gemuk dari pada saat terakir aku melihatnya 5 tahun yang lalu.
”Gaza...” bisikku tertahan.
Sementara dia juga tidak kalah kaget melihatku tiba-tiba ada dikota ini setelah pergi tanpa pamit padanya sebulan sebelum pernikahan kami digelar.
Dengan langkah tertahan kami berjalan saling mendekat. Tidak tau harus bersalaman atau berpelukan. Kami hanya saling memandang mencoba membaca isyarat apa yang terpancar untuk dilakukan selanjutnya. Hingga akhirnya Gaza menyodorkan tangannya. Dengan sedikit kikuk ku sambut jabatan tangannya namun mataku tidak bisa lepas dari wajahnya.
“Anak yang imut,“ kataku mencoba bersikap sewajar mungkin.
“Iya,“ jawabnya singkat sembari tersenyum tipis.
Senyuman itu selalu menghias wajahnya yang terlihat angkuh. Dan itu tidak pernah berubah sejak ku mengenalnya pertama kali. Kadar senyuman itu masih sama.
“Ada apa kemari?“ tanyanya setelah kami sama-sama terdiam beberapa saat.
”Oh kebetulan ada kerjaan,” jawabku dengan sedikit tawa kecil.
”Nginap dimana?”
”Di hotel itu,” jawabku sambil menunjuk ke hotel yang tidak jauh dari taman ini.
”Oh baiklah, senang bertemu lagi,” katanya datar lalu menggendong anak kecil yang tadi ku berikan susu kotak.
”Masih minum susu ini rupanya?” katanya lagi sambil mengedipkan mata lalu beranjak pergi meninggalkanku yang mematung di taman itu. Ada kebencian ku lihat di mata itu.
Gaza, adalah cowok selalu yang menemaniku sejak awal kuliah hingga bekerja selama dua tahun di kota ini. Dia adalah sahabat terbaikku pada awalnya hingga akhirnya kami saling jatuh cinta dan sepakat untuk pacaran.
Hubungan kami sangat baik, bahkan teman-teman menobatkan kami sebagai pasangan paling serasi saat itu. Walau terkesan angkuh dan arogan, dia adalah sosok pria yang baik hati dan tidak terlalu banyak omong namun dingin. Awalnya aku sangat menyukai sikapnya itu. Karena pada dasarnya aku tidak suka pria yang banyak omong dan menggurui.
Di depan Gaza aku bebas menjadi apa saja. Dia pintar dan tau banyak hal. Dia adalah kamus besar dan remainder yang paling tepat waktu. Kebersamaan kami sangat sempurna sehingga tidak terasa kami telah berhubungan lebih dari 5 tahun.
Orangtuaku mulai mempertanyakan keseriusan kami, apalagi kami sudah sama-sama bekerja dan memasuki usia yang cukup untuk menikah. Dengan semangat kami mempersiapkan segala sesuatu untuk menyongsong pernikahan yang sudah ditentukan harinya.
Namur saat rencana itu sudah terealisasi hampir 75%, perasaanku tiba-tiba berubah 180 derjat. Aku mulai menyadari betapa hambarnya hubungan kami. Memang dia selalu ada saat aku membutuhkannya dan setia mendampingiku dalam kondisi apapun tapi aku tidak bisa pungkiri itu hanya membuatku bahagia pada 2 tahun pertama. Setelah itu hubungan kami datar dan hámbar seperti teman biasa.
Ada atau tidak ada dirinya bagiku sama saja. Dia tidak lagi menjadi orang yang selalu ku tunggu kehadirannya. Bahkan moment-moment pentingku tidak pernah ku rayakan dengannya. Dia tidak pernah melakukan hal yang romantis. Saat bersamanya tidak ada kebahagiaan yang terasa spesial dan kesedihan tetap menjadi kesedihan.
Begitu dahsyatnya keraguan yang muncul hingga suatu hari aku menulis surat singkat dan meninggalkan kota ini untuk selamanya. Aku tidak sanggup mengatakan ini langsung padanya. Aku tidak akan sanggup melihat dia sedih. Tapi aku mencoba realistis untuk tidak memaksakan diri mengakhiri hubungan ini di pelaminan. Lebih baik meningalkannya sekarang dari pada setelah menikah nanti.
Dan kini ku rasa dia sudah menemukan penggantiku dan memiliki seorang anak laki-laki yang imut.
***
Pagi ini dengan semangat aku dan seorang rekanku memasuki ruang meeting perusahaan besar di kota ini yang memakai jasa kami untuk mempromosikan produk mereka. Aku duduk dengan tenang dan sedikit berbasa-basi dengan anggota meeting dari perusahaan itu.
Namun suasana hatiku tiba-tiba berubah saat melihat Gaza memasuki ruang meeting itu. Salah seorang diantara mereka memperkenalkan Gaza sebagai Head Promotion di sini. Dengan gayanya yang khas Gaza memberi seulas senyum yang terlihat sesuai dengan wajahnya yang angkuh. Dia memperlihatkan sikap seolah-olah tidak pernah mengenalku.
“Hai senang bertemu dengan anda dan saya harap anda bisa memberikan presentasi yang bagus,“ katanya dengan nada menantang.
Sekuat tenaga aku mencoba bersikap wajar dan mempresentasikan hasil rancangan iklan yang sudah dengan susah payah ku buat. Aku merasa semua orang yang ada diruangan ini terpukau oleh presentasiku hingga aku tersentak saat mendengar pertanyaan singkat dari Gaza.
“Apa anda akan melaksanakan pekerjaan ini sampai selesai? Karena menurut pengalaman saya, orang seperti anda tidak pernah menyelesaikan sesuatu yang sudah anda mulai.”
Kalimat itu sangat tajam dan langsung menusuk hulu hatiku. Gaza, sepertinya dia sangat membenciku.
”Saya selalu profesional dalam melakukan pekerjaan saya,” jawabku mempertahankan diri.
”Baiklah saya rasa cukup,” katanya seraya menghela napas dan menatapku dengan tajam.
Tanpa sepatah katapun dia meninggalkan ruangan meeting itu dan tidak menoleh sedikitpun ke arahku.
Aku benar-benar tidak bisa menahan perasaanku. Entah apa yang membuat airmataku mengalir deras dikamar ini. Apakah penyesasalan karena telah meninggalkan Gaza atau karena perlakuan Gaza yang begitu menyakitkan. Dulu dia tidak seperti itu padaku. Dia tidak pernah menatapku dengan sorot mata setajam itu tapi kini……
Aku menangis sesungutan sampai suara bell pintu berbunyi berkali-kali. Setelah meghapus airmatku dengan cepat ku buka pintu itu dan sureprise saat aku melihat sosok yang berdiri disana. Tampangnya kusut dan pakaiannya sedikit berantakan.
Tanpa permisi Gaza masuk ke kamar itu dan menarikku dengan kasar hingga terduduk di sudut tempat tidur. Dia berdiri dengan gelisah sambil sesekali mengepalkan tangan.
”Setelah lima tahun kenapa kamu harus muncul lagi disini?” tanyanya dengan suara serak menahan amarah.
Airmataku kembali menetes dengan derasnya.
“Maafin aku, aku sudah nyakitin kamu,” jawabku terbata-bata.
“Maaf itu nggak cukup membayar semuanya!”
Dengan tajam dia menatapku yang terdunduk sambil menangis sesungutan. Selang beberapa detik kemudian dengan langkah cepat dia meninggalkanku sendiri di kamar ini.
Setelah meninggalkan Gaza 5 yahun lalu banyak hal buruk yang terjadi padaku. Keluarga yang sangat marah hingga mama terkena serangan jantung. Beberapa kali aku mencoba menjalin hubungan dengan pria lain tapi tidak pernah berhasil. Aku menganggap itu adalah karma namun ku coba menanggung itu semua sebagai resiko dari jalan hidup yang ku pilih.
***
Sebulan sudah berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Gaza. Seperti biasa aku menjalankan hari-hariku dengan penuh semangat dan ide-ide brilliant. Walau sesekali penyesalan menghantui aku menepisnya dengan senyum lebar untuk memotivasi diriku sendiri.
Sore yang mendung di awal Desember. Satu-satu titik hujan sudah jatuh membasahi bumi. Saat aku hendak berlari menuju parkiran sebuah tangan menarikku dengan kuat dan membuatku berlari mengikutinya.
”Gaza...” aku kaget melihat kedatangannya yang tiba-tiba.
Di membuka pintu sebuah mobil dan menjalankan mobil itu menyusuri jalanan kota.
”Kok kamuada disini?” tanyaku heran.
”Untuk sebuah tujuan,” jawabnya datar sambil terus menyetir.
”Kita mau kemana?”
”Ke tempat yang seharusnya.”
Karena tidak menemukan jawaban yang jelas aku hanya diam sambil sesekali menoleh ke arahnya. Tidak seperti kemarin, hari ini Gaza seperti beberapa tahun yang lalu saat kami masih bersama. Tidak sepatah katapun terucap dari bibirnya hingga mobil itu parkir di Kantor Urusan Agama.
Dengan cepat dia turun dan membukakan pintu mobil untukku.
”Ngapain kita kesini?” tanyaku mencoba menahan langkahnya.
”Sekali ini percayalah padaku,” katanya. Hujan yang tadinya gerimis telah berubah menjadi hujan deras.
Begitu memasuki kantor KUA orang tuaku dan orang tua Gaza berada disana ditemani oleh 2 orang abang ku dan seorang wanita yang mengendong anak kecil yang disampingnya berdiri abang kandung Gaza. Ternyata anak itu adalah anak dari Bang Randy, sodara laki-laki Gaza satu-satunya.
”Tunggu, tolong jelaskan, sebenarnya ada apa ini,” bentakku karena aku merasa ini semua sangat tidak wajar.
Gaza yang dari tadi tidak mengatakan apa-apa akhirnya angkat bicara.
”Seharusnya kita di sini 5 tahun yang lalu sampai kamu pergi entah kemana. Begitu jauh tempat ini hingga kita baru sampai sekarang. Raya, jangan suruh aku mengulang semuanya dari awal karena Pak penghulu ini mau pulang ke rumahnya. Dia mengijinkan kita menikah hari ini dengan catatan kita akan datang ke Bimbingan Pernikahan mulai besok. Jadi please jangan mengecewakan Bapak penghulu ini,” kata Gaza panjang lebar.
Aku terdiam seribu bahasa, tidak ada yang bisa ku katakan sementara hatiku berteriak-teriak menjawab iya. Seketika itu aku merasa bahwa tidak pernah berpisah dengannya.
”Pak Penghulu tunggu apa lagi, ayo nikahkan kami,” kataku dengan penuh semangat.
Ribuan rintik hujan turut menjadi saksi pernikahan kami. Air mata haru keluarga menyadarkanku bahwa takdir tidak bisa ditipu atau dihindari. Sejauh apapun aku pergi jika dia sudah ditakdirkan maka akan berjumpa lagi.
***


5 Maret 2012 Dini Hari

Nite all

Tidak ada komentar:

Posting Komentar