Jumat, 16 Maret 2012

WAY

Hey, pernahkah kau terjaga dipagi buta dan dibenakmu langsung terlintas pertanyaan “apakah yang akan memisahkanku dengan kekasih ku yang mencintai ku melebihi apapun di dunia ini?”
Saat kau sadar betapa dia sangat memujamu dan mengagungkanmu, kau mulai merasa berada diatas angin dan di sudut bibirmu tersungging senyum keangkuhan.
Kau makin larut mengikuti ego dan nafsumu tanpa merasa bersalah sedikitpun padanya.
Kau terlena melakukan dosa yang satu dan diikuti dengan dosa-dosa selanjutnya.
Kau membalas kasih sayangnya yang sehangat mentari pagi dan selembut salju dengan penghianatan-penghianatan yang selalu dimaafkannya.
Percayalah, kau tidak akan pernah merasa dia begitu berarti sebelum kau benar-benar kehilangannya dan tak ada jalan kembali padanya.
Percayalah, maut adalah perpisahan yang lebih mudah kau terima dari pada kau melihatnya tapi kau tak dapat lagi menyentuhnya.
***
Seperti biasa Ganda menjemputku pulang kuliah. Tidak banyak hal yang kami bicarakan. Ganda adalah cowok yang tidak pernah punya bahan obrolan. Jika kami bersama pasti hanya aku yang banyak bercerita dan apabila aku sedang malas bercerita kami hanya diam.
Dua tahun kami menjalani hubungan ini. Aku mulai merasa bosan, dia adalah orang yang tidak pernah membuatku tertawa, atau membuat hari-hari spesialku terasa berbeda atau kebahagiaanku menjadi sempurna.
Jenuh!! Itulah perasaan yang mulai tumbuh subur sehingga hubungan kami menjadi aneh. Aku hanya mau bertemu dia saat berangkat dan pulang kampus. Selebihnya aku lebih senang bersama teman-teman atau menghabiskan waktuku sendiri.
Suatu hari, aku bertemu dengan seorang cowok bernama Radit. Fisikly dia tidak lebih baik dari pada Ganda, tapi selebihnya dia menarik bagiku. Dia memiliki cara yang unik untuk mengajakku berkenalan. Entah mengapa aku langsung memberinya no handphone walaupun baru pertama kali bertemu. Aku belum pernah seramah ini pada cowok asing. Tapi kali ini benar-benar beda.
Sejak itu aku sering berhubungan dengan Radit walau hanya lewat telpon. Aku bisa mengobrol lama-lama dengannya. Hal yang hampir tidak pernah ku lakukan dengan Ganda. Radit punya sejuta bahan obrolan. Dia bisa membuatku tertawa dan tidak berhenti tertawa dengan kelucuan-kelucuan yang dibuatnya. Saat bersamanya aku merasa waktu begitu cepat berlalu. Radit bisa membuatku merasa begitu spesial.
Aku begitu leluasa bertemu dengan Radit tanpa takut ketahuan Ganda. Aku sangat tau bahwa Ganda tidak akan pernah bertanya aku dimana atau sedang apa. Jika aku sedang tidak ingin bertemu dengannya aku cukup menjawab ”tidak“ dan dia tidak akan memaksa.
Hampir 2 minggu ini aku lebih sering menghabiskan waktu dengan Radit.
’’Kalau kamu jalan sama aku, pacar kamu marah gak Hen?“ tanya Radit saat kami sedang makan.
”Gak kali,” jawabku cuek.
”Kamu tuh cewek aneh, nggak peduli sama pacar sendiri,” komentarnya.
”Biarin akh, aku bosan,” jawabku singkat.
”Kok gitu sih?”
”Kalau kamu mau ngomongin dia aku pulang aja,” ancamku.
”Nggak Henny, aku cuma nanya,” jawabnya sambil memegang tanganku.
Yah, begitulah. Semakin hari aku semakin larut dengan Radit. Aku mulai jatuh cinta padanya. Dia adalah sosok cowok yang aku suka dan idamkan. Dia membuat hari-hariku lebih berwarna, aku tidak peduli hal lainnya selain dia. Hingga akhirnya suatu hari Radit menyatakan cinta padaku. Tanpa pikir panjang aku menerima cintanya.
***
”Gan, kita putus aja ya?” pintaku pada Ganda.
Dia terdiam dan sepertinya dia juga kaget dengan apa yang baru saja ku katakan. Dia menatapku lama sehingga membuatku sedikit merasa bersalah.
Lama dia terdiam hingga akhirnya angkat bicara.
”Apa kamu yakin dengan keputusan kamu?” tanyanya datar.
Aku tau kali ini dia berusaha keras menyembunyikan perasaannya. Tapi aku sudah terlanjur memutuskan dan tidak mungkin membatalkannya. Aku rasa aku tidak akan begitu terpengaruh dengan kesedihannya karena aku sudah punya Radit.
Selang beberapa menit Ganda pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku yakin dia baik-baik saja karena Ganda bukan orang yang mudah terpancing emosi. Hidupnya begitu datar, kadang aku merasa dia adalah manusia tanpa emosi. Tapi jujur, aku sedikit merasa bersalah karena meninggalkan dia demi Radit. Tapi sudahlah, aku merasa pantas mendapatkan kebahagiaan yang selama ini tidak ku dapat darinya.
***
Dua bulan telah berlalu, hubunganku dengan Radit rasanya makin baik. Dia begitu memanjakanku. Berkali-kali dia memberikan kejutan yang tak ku duga. Aku benar-benar bahagia bersamanya. Sementara Ganda tidak pernah ku dengar kabarnya. Dia menghilang entah kemana. Pernah ku bertanya pada temannya, tapi mereka tidak ada yang tau. Dan aku tidak mencari tau lebih lanjut tentang dia karena sudah ada Radit yang lebih baik darinya.
Suatu hari Radit pamit padaku karena dia ada pekerjaan di luar kota.
”Kamu harus selalu kasi kabar ya,” pintaku.
”iya sayang’” jawabnya sambil mengecup lembut keningku.
Tapi ternyata setelah 2 hari Radit sama sekali tidak memberi kabar. Berkali-kali aku menelponnya tapi nomornya tidak aktif. Hingga suatu pagi yang suram akhirnya seseorang menjawab telponku.
”Halo,” sapa seseorang diseberang sana.
”Halo, maaf Raditnya ada?” jawabku sedikit gugup karena yang mengangkat telpon adalah seorang wanita.
”Radit lagi mandi,” jawab suara diseberang sana.
”Oh, ini siapa ya?” tanyaku lagi.
“Aku tunangannya Radit!”
Aku tersedak dan rasanya hampir muntah. Aku tidak percaya dengan apa yang barusan ku dengar.
“Kamu pacarnya Radit ya?” tanya suara di seberang sana datar.
“Bu..bukan,” jawabku gugup.
“Udah ngaku aja, aku nggak kaget kok kalau kamu memang pacarnya Radit soalnya kamu bukan satu-satunya pacar Radit. Sepagi ini aja udah ada tiga cewek yang nelpon dia,” jelasnya yang membuatku hampir pingsan mendengarnya.
“tapi aku bukan pacarnya,” jawabku berusaha menghindar.
“Baguslah, berarti kamu cukup pintar untuk tidak termakan kata-kata Radit. Tiga tahun aku bersama dia, udah nggak kehitung berapa kali dia punya pacar lagi dibelangku,” terang suara itu lagi.
Aku sudah tidak mau mendengar kata-kata perempuan itu. Semuanya sudah cukup menyakitkan.
Berkali-kali aku menelpon ulang berharap Radit mengangkat telponku dan menjelaskan semuanya. Aku butuh penjelasan langsung darinya, tapi dia tidak pernah menjawab telponku. Hingga seminggu berlalu dia baru menghubungiku.
”Tolong jelaskan, apa benar perempuan yang mengangkat telponku kemarin adalah tunangan kamu?” tanyaku penuh emosi.
”Iya, dia tunanganku,” jawabnya datar.
”Dan aku...” dadaku benar-benar sesak sehingga aku tidak bisa berkata-kata lagi.
”Hen, kamu harus tau kalau aku tidak bahagia sama dia, aku lebih mencintai kamu,” ujarnya.
Aku tidak sanggup berkata apa-apa lagi dan menutup telponnya lalu menangis sesungutan. Aku benar-benar tidak sanggup menahan rasa sesal yang datang bertubi-tubi. Aku hampir muntah mengingat semua kata-kata manis dan kenangan-kenangan dengan Radit. Ternyata semuanya palsu, dan dia sudah berhasil menipuku.
Tiba-tiba aku teringat sosok Ganda. Rasa bersalah mengerumuni hatiku, kurang lebih aku sudah melakukan hal yang sama padanya. Dan apa yang ku alami saat ini adalah karma atas apa yang ku lakukan pada Ganda. Rasanya ingin menunduk di depannya dan meminta maaf dengan sepenuh hati.
Akhirnya aku sadar bahwa dialah orang yang tidak pernah membuatku sedih, dialah yang tidak pernah berbohong, dialah yang benar-benar mencintaiku dan selalu ada saat aku membutuhkannya.
Dia tidak pernah membuat hari spesialku terasa istimewa tapi dialah yang membuatku selalu istimewa dengan selalu ada untukku. Dia tidak pernah menghibur saat ku sedih tapi dialah yang selalu menyelesaikan masalahku dan mengusap airmataku. Dialah yang selalu mendengarku dan tidak pernah berhenti mendengar semua caci makiku saat aku sedang kesal pada siapa dan apapun. Dia tidak pernah menghindariku, dia tidak pernah meninggalkanku. Aku benar-benar telah menjadi orang jahat meninggalkan Ganda untuk Radit.
***
Satu tahun telah berlalu, hingga suatu sore yang basah di penghujung tahun. Sebuah suara lembut memanggil riang namaku. Suara yang sudah lama tak ku dengar.
Ku palingkan wajah ke arah datangnya suara itu, Ganda.
”Hey apa kabar?” tanyanya dengan senyum mengembang.
Dia terlihat berbeda dengan yang ku lihat terakir kali. Dia terlihat lebih bahagia dan wajahnya berseri-seri, jauh lebih baik dari apa yang ku kira.
“Hey, kabar baik,“ jawabku berusaha bersikap wajar, rasanya ingin menghambur ke pelukannya seperti yang selalu ku lakukan jika ingin menangis.
’’kamu terlihat kurus,“ ujarnya lagi.
Aku hanya membalas dengan senyum tipis.
“Kamu kemana aja?” tanyaku.
“Hhhmmm, went somewhere to find my self,” jawabnya dengan senyum tipis.
“Have you find it?”
“Yup,” angguknya.
“Tapi aku punya hutang masa lalu yang harusnya aku katakana dari dulu. Maaf aku baru bisa mengatakannya sekarang karena dulu aku tidak punya kesempatan mengatakan ini,…” perkataan Ganda terhenti karena ada seorang wanita yang datang tanpa kami sadari dan tiba-tiba menggandengnya dengan mesra. Wanita yang cantik dengan rambut panjang dan terlihat pintar.
“Hun, aku udah selesai ayo pulang,” ujar wanita itu.
Ganda yang juga kaget langsung memperkenalkan wanita itu padaku.
”Hen, kenalkan ini Yolanda.”
Yolanda langsung mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. Setelah itu mereka langsung berlalu. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari mereka, entah apa yang mereka bicarakan tapi aku lihat Ganda begitu bahagia bersama Yolanda.
Tiba-tiba hatiku terasa sangat sakit dan aku tersandar dengan air mata yang mengalir deras. Dengan mata basah ku baca pesan singkat di handphone ku, “Aku masih punya hutang masa lalu yang belum sempat ku katakan. Henny, kamu adalah cinta pertamaku dan maaf karena aku tidak tau bagaimana cara membuat kamu bahagia. Kamu punya tempat yang khusus di hati ini walaupun masa-masa itu tidak akan terulang lagi. Maaf.. #Ganda#”
Ternya cinta bukanlah soal dia bisa mengajakmu makan malam romantis atau memberimu bucket mawar beraneka warna atau membuaimu dengan kata-kata pujian yang membuatmu terbang ke awang-awang.
Semua orang mencintai dengan caranya sendiri. Mungkin begitulah cara Ganda mencintaiku. Cinta yang tidak banyak bicara, hanya mendengar, diam dan semuanya terselesaikan.
***
Pekanbaru, 13 Desember 2011
Alone in my room

1 komentar: