Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 21 (tamat)


ANUGERAH CINTA
Tawa canda anak-anak kampung nelayan adalah obat lain dari kegalauanku. Alangkah bahagianya menjadi anak-anak yang hidup tanpa beban, tanpa tanggungjawab dan hanya ada keceriaan. Dulupun aku merasakan kebahagiaan yang serupa bersama teman-temanku di kampung. Karena tidak ada laut atau sungai, aku anak-anak kampung lainnya berenang di kolam depan mesjid. Di sudut kolam itu ada WC umum yang didatangi oleh seluruh warga kampung karena tidak WC di rumah warga. Untunglah kolam itu banyak ikan sehingga tidak ada kotoran yang tersisa.
Setahun sekali ikan-ikan di kolam itu dipanen dan dijual pada warga kampung. Hasil penjualannya di gunakan untuk beli anak ikan baru dan selebihnya untuk pembangunan Mesjid. Ayah selalu ikut saat panen ikan. Ikan itu ditarok di dalam baskom kira-kira seminggu agar kotoran yang dimakan ikan keluar dari perutnya. Setelah itu baru giliranku dan ibu membakar atau menggoreng ikan-ikan itu. Sedangkan Aisyah kecil bermain dengan ayah. Keluarga sederhana yang bahagia.
Apakah saat ini Ayah sedang melihatku? Apakah beliau bersedih di sana? Mataku berkaca-kaca bila ingat ayah. Pastilah ayah melihat apa yang sedang ku alami saat ini. Semoga saja beliau tidak bersedih.
Saat akan memasuki halaman rumah dinasku, aku melihat sebuah Cherooki hitam parkir di sana. Dengan harap-harap cemas aku melangkah masuk ke rumah yang pintunya ternganga. Ku lihat Datuk sedng duduk di lantai yang beralas tikar di ruang depan.
Janungku berdebar kencang saat dia menoleh ke arahku. Pertanda baik atau burukkah kedatangan beliau ke sini? Dengan sedikit canggung aku duduk di hadapan beliau. Aku sama sekali tidak berani mengangkat wajahku untuk menatapnya.
”Kamu dari mana Nur?” tanya Datuk dengan suaranya yang khas.
”Nur dari pantai Pak,” jawabku agak terbata.
Keheningan kemudian tercipta diantara kami. Begitu banyak hal yang ingin ku tanyakan padanya tapi entah mengapa lidahku kelu sehingga aku tidak bisa berkaa apa-apa.
”Ehm... apa kabar kamu?” tanya Datuk lagi.
”Baik,” anggukku.
Suasana saat ini lebih kaku dari pada malam pertama kami.
”Nur, kita pulang ya,” kata Datuk membuatku kaget.
Mataku berkaca-kaca menatap wajahnya yang teduh.
”Maafkan Nur Pak?” kataku sambil menangis.
Aku menangis seperti anak-anak yang ketahuan berbuat salah oleh ayahnya. Aku meminta maaf dengan sepenuh hati. Dan seperti seorang ayah yang bijaksana Datuk memegang tanganku dan memelukku sangat erat.
Semua bebanku seakan lepas, aku bisa rasakan betapa hangat dan nyaman pelukannya. Hanya saat bersujud kepada Allah lah yang bisa mengalahkan ketenangan saat berada dalam pelukan Datuk.
”Saya yang seharusnya minta maaf Nur. Tidak seharusnya saya bersikap seperti itu sama kamu,” ujarnya.
”Tapi Pak, masalah dr Yudha....” tanyaku nada bersalah.
”Yudha sudah menjelaskan semua, dan yang paling penting dari itu semua saya mencintai kamu Nur,” ujar Datuk.
”Saya juga mencintai bapak,” ujarku dan kembali memeluknya.
***
Usai shalat isya berjamaah, aku mengganti pakaianku dengan pakaian tidur dan melepaskan jilbabku. Sementara Datuk masih duduk di atas sajadahnya dengan kepala tertunduk dalam. Aku menunggunya selesai berdoa di sofa yang ada di sudut kamar kami di rumah atas bukit.
Begitu ia selesai dan melipat sajadahnya ia lalu menoleh ke arahku. Aku jadi salah tingkah dan deg-degan ketika dia menghampiriku. Jantungku berdebar kencang saat dia mengecup keningku. Bibirnya yang merah terasa hangat menyentuh keningku. Kemudian dia memegang tanganku dan bersimpuh di hadapanku.
Aku sangat tidak enak diperlakukan seperti itu. Bagaimanapun tidak pantas seorang istri duduk lebih tinggi dari pada suaminya. Aku berniat untuk ikut duduk di lantai agar sejajar dengannya tapi dengan cepat ia menahanku.
”Nur, terimakasih karena kamu telah bersedia menjadi istri saya,” katanya sambil menyandarkan kepalanya di pahaku. Dengan lembut ku belai kepalanya.
Air mata haru tiba-tiba mengalir di pipiku. Saat ini aku bisa merasakan benih cinta yang tumbuh pada dr Yudha hanya sebatas kekaguman, dan aku tidak punya asa untuk memilikinya.
Benih itu tidak pernah tumbuh dan berkembang dalam hatiku karena kemudian ia kering dan mati dan digantikan oleh ilalang. Ilalang yang tumbuh subur dan berayun gemulai mengikuti irama hati yang mulai mendendangkan lafaz cinta yang baru. Cinta untuk orang yang telah mengajarkan keiklasan padaku.
Perlahan aku duduk di hadapan Datuk dan menatapnya lekat dengan mata yang basah.
”Nur bahagia menikah dengan Bapak meskipun untuk merasakan kebahagiaan itu Nur harus melalui masa yang panjang. Nur tidak pernah merasa mencintai seseorang sebelum mencintai Bapak. Jika ada orang yang benar-benar Nur cintai itu adalah Bapak. Tidak ada orang lain yang Nur harapkan untuk memberikan kebahagian pada Nur selain Bapak,” kataku tulus.
Datuk menatap mataku lekat. Tangan Datuk yang kokoh kemudian menarikku ke dalam pelukannya yang hangat.
”Saya mencintai kamu Nur,” bisik Datuk.
Aku bahagia sekali mendengarnya. Kebahagiaan yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya. Bahakan lebih membahagiakan dari pada saat namaku dipanggil sebagai lulusan terbaik.
Seluruh alam berbahagia malam itu menyaksikan kebahagiaanku dengan Datuk. Aku benar-benar merasakan  cinta dan kasih sayang dalam setiap sentuhan dan kata-kata yang diucapkan Datuk. Ilalang dalam hatiku menari mengikuti arah angin cinta yang terucap mesra dari bibirnya. Malam ini sebagai seorang wanita aku merasa sangat sempurna dan bahagia.
Kehidupan baru ku jalani. Kehidupan berumah tangga yang harus serba berbagi tapi sangat damai. Aku menikmati silaturrahmi yang baik antara aku dengan istri Datuk lainnya, walau kadang ada rasa cemburu. Dan ternyata rasa cemburu itu sangat nikmat. Cemburu karena cinta. Seperti permen nano-nano yang punya semua rasa.
***
Cinta memberikan kekuatan yang luar biasa dalam hidupku. Aku jadi tambah bersemangat mengerjakan pekerjaanku. Tanpa terasa masa pengabdianku di desa nelayan hanya tinggal seminggu lagi.
Aku mendapat tawaran untuk praktek di Rumah Sakit M Jamil. Dan bagiku itu adalah tawaran yang sangat menarik, menjadi dokter di rumah sakit besar. Jika aku terima aku akan praktek di tempat yang sama dengan dosen-dosenku dulu termasuk Prof Ashaluddin dan dr Yudha.
Semangaku untuk mengabdi di desa nelayan makin menggebu di akhir-akhir masa pengabdianku. SK ku juga sudah keluar sehingga aku juga bisa membuka praktek sendiri sebagai dokter umum.
Frekuensi berkunjung ke rumah warga kampung nelayan makin ku tingkatkan dan bermain bersama anak-anak kampung menikmati matahari terbenam. Saat berkumpul anak-anak itu makin seru jika Datuk datang menjemputku karena sebelum pulang Datuk ikut bermain dengan mereka dan mengajak mereka membuat istana pasir dalam berbagai kreasi. Rona kebahagiaan terlukis jelas di wajah meraka. Datuk memang sangat pandai mengambil hati anak-anak itu.
Tapi diantara mereka yang sedang berbahagia aku menangkap wajah murung Rosa. Sejak aku memberitahunya tentang kepindahanku, dia jadi menjaga jarak denganku. Dia tidak seantusias biasanya saat melihatku. Jika aku membawakan sesuatu untuknya dia sama sekali tidak menyentuhnya.
”Rosa sedih banget karena bu dokter mau pindah. Dari kemaren dia nanya terus kapan ibu dokter mau pindah, kenapa harus pindah. Sepertinya Rosa tidak mau berpisah dengan bu dokter,” kata ni Ratna, ibunya Rosa.
Aku jadi sedih dibuatnya, sebenarnya aku juga berat berpisah dengan Rosa dan kehangaan kampung nelayan tapi masa tugasku sudah berakhir dan nanti akan datang pengganti yang mungkin akan lebih baik dariku. Dan tawaran untuk praktek di RS M Jamil adalah impianku sejak aku koas di sana. Dengan honor yang akan aku terima disana aku bisa melanjutkan studiku untuk mengambil spesialis jantung seperti cita-cita ku waktu ayah meninggal, tapi tentunya kalau Datuk memberi ijin.
Hati ku galau sekali dan aku tidak bisa menyembunyikannya.
”Sayang, kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanya Datuk di perjalanan pulang.
Ternyata Datuk juga bisa membaca kegalauan hatiku saat ini.
”Kamu sedih ya akan meninggalkan kampung nelayan?” tanyanya.
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Datuk sudah bisa membaca perasaanku dengan baik bahkan sangat baik.
”Bagi Nur berada di kampung nelayan seperti berada di tengah-tengah keluarga, Nur sedih sekali kalau harus meninggalkan mereka,” kataku datar.
”Mereka juga pasti akan sedih berpisah dengan kamu Nur, tapi kalau kamu menuruti perasaan, kamu hanya akan stag berada di satu titik. Sementara ada kesempatan besar menunggu di depan kamu. Seperti kamu meninggalkan ibu dan adikmu di desa untuk kuliah kedokteran. Waktu itu kamu pasti sedih juga, tapi kamu tetap meninggalkan mereka sehingga kamu bisa jadi dokter saat ini. Kejadian itu terjadi lagi pada kamu dengan kampung nelayan. Kamu harus meninggalkan mereka karena cita-cita mu ada di depan mata. Kamu harus meninggalkan satu titik untuk maju ke titik selanjutnya. Sebuah generasi harus maju dan digantikan oleh generasi selanjutnya,” kata Datuk bijaksana.
”Kamu masih ada waktu seminggu untuk berfikir kembali Nur, saya dukung semua keputusan kamu sayang. Kamu minta petunjuk Allah biar kamu yakin langkah apa yang akan kamu ambil,” kata Datuk dan senyum manis tersungging di bibirnya yang merah.
Aku merasa tenang mendengar saran Datuk. Itu adalah salah satu kelebihannya yang sangat aku suka, dia selalu memberi pencerahan terhadap masalah-masalah yang ku hadapi. Tapi dia tidak memaksakan kehendaknya padaku. Aku merasa benar-benar mendapat bimbingan darinya.
”Oh ya Nur, saya ada berita bagus buat kamu.”
”Apa?” tanyaku penasaran.
”Nanti saja di rumah, kita akan kedatangan tamu spesial,” katanya membuatku penasaran.
”Siapa?” tanyaku makin penasaran.
”Kamu lihat saja nanti,” kata Datuk membuatku makin penasaran.
Rasa penasaran menggelayuti hatiku sehingga aku jadi tidak sabar menunggu malam tiba. Untunglah aku bisa sedikit meredamnya dengan membantu Bu Zaedar dan Ibu yang sudah tinggal di rumah ini sejak sebulan yang lalu. Alhamdulullah Aisyah bisa jebol kuliah di jurusan Kedokteran Universitas Gajah Mada. Aku sungguh bangga padanya, dia bisa menimba ilmu di universitas yang kualitasnya lebih dari pada aku.
Sekitar pukul 19:00 WIB bel berbunyi, pasti itu dia tamu pentingnya. Setelah merapikan jilbabku aku berjalan menuju pintu depan, ternyata Datuk sudah lebih dulu membukakan pintu.
Aku melihat Yudha dan seorang laki-laki bertubuh tegap berjalan di belakang Datuk.
”Ah Nur, ini dia mereka sudah datang,” kata Datuk.
Aku tidak menyangka bahwa tamu spesial itu adalah Yudha dan temannya itu.
”Nur, ini dr Andra. Dia ini sahabatku waktu kuliah spesialis penyakit dalam dulu. Dia seorang spesialis tulang dari Jakarta,” kata Yudha memperkenalkan.
Aku mengatupkan telapak tanganku di depan dada untuk memberi salam. Aku masih belum mengerti mengapa dr Andra menjadi tamu spesial kami malam itu. Begitu mereka duduk, aku segera ke dapur untuk membuatkan minuman untuk  mereka. Tanda tanya masih saja menggelayut di benakku.
Setelah meletakkan minuman di meja tamu Datuk memintaku duduk.
”Nur, kemaren saya sudah bicara dengan dr Andra tentang Rosa. Dan beliau ini sengaja datang dari Jakarta untuk memeriksa Rosa dan kemungkinannya untuk memakai kaki palsu,” jelas Datuk.
Aku senang sekali mendengarnya. Sudah lama aku punya rencana seperti ini tapi belum pernah terwujud karena aku masih mengumpulkan uang untuk membeli kaki palsu untuk Rosa. Lagi pula untuk menggunakan kaki palsu Rosa harus mengikuti beberapa terapi yang juga tidak makan sedikit biaya. Walau Datuk memberiku sebuat ATM yang berisi banyak uang tapi aku takut menggunakan uang itu. Tapi lagi-lagi Datuk tau apa yang aku inginkan.
”Terimakasih,” kataku menatap mereka bergantian.
”Jadi kapan saya bisa bertemu anak itu?” tanya dr Andra.
”Besok kita akan sama-sama kesana,” jawabku cepat.
Aku jadi tidak sabar menunggu hari esok tiba agar bisa segera bertemu dan melihat reaksi Rosa.
”Ini baru kejutan pertama,” ujar Datuk.
Aku jadi kembali penasaran. Kejutan apa lagi yang akan ku dapatkan dari orang-orang ini. Hah, Datuk memang suka memberi ku kejutan. Dan aku menyukai semua kejutan yang diberikannya.
”Nur aku punya kabar buat kamu,” kali ini Yudha yang angkat bicara.
”Sepertinya aku akan mengambil sesuatu yang berharga dari mu,” Yudha menggantung kalimatnya, wajahnya terlihat sangat serius.
”Aku mau melamar sahabat kamu secepatnya,” ujar Yudha kemudian.
”Aida?” tanyaku tidak percaya.
Yudha menjawabnya dengan anggukan.
Subhanallah... terimakasih ya Allah, begitu banyak hal menyenangkan yang Engkau berikan padaku. Aku benar-benar tidak bisa lukiskan rasa syukurku saat ini. Aku bahagia karena orang-orang yang sangat ku sayangi mendapa titik terang dalam penantian hidup mereka.
***
Pekanbaru, 12 Mei 2009 12.19 Wib
Lagi off kerja

bukan siti nurbaya capture 20


RAHASIA ITU TERKUAK
            Dengan langkah seribu aku menuju ke kamar rawat Datuk, sore ini Datuk sudah boleh pulang. Begitu sampai dikamar rawat Datuk, aku meliha suster yang biasanya bertugas membantu dr Yudha sedang merapikan barang-barang Datuk. Dia tersenyum ramah begitu melihat kedanganku. Mungkin dr Yudha memintanya untuk membantu Datuk beres-beres. Sementara Datuk berdiri di dekat jendela dan memandang ke arah luar. Entah apa yang sedang dilihatnya, sampai-sampai dia tidak menyadari kedatanganku.
”Barang-barangnya sudah siap Bu,” kata suster itu.
”Terimakasih ya,” kataku sambil tersenyum.
Suster itupun berlalu meninggalkan kamar Datuk.
Ku hampiri Datuk dan menyentuh bahunya. Dia terlihat kaget dengan kedatanganku. Ku lihat wajahnya tidak secerah saat dia tau bahwa dia akan segera pulang, wajanya terlihat kaku dan dingin.
”Suster sudah selesai membereskan barang-barangnya, ayo kita pulang,” ajakku. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Datuk langsung duduk di kursi roda yang ada di sampingnya. Ku dorong korsi roda itu perlahan tanpa berkata sepatah katapun. Aku bigung dengan sikap Datuk. Aku belum pernah melihat Datuk sedingin ini. Pak Ujang yang mengangkat barang-barang mengikuti kami dari belakang.
Tadinya ku pikir Datuk bersikap dingin seperti itu karena beliau merasa kurang sehat. Tapi sudah tiga hari ini beliau tidak begitu banyak bicara denganku. Beliau juga menolak saat aku mengajak beliau tidur di kamar yang sama denganku. Pada hal aku telah memindahkan selimut dan bantal yang biasa dipakainya ke kamar ku dan juga akan jadi kamar kami. Tapi dia malah kembali memindahkannya ke ruang kerja. Datuk benar-benar terlihat murung dan tidak bersemangat seperti biasa.
Suatu sore saat Datuk sedang duduk sambil membaca buku di balkon, aku memberanikan diri untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
”Pak, ini Nur bawakan teh hangat,” ujarku dan kemudian duduk di kursi yang ada di samping Datuk.
”Terimakasih,” ujarnya tanpa menoleh sedikitpun padaku.
Lama aku duduk membisu karena tidak tahu harus memulaii pembicaraan kami dari mana.
”Pak....” panggilku dengan suara bergetar.
Ku kumpulkan semua keberanianku untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi sehingga dia begitu murung sejak pulang dari RS.
”Bolehkah Nur tau kenapa beberapa hari ini Bapak terliha sangat murung?” tanyaku masih dengan suara bergear.
Keasikan Datuk membaca sepertinya terusik dengan pertanyaanku. Dia mengalihkan pandangannya jauh ke depan. Untuk beberapa saat keheningan tercipa diantara kami.
”Apakah kamu menyesal menikah dengan saya, Nur?” tanyanya tiba-tiba dengan suara datar.
Aku terperanjat mendengar pertanyaan Datuk. Sikap dinginnya yang membuat rumah ini terasa diselimuti awan tebal, kini seakan dihantam badai salju. Aku merasa sedih dan hatiku tersayat-sayat mendengar pertanyaan itu.
”Kenapa Bapak bertanya seperti itu?” tanyaku dengan suara bergetar.
”Nur.... Mengapa kamu tidak pernah kasih tau saya kalau kamu mencintai orang lain?” tanyanya lagi.
Aku benar-benar kaget mendengan apa ang baru saja dikatakan Datuk. Aku tidak bisa berkata apa-apa, lidahku terasa kelu dan kaku. Mengapa harus sekarang dia mengetahui hal ini. Mengapa tidak dari dulu saat diantara kami belum ada ikatan apa-apa. Mengapa setelah kami menikah dan saat aku telah catuh cinta padanya.
”Mengapa kamu tidak pernah memberitahu saya bahwa kamu menyukai Yudha,” kata Datuk lagi dengan suara makin bergetar.
Air mataku meleleh, butiran bening itu juga ku lihat menganak sungai dimata Datuk. Aku benar-benar tidak sanggup melihatnya. Tidak tau apa yang terjadi aku berlari menuju jalan komplek itu. Untunglah tidak jauh dari rumahku ada taxi yang sedang berhenti. Dengan spontan ku minta sang sopir mengantarku ke Rumah Sakit.
Hati ku sanga galau, kacau. Rasanya aku terjepit antara langit dan bumi, sesak sekali. Aku tidak habis pikir dari mana Datuk mengetahui itu semua. Apakah mungkin Aida yang memberi tahunya? Atau malah dr Yudha sendiri yang memberi tau. Hatiku yang gundah gulana meyakini dr Yudha lah yang memberi tau Datuk. Entah untuk apa tapi aku harus minta pertanggungjawannya.
Begitu sampai di RS aku langsung ke ruangan dr Yudha. Aku bahkan lupa bagaimana adabnya bertamu ketempat orang. Aku hanya ingin tau untuk apa dia memberi tau Datuk tentang ini semua.
Dokter Yudha yang tengah serius dengan beberapa kertas di atas mejanya terlihat kaget karena kedatanganku yang tiba-tiba.
”Kenapa Dokter? Kenapa Dokter tega mempermalukan saya pada suami saya sendiri?” kataku dengan suara marah.
”Ada apa Nur? Apa maksud kamu?” tanya dr Yudha dengan wajah bingung.
”Kenapa dokter memberi tau Datuk kalau dulu saya pernah menyukai dokter?” kataku masih dengan nada emosi.
”Demi Allah, saya tidak pernah memberi tau siapapun kejadian hari itu,” kata dr Yudha sunguh-sungguh.
Aku terduduk lemas di sofa yang ada di ruangan itu. Tubuhku terasa sangat lemas dan tidak berdaya. Apakah aku juga telah melakukan kesalahan lagi dengan menuduh orang tanpa bukti? Tapi siapa lagi kalau bukan dia? Mungkinkah Aida? Tidak mungkin sahabatku iu yang memberit tau Datuk. Aida hanya pernah satu kali menjenguk Datuk dan itupun bersamaku.
Tiba-tiba aku teringat seseorang, suster yag tempo hari membantu Datuk beres-beres. Dia juga ada di ruangan ini saat aku menyatakan perasaanku pada dr Yudha. Dan kemarin dia juga ada di kamar rawat Datuk. Mungkin saja Datuk mengetahui hal iu dari dia? Tapi untuk apa dia menceritakan hal itu?
Aku terasa makin terjepit di kolong langit ini. Aku benar-benar tidak kuasa menahan gemuruh dalam hatiku. Aku benar-benar tidak tau apa yang harus ku lakukan.
Dengan gontai aku berdiri dan melangkah pergi dari ruangan dr Yudha.
”Maaf...” bisikku lirih.
Tinggal selangkah lagi tanganku menjangkau gagang pintu, suara dr Yudha menghentikan langkahku.
”Nur, kali ini saya tidak akan biarkan kamu pergi dari sini tanpa mengetahui apa-apa?”
Aku tersentak mendengar kata-katanya. Aku tidak berani membalikkan wajah ke arahnya. Aku hanya berdiri terpaku ditempatku dan memunggunginya.
”Sebelum kamu menyatakan perasaan mu, aku sudah tau bahwa Datuk telah meminangmu. Dan aku nggak mungkin melamar wanita yang sudah lebih dulu dilamar oleh kakak kandungku sendiri. Hari itu aku ingin bersimpuh di hadapan Allah dengan penuh rasa syukur, tapi ternyata aku bersimpuh dengan air mata duka. Setiap hari aku memintamu pada Allah Nur, tapi ternyata Allah membawamu ke sisiku dengan jalan lain,” kata dr Yudha dengan suara bergetar.
Seketika hatiku hancur berkeping-keping. Gemuruh hatiku telah mendatangkan badai yang hebat dan memporak-porandakan jiwaku yang terasa sangat lemah. Mengapa tidak saat itu dia menahan langkahku untuk keluar dari pengharapan terakhirku. Mengapa dia membiarkan ku merasa menjadi orang yang tidak pantas mendapat kebahagiaan. Mengapa dia membuat aku merasa menjadi orang paling malang di dunia ini. Mngapa?
Ku seka air mataku dan berbalik ke arahnya.
”Dulu saya memang sangat menyukai dokter, tapi sekarang saya sadar bahwa tidak ada yang lebih pantas saya cintai selain suami saya sendiri,” ujarku kemudian berlalu meninggalkan dokter Yudha yang berdiri kaku di belakang mejanya.
***
Sebulan sudah sejak hari itu aku menyendiri di kampung nelayan. Aku tinggalkan semua kegalauanku saat berada di puskesmas. Namun kala sang surya mulai membakar cakrawala rasa sepi itu muncul. Aku rindu ibu, Aisyah dan Datuk. Aku sanga merindukan Datuk. Masih marahkah dia padaku? Sefatal itukah kesalahanku sehingga dia tidak lagi mau menemuiku? Mengapa dia tidak menjemputku?
Setiap Jumat sore aku selalu siap-siap berharap Datuk akan menjemputku seperti biasa. Tapi tiada. Terkadang ku beranikan diri untuk menelponnya, tapi saat panggilan itu akan tersambung aku selalu menjadi galau dan akhirnya aku matikan lagi telponnya.
Kala malam telah sunyi sepi aku terbangun dan laru dalam sujudku. Tidak ada lagi tempat mengadu selain Dia. Tidak ada lagi tempat meminta selain Dia. Hanya pada-Nya aku serahkan semua. Pada-Nya ku tumpahkan air mataku dan pada-Nya ku tengadahkan tanganku. Aku meminta belas kasihan-Mu ya Allah. Bawalah aku keluar dari derita yang ku tanggung saat ini. Sentuhlah hati kekasihku dengan tangan lembutmu. Getarkanlah hatinya saat aku menyebut namanya. Dan tuntunlah langkahnya ke arahku saat dia mengingatku. Engkau Maha Mengatur ya Allah dan Engkau pula yang Maha Menyayangi....
Sedikit demi sedikit beban hatiku terasa berkurang setiap kali aku shalat tahajud. Malam ku tak lagi sepi dan dukaku tak bertambah dalam karena aku mengadukannya pada Kekasihku yang paling setia. Kekasih yang tidak akan meninggalkanku walau aku pernah berbuat dosa pada-Nya. Kekasih semua umat manusia yang takut pada-Nya dan mau menjalankan perintahnya.
***

bukan siti nurbaya capture 19


CINTA ADALAH KEIKLASAN

Beberapa hari ini aku merasa sangat bahagia. Senyum seakan tidak pernah lepas dari bibirku. Rasanya aku tidak sabar menunggu akhir pekan untuk bertemu dengan Datuk. Aku tidak sabar menunggu dia datang menjemputku. Aku rindu padanya.
Kebahagiaanku bertambah karena kemarin dokter Yudha bersedia menjadi pembimbing sementara Aida. Setidaknya ini adalah kesempatan baik untuk mereka agar saling mengenal lebih dekat dan kesempatan yang telah lama kutunggu untuk membantu Aida. Aku berharap Aida bisa segera menyelesaikan koas dan kuliah kedokterannya. Aku sudah tidak sabar berpartner dengannya.
Ku edarkan pandanganku ke sekeliling kamarku yang dipenuhi bunga beraneka ragam. Aku benar-benar bahagia melihat bunga-bunga itu. Mereka bermekaran seperti cinta yang sedang mekar di hatiku. Aku benar-benar tidak sabar bertemu dengan Datuk walaupun jantungku berdebar-debar dan aku tidak tau apa yang harus aku katakan atau ku lakukan di hadapannya nanti.
Jumat sore menjadi hari yang sangat ku nanti-nantikan. Usai shalat Ashar aku segera bersiap-siap karena biasanya Datuk datang sekiar jam 4 sore. Aku mengenakan pakaian terbaikku dan sedikit berdandan dengan harapan Datuk akan senang begitu melihatku. Ara yang melihat penampilanku agak berbeda saat itu tersenyum menggoda. Aku jadi tersipu dibuatnya.
Pukul 4.30 sore terdengar suara mobil memasuki perkarangan rumah dinas ku. Aku bergegas keluar karena yakin itu adalah mobil Datuk, aku sangat hapal suara mobilnya. Begitu aku membuka pintu,  sebuah cerooki hitam berdiri dengan gagah di perkarangan yang tidak terlalu luas itu.
Begitu pintu mobil dibuka, ternyata yang turun dari mobil itu bukan sosok yang ku nanti. Wajah ramah Pak Ujang menimbulkan pertanyaan di hati ku akan keberadaan Datuk. Belum pernah Pak Ujang menjemputku sebelumnya, Datuk selalu melakukannya sendiri.
“Udah siap mau pulang Bu dokter?” tanya Pak Ujang ramah sambil meraih tas yang ku jinjing.
“Iya sudah,” jawabku dan kemudian melangkah di belakang Pak Ujang menuju ke mobil.
Perlahan mobil meninggalkan rumah dinas ku yang sangat sederhana itu.
“Datuk kemana Pak Ujang?” tanyaku pada Pak Ujang.
“Hhmm anu Buk…” Pak Ujang terlihat sedikit bingung menjawab pertanyaanku.
“Kenapa Pak?” tanyaku lagi.
“Sebenarnya Bapak sedang sakit, tapi beliau bilang jangan kasi tau Ibuk dulu biar tidak khawatir,” jelas Pak Ujang akhirnya.
Kenapa Datuk berfikir seperti itu? Malah aku akan lebih kuwatir kalau aku tidak tau keadaannya saat ini.
“Sekarang beliau dimana dan sakit apa Pak Ujang?”
“Beliau di rumah sakit sejak kemarin, magh beliau kambuh,” jelas Pak Ujang.
Kecemasan menggerogoti hatiku. Aku tidak pernah tau kalau Datuk punya penyakit magh. Setahuku beliau sangat menjaga pola makan dan selalu memakan makanan yang bergizi. Untunglah kami segera sampai di rumah sakit tempat Datuk dirawat. Aku berjalan dengan cepat menuju kamar rwatnya.
Begitu pintu kamar VIP itu terbuka, langkahku tertahan dan aku tidak berani masuk ke dalamnya. Seorang wanita dan seorang anak perempuan remaja yang kira-kira tidak jauh beda umurnya dengan Aisyah sedang duduk di samping tempat tidur Datuk. Suasana hangat tercipta diantara mereka. Meski terbaring lemah dengan infuse tertancap di tangannya Datuk masih bisa tertawa.
Wanita itu pasti Salma istri kedua Datuk dan anak itu adalah Lulu anak kandung Datuk satu-satunya. Aku tidak pernah bertemu dengan mereka sebelumnya tapi aku sudah banyak mendengar cerita tentang mereka dari Bu Zaedar.
Ku balikkan tubuhku dan duduk di bangku yang menempel di dinding rumah sakit itu. Perasaanku tidak enak jika harus masuk ke dalam dan merusak kehangatan yang tercipta diantara mereka. Hhhaaahhh aku menghela napas panjang dan menunduk memperhtikan jari-jariku yang tidak bisa berhenti bergerak mengikuti gemuruh dalam hatiku.
Tadinya ku harap bisa segera melihat Datuk dan memegang tangannya agar dia jadi lebih kuat. Tapi ternyata sudah ada orang lain yang melakukan itu untuknya. Bahkan aku tidak yakin Datuk mengharapkanku untuk membesuknya. Dia tidak memberitahuku bahwa saat ini dia sedang terbaring di rumah sakit, mungkin dia ingin bersama istri dan anaknya. Aku jadi merasa tidak dianggap olehnya, aku juga merasa bukan bagian dari hidupnya. Aku benar-benar cemburu melihat wanita itu menyuapi Datuk.
Cukup lama aku tertunduk di sana dan sibuk dengan pikiranku sendiri sampai sebuah suara menegurku.
“Kok nggak masuk Nur?” tanya dokter Yudha yang kemudian duduk di sampingku.
“Ah, tidak apa-apa,” jawabku sambil tersenyum kecut tanpa melihat ke arahnya.
Yudha bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar Datuk. Tapi beberapa detik kemudian dia kembali duduk di tempatnya semula.
“Ooo, itu namanya Kak Salma dan anaknya Lulu,” jelas Yudha seakan mengerti alasanku tidak masuk ke sana.
Aku hanya diam mendengar penjelasan Yudha. Aku tidak tau harus berkata apa.
“Datuk sakit apa?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Yudha diam sejenak dan kemudian menarik napas panjang.
“Dari waktu dia masih muda Datuk itu udah jadi workaholic sampai-sampai lupa dengan dirinya sendiri. Dia jadi tidak memperhatikan kesehatan dan yang paling parah, maghnya sudah akut. Jika dia melenceng sedikit saja dari jadwal makannya, akibatnya ya seperti sekarang,” terang Yudha.
Aku manggut-manggut mendengarnya. Pantas saja Datuk selalu makan tepat waktu dan dia tidak pernah lupa membawa buahan atau roti setiap akan bepergian. Aku tidak pernah tau itu.
“Ayo,” Yudha berdiri dan mengajakku untuk masuk ke kamar Datuk.
Aku menggeleng, tapi Yudha terus mengajak dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Dan aku tetap menggeleng.
“Sampai kapan kamu nggak mau menghadapi mereka? Cepat atau lambat kamu pasti bertemu dengan istri Datuk yang lainnya. Dan mungkin inilah waktunya,” ujar Yudha lagi.
Entah sejak kapan aku merasa bahwa Yudha sangat memahamiku seolah dia bisa membaca apa yang ada dalam hatiku. Dia selalu punya cara untuk membuatku melakukan apa yang terkadang sulit untuk ku lakukan. Seperti sekarang, aku tidak bisa menolak ajakannya untuk masuk ke kamar Datuk.
Dengan tersendat-sendat aku berjalan mengikuti Yudha memasuki kamar Datuk. Udara sejuk langsung menyambutku dan perlahan mengusir rasa gundah yang tadi memenuhi rongga dadaku. Hatiku mulai tenang begitu senyum Salma mengembang saat pandangan kami saling bertemu.
Senyumannya sangat lembut dan hangat. Aku jadi heran, apa alasan Datuk mencari istri lagi setelah menikahi wanita yang memiliki senyum sangat lembut itu. Padahal wanita itu juga telah memberinya seorang anak perempuan yang sangat cantik. Tapi aku menangkap rona sinis yang terpancar dari mata indah gadis remaja itu. Berbeda sekali dengan Salma yang menyambutku dengan hangat.
“Nur, maaf saya tidak bisa menjemput kamu,” ujar Datuk dengan suara yang sayup.
“Tidak apa-apa Pak,” jawabku.
“Oh ya kenalkan ini Salma,” ujarnya lagi dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Salma menjaba tanganku dengan hangat dan matanya juga memancarkan rasa senang bisa berkenalan denganku. Begitu aku menyodorkan tanganku untuk bersalaman dengan Lulu, gadis remaja yang memiliki rambut ikal itu melengah dan tidak mau menyambut tanganku.
“Lu, nggak boleh gitu nak,” ujar Salma lembut.
“Lulu nggak suka sama orang yang sudah mengambil Papa dari kita,” ujarnya ketus dan kemudian berlari ke luar.
“Ah, maafkan sikap Lulu,” ujar Salma yang merasa tidak enak dengan sikap anaknya.
“Tidak apa-apa Kak,” ujarku pada istri kedua Datuk yang ku panggil Kakak itu.
Suasana hening menyelimuti. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara Datuk terlihat menerawang entah apa yang dipikirkannya. Kejadian tadi pasti berpengaruh tidak baik pada kondisinya saat ini. Aku jadi merasa bersalah sudah berada di ruangan ini karena membawa keributan.
Begitu Salma keluar untuk mencari Lulu suasana masih tetap hening. Yudha pun sepertinya tidak mau ikut larut dalam keheningan pamit dengan alasan harus mencek pasien lainnya. Sedangkan aku masih tetap berdiri di posisiku semula tanpa tau harus berbuat apa.
“Nur, duduklah di sini,” pinta Datuk.
Aku menuruti permintaan Datuk dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Salma.
“Maafin sikap Lulu tadi ya,” kata Datuk.
Aku benar-benar tidak tega mendengar suaranya yang lemah. Biasanya setiap kata yang keluar dari mulutnya sangat tegas dan berenergi. Tapi sekarang aku benar-benar tidak tega mendengar dia bicara. Ku raih tangannya dan menggenggamnya dengan erat.
“Tidak apa-apa Pak,” ujarku sambil tersenyum.
Hari itu terasa sangat panjang bagiku. Berada diantara Datuk, Salma dan Lulu yang memandangku dengan tatapan sinis. Aku menawari mereka untuk pulang ke rumah kami di Indarung, tapi Salma menolak dengan halus. Katanya dia akan menemani Datuk malam ini di rumah sakit. Sedangkan Lulu sudah pasti bisa ditebak tidak akan mau menginap di rumahku.
Sebenarnya aku juga ingin menemani Datuk di rumah sakit malam itu tapi Datuk tidak mengizinkan. Dia malah memintaku untuk pulang dan beristirahat. Aku jadi makin merasa Datuk benar-benar tidak menginginkan kehadiranku. Akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah di atas bukit itu, aku tidak ingin “terusir” lagi dari ruangan ini.
Lampu-lampu kota dimalam hari berkelap-kelip layaknya bintang-bintang yang ada di langit jika dilihat dari balkon kamarku. Aku seperti berada di tempat yang lebih tinggi dari bintang-bintang itu. Gugusannya seakan membentuk sebuah kota yang bernama kota Padang.
Malam hampir larut dan lagi-lagi aku tidak bisa tidur di kamar ini. Hatiku diselimuti kabut tebal dan udara dingin seakan menusuk-nusuk jantungku. Jiwaku seakan dibawanya terbang jauh dari jasatku yang tengah bimbang. Titik demi titik airmataku tumpah tanpa permisi. Aku benar-benar gundah saat ini.
Ternyata cinta tidak seindah ku duga dan keiklasanku untuk menikah dengan Datuk kembali diuji. Ternyata tidak gampang mngiklaskan orang yang ku cintai bersama wanita lain yang juga mencintainya. Bahkan mungkin Datuk juga sangat mencintai istrinya itu.
Aku merasa menjadi seorang pengganggu dan duri dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mungkin Lulu benar, aku telah mencuri seorang ayah dari anaknya dan suami dari istrinya. Tapi sungguh semua ini diluar kemampuanku. Jika aku bisa melawan takdir aku elakkan semua ini agar tidak terjadi. Tapi apa yang harus ku lakukan, aku sebenarnya juga tidak senang berada di posisi ini. Tangisku pecah dan hatiku rasanya sangat sakit sekali.
Malam ini aku bersimpuh di hadapan Allah dan larut dalam setiap doa yang kupanjatkan dengan linangan air mata. Aku yakin Allah senantiasa memberiku pertolongan sehingga aku masih kuat sampai detik ini.
***
Pagi-pagi usai sarapan aku meminta Pak Ujang untuk mengantarku ke rumah sakit. Begitu melewati tukang susu kedelai aku berhenti dan membeli beberapa bungkus untuk ku bawa ke rumah sakit. Walaupun tengah sakit ku harap Datuk tetap bisa menikmati harinya dengan meminum susu kedelai kesukaannya dan sebuah koran.
Begitu memasuki ruang perawatan, ku lihat Datuk sedang asik membaca koran yang sama dengan yang ku belikan untuknya. Aku jadi merasa bodoh sendiri, ini adalah kamar VIP dan tentunya rumah sakit menyediakan apa yang dibutuhkan oleh pasiennya.
“Assalamualaikum,” sapaku.
“”Waalaikumsalam,” jawab Datuk sambil melipat korannya.
Wajahnya terlihat lebih berseri dan segar pagi ini. Dia menyambutku dengan senyum hangat. Ku letakkan kantong plastik yang berisi susu kacang kedelai di rak yang ada di samping tempat tidurnya. Ku buka bungkusnya dan menuangnya ke dalam gelas.
“Wah, terimakasih Nur. Saya memang sangat ingin minum susu kedelai ini,” katanya sambil meneguk susu itu. Aku memperhatikan Datuk sejenak. Aku terhibur melihat dia menikmati susu kedelai itu.
“Tadi kamu bawa apa lagi Nur?” tanya Datuk kemudian.
“Koran Pak, saya kira tidak ada koran di sini,” kataku menahan malu.
“Sini korannya,” ujar Datuk.
“Sama dengan Koran yang Bapak baca kok,” ujarku.
“Tidak apa-apa,” ujar Datuk lagi.
Akhirnya aku menyerahkan koran itu pada Datuk. Tanpa banyak komentar dia langsung membuka koran itu dan membacanya. Sementara koran yang tadi dibaca dibiarkannya terlipat di samping ranjangnya.
Tidak lama berselang Salma datang bersama Lulu. Mereka tadi pergi untuk sarapan. Salma menegurku dengan ramah sementara Lulu berbalik dan pergi entah ke mana.
“Udah lama?” tanya Salma.
“Baru Kak,” jawabku.
“Kamu udah ketemu dokter?” tanyanya lagi dan ku jawab dengan gelengan.
“Tidak usah khawatir, keadaan Bapak udah jauh lebih baik,” jelasnya.
Aku lega mendengarnya. Aku juga lihat Datuk lebih bersemangat hari ini. Aku dan Salma berbincang-bincang sambil menunggui Datuk. Aku benar-benar kagum pada Salma.
Dia adalah guru honor Sekolah Dasar di desa sebelah desaku. Walau sudah mengajar selama 20 tahun tapi statusnya belum juga naik menjadi pegawai negeri. Tapi keadaan itu tidak serta merta membuatnya kecil hati dan berniat untuk pindah. Ia bertahan karena sangat mencintai anak-anak yang ada di desanya. Baginya status dan uang tidaklah penting karena dia masih menerima nafkah dari Datuk.
Aku benar-benar kagum padanya. Dia benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa dan tidak banyak orang seperti dia. Sama sekali aku tidak merasa seperti istri muda suaminya. Dia memperlakukan aku seperti adiknya sendiri. Padahal kalau dilihat-lihat aku lebih pantas menjadi anaknya.
Aku sempat mempertanyakan keberadaan Aryuni istri keempat Datuk. Menurut Salma dia tidak bisa datang karena sedang berada di Jogja untuk menghadiri acara wisuda anaknya. Anak Ariyuni adalah anak tiri Datuk, tapi biaya pendidikannya ditanggung oleh Datuk. Sebenarnya Datuk akan pergi ke Jogja bersama Aryuni, bahkan tiket sudah dipesan, tapi Datuk malah jatuh sakit. Akhirnya Aryuni berangkat sendiri ke Jogja menghadiri wisuda anaknya.
Cukup lama aku berbincang-bincang dengan Salma sampai akhirnya dia berpamitan untuk pulang ke desanya yang berada di sebelah desaku. Walau Datuk belum dinyatakan sembuh benar dia mempercakan Datuk padaku.
”Sekarang giliran kamu untuk jaga suami kita,” katanya dengan senyum mengembang.
Aku benar-benar kagum dengan kebesaran hati wanita itu. Dalam posisinya sebagai istri pertama saat ini, dia tidak mau egois untuk memberikan segenap kasih sayang dan perhatian pada suaminya. Dia masih sempat berbagi dan bisa memberikan senyuman setulus itu. Jika aku berada di posisinya belum tentu aku bisa bersikap semanis itu.
Hatiku terenyuh mengingat curahan hatinya beberapa saat lalu.
”Kakak senang melihat kamu berada di sisi Datuk karena dia benar-benar membutuhkan kamu Nur,” katanya dengan nada serius.
”Ah, Datuk membutuhkan kita semua untuk memberinya dukungan kak,” bantahku merasa tidak enak seakan memonopoli keadaan.
”Datuk benar-benar mencintai kamu Nur, kakak bisa melihat dari sorot matanya.”
Kalimatnya terhenti dan matanya menerawang ke langit-langit rumah sakit.
”Waktu itu Datuk datang ke pada kakak dan menceritakan tentang keinginannya untuk punya istri lagi. Saya sangat kecewa saat itu tapi sudah mulai terbiasa karena sebelumnya Datuk pernah mengemukakan keinginan yang sama. Tapi entah mengapa, saat saya mendengar Datuk ingin menikahi kamu saya merasa sangat cemburu. Saya cemburu karena saya tau Datuk benar-benar mencintai kamu. Tidak seperti saya atau Aryuni yang dinikahi Datuk karena kasihan. Walau Datuk tidak bilang tapi saya bisa rasakan kalau kamu adalah orang yang benar-benar dia cintai. Dan saya senang Datuk akhirnya menikahi wanita yang benar-benar dicintainya. Dia pantas mendapatkan itu karena dia sudah begitu baik. Saya minta kamu jangan pernah mengecewakan beliau Nur,” cerita Salma saat itu.
Aku sangat terharu mendengar penjelasan Salma. Walau aku tidak suka berada di posisi ku saat ini tapi aku berada diantara orang-orang yang berhati mulia dan memiliki keiklasan yang sangat luar biasa.
Aku tidak mengerti apa itu cinta, tapi apa yang dilakukan Salma adalah bukti cintanya pada Datuk dan apa yang Datuk lakukan untukku itu juga sebagai bukti cintanya pada ku. Dan mengapa aku tidak melakukan apa-apa untuk orang yang aku cintai? Aku malah sibuk memprotes keadaanku sehingga hatiku pun kabur melihat bahwa aku telah berada di ditengah-tengah orang yang dipenuhi rasa cinta.
Perlahan ku buka pintu kamar tempat Datuk dirawat. Ku lihat raut wajah tenangnya yang tengah asik mengotak-atik laptopnya. Jantungku seketika berdebar-berdebar melihat keelokan yang ada pada dirinya. Begitu terpukaunya aku sampai aku tidak sadar ada orang yang juga memperhatikanku dengan jarak yang lebih dekat.
”Lho kok malah mengintip, kayak orang lain aja Nur,” goda dr Yudha yang tidak ku sadari kehadirannya.
Aku jadi salah tingkah dibuatnya, untung saja tiba-tiba Aida muncul dan langsung memelukku. Datuk menyambut kedatangan Yudha dan Aida dengan senyum ramahnya.
”Lusa abang udah boleh pulang,” kata Yudha yang kami sambut dengan senyum bahagia.
”Alhamdulillah,” syukur Datuk.
”Aida, apa kamu sudah menikah?” tanya Datuk pada Aida ditengah-tengah obrolan kami.
Dengan senyum malu Aida menggeleng.
”Tunggu apa lagi Yud, kamu sudah cukup umur untuk menikah. Tidak perlu mencari jauh-jauh, yang dekat kan ada,” ujar Datuk.
Ku lihat Yudha dan Aida jadi salah tingkah begitu mengerti apa maksud pembicaraan Datuk. Aku hanya berdoa dalam hati semoga mereka memang berjodoh. Amiin...
***

bukan siti nurbaya capture 18


BUNGA DALAM VAS

 “Da, kayaknya aku jatuh cinta.”
“Apa…?? Jatuh cinta? Sama siapa? Jangan main-main Nur, kamu udah punya suami,” cerocos Aida.
“Mang kamu pikir aku jatuh cinta sama siapa?”
“Mana aku tau, kamu belum kasi tau.”
“Makanya tanya donk sama siapa.”
“Sama siapa Siti Nuraini?”
“Sama Datuk.”
“Ya elah Nur, nikahnya udah lama kamu baru jatu cinta sama dia sekarang?”
Aku tertawa melihat ekspresi Aida. Aida adalah orang pertama yang tau tentang perasaanku ini. Aku sudah menunggu kesempatan ini untuk memberi tau Aida. Untungnya Aida bisa meluangkan waktunya untuk bertemu deganku di Taplau.
Setelah beberapa hari mengenali perasaanku, akhirnya aku yakin bahwa aku telah jatuh cinta. Walaupun dia adalah suamiku tapi aku tetap merasa malu punya perasaan seperti ini. Aku pernah jatuh cinta pada dr Yudha, tapi rasanya tidak seaneh sekarang. Kali ini benar-benar sulit di lukiskan.
Mungkin seperti cinta ombak yang berlari dengan cepat untuk mengatakan aku cinta padamu wahai pantai. Atau seperti cinta musim semi di Jepang yang tidak sabar mengatakan aku rindu padamu bunga sakura. Atau mungkin juga seperti cinta siang yang tidak sabar mengatakan aku membutuhkan mu matahari. Rasa ini benar-benar aneh dan aku tidak mengerti perumpamaannya.
“Kamu udah kasih tau Datuk?” tanya Aida kemudian.
Aku menggeleng.
“Emang harus dikasi tau ya Da? Caranya gimana?” tanyaku.
Aida menarik napas panjang dan menghirup air kelapa mudanya.
“Ya bilang I love you, atau aku sayang kamu suamiku, aku cinta padamu,” ujar Aida sambil menirukan gaya seorang pangeran mengungkapkan cinta pada seorang putri.
“Aaahh, norak Da,” kataku.
“Habis gimana donk?” tanya Aida lagi.
“Aku nanya kamu malah nanya balik,” keluhku.
Aku dan Aida terdiam sesaat. Ngungkapin cinta saja kok repot. Apa lagi pada suami sendiri, seharusnya kan lebih mudah dan tidak perlu takut karena itu sunnah. Jika suami atau istri mengetahui pasangannya mencintai dirinya, akan menimbulkan rasa bahagia. Dan membahagiakan pasangan wajib hukumnya. Itulah salah satu nikmatnya pernikahan, halal untuk bilang cinta.
“Aha, aku ada ide Nur, menurut yang pernah aku dengar katakana cinta dengan bunga.”
“Itu kan cowok Da.”
“Nggak ada aturannya kok cewek nggak boleh ngasih cowok bunga. Tapi caranya beda donk,” jelas Aida.
Aku berfikir sejenak.
“Kok jadi kayak ABG gini ya Da, ngomongin cinta-cintaan di tepi pantai,” ujarku.
“Emang masih ABG kan? Asosiasi Baju Gamis,” ujar Aida.
Kalau sudah tidak ada ide aku Aida memang suka asal, tapi itu yang membuatnya makin menyenangkan. Dia selalu punya lelucon untuk mengembalikan suasana.
Cukup lama aku dan Aida mengobrol di warung tenda Taplau itu. Sekarang Taplau menjadi tempat yang cukup nyaman untuk duduk santai menikmati pemandangan laut. Mungkin ini adalah hikmah dari abrasi dan isu tsunami. Dulu banyak berdiri warung esek-esek tempat muda-mudi pacaran. Entah apa yang mereka lakukan dalam ruangan yang hanya berukuran 1.5 x 1 m itu.
Tapi sekarang semuanya sudah dimusnahkan sehingga karunia Allah yang sangat indah ini tidak tercemar dengan perbuatan oknum yang mengundang lidah untuk memakinya. Sekarang para jilbaber pun banyak yang berwisata ke Taplau ini. Tapi pada saat-saat tertentu daerah ini juga menjadi tempat anak muda meluapkan jiwa mudanya dengan hura-hura. Jalan yang mulus di sepanjang Taplau sering dijadikan arena balap liar oleh para anak muda. Polisipun tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan mereka.
Itulah sekilas wajah kota Padang yang juga dijuluki kota tercinta ini. Kota yang dikelilingi oleh Laut dan menawarkan pemandangan yang sangat indah. Dan kota ini adalah kebanggaan orang awak karena banyak kaum intelektual dilahirkan oleh universitas-universitas yang cukup berkualitas. Tidak hanya orang-orang yang berasal dari Sumatera Barat tapi juga dari luar propinsi atau pulau. Meski tidak sepopuler UI, UGM, ITB atau Unpad.
***
Minggu pagi usai merapikan kamar, aku menikmati suasana di halaman belakang. Tidak disangka bunga-bunga yang ada di taman itu sedang bermekaran, indah sekali.
“Katakan cinta dengan bunga,” saran Aida melintas dibenakku.
Ku dekati bunga mawar beraneka warna yang ada di pot dekat teras. Sayang sekali kalau bunga itu harus dipetik dan kemudian layu. Tapi akan lebih baik lagi jika dia layu setelah memberi kesegaran bagi orang lain meski tidak menikmatinya langsung di taman. Ku petik beberapa tangkai bunga mawar itu dan menaruhnya dalam vas. Setelah mengisi vas itu dengan air aku menaruhnya di atas meja ruang kerja Datuk. Beliau sedang lari pagi jadi aku bisa dengan leluasa masuk ke ruang kerjanya dan menaruh vas bunga itu.
Ku edarkan pandanganku menyisiri setiap sisi ruangan itu. Di atas sofa yang ada di tengah ruangan bantal dan selimut yang masih berantakan belum dirapikan. Aku mengambil inisiatif untuk merapikannya. Setelah semuanya rapi aku langsung menuju dapur untuk membuat sarapan. Pagi ini aku ingin sekali membuat nasi goreng untuk sarapan Datuk. Kata teman-teman di kontrakanku dulu, nasi goreng bikinanku enak. Dan semoga saja Datuk juga berpendapat begitu. Bu Zaedar ikut membantu mempersiapkan semua bahan-bahannya. Kira-kira 20 menit lagi Datuk sudah sampai di rumah untuk sarapan. Dan aku ingin sebelum dia datang nasi gorengnya sudah terhidang.
Sesuai perkiraan, 20 menit kmudian Datuk datang dan langsung menyantap nasi goreng bikinanku.
“Mmm… Kok rasanya beda dengan biasanya Dar?” tanya Datuk pada Bu Zaedar.
“Itu yang masak ibu dokter pak,” ujar Bu Zaedar.
Datuk langsug menoleh ke arahku.
“Enak,” komentarnya singkat.
Aku senang sekali karena Datuk memakan nasi goreng itu dengan lahap. Apakah Datuk bisa merasakan cinta dalam setiap butir nasi goreng itu. Mudah-mudahan saja. Usai sarapan dan baca Koran sebentar Datuk menuju ke ruang kerjanya.
Jantungku jadi berdebar-debar, sebentar lagi dia akan melihat bunga yang aku tarok di meja kerjanya. Aku benar-benar tidak tenang dibuatnya, bagaimana kalau dia tidak menyukainya.
Dugaanku bahwa Datuk tidak menyukai bunga dalam vas makin kuat karena sepanjang kebersamaan kami hari itu Datuk sama sekali tidak menyinggung masalah bunga dalam vas itu. Hatiku mulai resah, mungkinkah Datuk tidak memiliki perasaan yang sama padaku? Walau kami sudah menikah, dia belum pernah bilang kalau dia mencintaiku.
Sepertinya saran Aida salah kali ini. Aku benar-benar malu karena merasa apa yang ku lakukan itu norak dan sia-sia. Ternyata tidak mudah mengungkapkan rasa cinta pada seseorang yang kita cintai. Aidaaaaaaaa……
“Assalamualaikum Nur,” sapa Aida di seberang sana.
“Waalaikum salam, ada apa Da?”
“Nur, aku lagi pusing ni.”
“Kenapa?”
“Dokter Rahman mau ke Jerman jadi dia udah nggak bisa lagi membimbing ku, gimana ni?” jelas Aida panik.
“Kamu udah coba hubungi dosen yang bisa menggantikan?”
“Udah, tapi pada sibuk semua, aku jadi stress.”
“Tenang Da, pasti ada yang bisa gantiin,” hiburku.
Aku berfikir sejenak sampai sebuah nama muncul dibenakku.
“Gimana kalau dokter Yudha?”
“Ah jangan Nur, meninggal ntar pasienku karena aku nggak konsen,” ujar Aida.
“Jangan berlebihan gitu donk Da, kedepankan profesionalisme aja,” nasihatku.
“Tapi aku nggak tau harus bilang apa sama dia,”ujar Aida.
“Kalau kamu nggak keberatan biar aku yang ngomong sama dia, gimana?” saranku.
“Iya deh, thanks ya Nur. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Pembicaraan yang sangat singkat. Pada hal tadinya aku ingin menelpon Aida untuk curhat, tapi sepertinya Aida sedang bingung saat ini dan dia lebih membutuhkan pertolonganku.
Aku berniat menelpon dokter Yudha saat itu juga, tapi rasanya tidak etis menelpon malam-malam begini. Aku takut mengganggu, akhirnya ku putuskan untuk membicarakan hal itu dengan dokter Yudha besok. Pastinya aku baru bisa menemuinya besok sore karena besok pagi aku harus balik ke desa nelayan dan bekerja sampai siang. Mudah-mudahan besok aku masih sempat menemuinya.
Keesokan hari usai shalat Subuh aku membantu Bu Zaedar mempersiapkan sarapan. Pagi ini Bu Zaedar masak bubur kacang hijau dan itu adalah salah satu sarapan kesukaan Datuk. Bubur kacang hijau itu tidak dicampur santan tapi hanya air dan diberi gula, pandan, garam dan jahe. Datuk sangat menjaga makanan yang hendak dikonsumsinya. Beliau lebih menyukai kuah bening dari pada kuah santan. Meskipun orang minang sangat menyukai makanan bersantan tapi Datuk tidak terlalu menyukainya. Santan bisa meningkatkan kolesterol dalam darah dan tentunya ini bisa meningkatkan resiko kena penyakit jantung. Wajar saja  Datuk terlihat kekar dan tidak gemuk seperti bapak-bapak pada umumnya.
Usai sarapan Datuk mengantarku ke desa nelayan. Di perjalanan kami tidak terlalu banyak bicara. Pada hal aku ingin sekali ada sebuah kalimat yang dilontarkannya mengenai bunga dalam vas itu. Tapi tidak terlihat sedikitpun perubahan dalam sikapnya. Beliau malah asik mendengarkan berita dari saluran radio.
“Senin depan para siswa SMU akan melaksanakan Ujian Akhir Nasional. Kecemasan mulai mendera siswa karena nilai kelulusan untuk tingkat SMU pada tahun ini naik menjadi 4,5. tidak sedikit orang tua siswa yang memprotes tingginya nilai kelulusan yang harus di capai oleh anak mereka.”
 Beberapa tahun belakangan ini untuk lulus sekolah dan melanjutkan pendidikan tingkat yang lebih tinggi memang cukup susah karena adanya target nilai yang harus di capai oleh seorang siswa untuk lulus dari sekolahnya. Para siswa harus berusaha lebih keras agar lulus. Di satu sisi tentu kebijakan yang sudah diterapkan beberapa tahun belakangan ini sanga positif karena siswa akan lebih bersungguh-sungguh saat ujian. Tapi sayangnya kualitas seorang siswa tidak bisa dilihat dari itu karena tidak sedikit siswa yang semasa sekolahnya memiliki prestasi yang bagus malah tidak lulus saat UAN.
“Aisyah juga akan ujian Nur?” tanya Datuk.
“Iya,” anggukku.
Tidak disangka adikku tercinta sebentar lagi akan lulus SMU dan jadi mahasiswa. Ternyata waktu berjalan dengan sangat cepat. Baru saja kemarin aku yang lulus SMU, sekarang Aisyah pun sudah mau tamat. Dan tidak terasa juga aku sudah berada di kampung nelayan selama lebih dari 6 bulan. Waktu terasa sangat cepat berlalu.
“Aisyah mau kuliah dimana Nur?” tanya Datuk lagi.
“Kemarin dia bilang ingin kuliah di pulau Jawa, tapi Nur agak khawatir kalau dia kuliah jauh-jauh. Jadi nggak ada yang jaga ibu,” jelasku.
“Ibu kan bisa tinggal dengan kita, biar Ibu ditemani oleh Zaedar,” jawab Datuk.
Aku menoleh kearah Datuk, ku lihat dia tidak main-main mengatakan hal itu. Aku lega mendengarnya. Berarti Datuk mau menerima keluargaku tinggal bersama kami. Mudah-mudahan saja ibu bersedia.
Usai mengantarku Datuk langsung pergi. Aku pun menjalankan tugasku di puskesmas. Sesekali masalah bunga itu masih muncul di pikiranku. Kalau tau begini mungkin lebih baik aku tidak melakukannya kemarin.
Hari ini pasienku cukup banyak, sebagian besar dari mereka mengidap demam dan flu. Mungkin hal ini dipengaruhi karena cuaca yang tidak menentu dan sulit diprediksi. Begitu semua pekerjaanku di Puskesmas selesai, aku dan Ara berjalan bersama menuju rumah dinas. Siang itu cukup panas karena itu aku dan Ara mengambil langkah seribu agar cepat sampai di rumah. Rencananya usai shalat Zuhur aku akan menelpon dokter Yudha untuk memastikan keberadaannya dan membicarakan soal Aida.
Baru saja aku melipat mukena seusai shalat terdengar Ara memanggilku dari depan. Ku pasang jilbabku dan segera menuju ke ruang depan.
“Uni, ada yang nyari,” ujar Ara sambil menunjuk kepada laki-laki muda dengan pakaian bermotif bunga di depan pintu.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Anda dokter Nur Aini?”
“Iya.”
“Saya ke sini mengantarkan paket,” ujarnya sambil melambaikan tangan ke arah sebuah mobil pick up yang ada di halaman rumah dinas itu. 2 orang lainnya segera datang dengan membawa buket bunga. Mereka berdua bolak balik mengantarkan bunga dan memasukkannya ke dalam rumah setelah meminta persetujuanku. Kalau dihitung-hitung ada 20 buket bunga dari berbagai macam jenis yang kini tersusun rapi di ruang tamu yang kecil.
Setelah selesai, mereka pamit meinggalkan aku dan Ara yang bengong melihat rumah kami dipenuhi dengan bunga segar.
“Dari siapa semua ini uni?” tanya Ara.
Aku menggeleng karena bingung juga siapa yang memberikan bunga sebanyak ini. Aku berjalan mendekati bunga-bunga itu dan mengambil kartu yang terselip di buket bunga paling besar, mawar merah.
Terimakasih sudah memberi keindahan dan keharuman dalam kehidupan saya…
Erick
Aku terpaku melihat semua bunga-bunga itu yang ternyata dari Datuk. Aku hanya meletakkan 5 kuntum mawar dalam vas di meja kerjanya, tapi dia malah mengirimkanku 20 buket bunga. Aku benar-benar tidak tau harus berkata apa. Hanya air mata haru yang mengalir di pipiku. “Aku mencintaimu suamiku” bisikku lirih dalam hati.
Keberadaan banyak bunga di rumah dinas itu tidak membuatku lupa untuk menelpon dr Yudha dan janjian untuk bertemu. Kami sepakat untuk bertemu di RS M Jamil jam 2.00 siang ini. Walau matahari sangat terik Alhamdulillah aku bisa membuang semua rasa malasku untuk keluar rumah.
Begitu sampai di rumah sakit aku langsung menuju ruangan dr Yudha. Ternyata dia sudah menunggu di sana dan langsung mempersilahkan aku masuk dan duduk
”Ada apa Nur?” tanyanya membuka pembicaraan.
”Begini dokter, Aida teman saya butuh seorang pembimbing untuk menyelesaikan koasnya. Dokter Rahman yang biasa membimbing dia akan berangkat ke luar negeri jadi dia tidak ada pembimbing lagi. Jadi maukah dokter Yudha menggantikan dokter Rahman membimbing Aida?” tanyaku penuh harap.
”Kenapa dia tidak bicara langsung pada saya?” tanya dr Yudha kemudian.
Ah benar juga mengapa harus aku? Kenapa aku tidak berfikir kalau dr Yudha akan mempertanya masalah itu.
”Itu karena dokter juga pernah membimbing saya dan saya rasa bimbingan dokter juga akan sangat membantu Aida,” jawabku mencari alasan.
”Kenapa kamu yang bilang itu ke saya bukannya Aida?” tanyanya lagi.
”Nanti Aida akan bicara langsung pada dokter kalau dokter bersedia. Sekarang dia sedang di Padang Panjang dan dia minta pertolongan saya.” jawabku memberi alasan.
Dokter Yudha diam sesaat.
”Nanti akan saya kabari,” ujarnya singkat.
Karena merasa urusan ku sudah selesai aku berpamitan.
Sebelum aku menarik daun pintu aku kembali berbalik menghadap dr Yudha.
”Dokter, Aida adalah sahabat saya yang paling baik di dunia ini, saya harap dokter melihat dan sdikit membuka hati,” kataku lalu berlalu meninggal dr Yudha.
***

bukan siti nurbaya capture 17


SESUATU YANG TIDAK BIASA

Ternyata kebersamaan dengan ibu dan Aisyah tidak bisa berlangsung lama. Usai shalat subuh ibu dan Aisyah sudah siap-siap untuk pulang ke Bukittinggi karena Aisyah harus sekolah. Datuk meminta supirnya untuk mengantar mereka sampai ke rumah. Tentu saja ibu menolak, tapi Datuk berhasil meyakinkan mereka sehingga akhirnya ibu bersedia diantar.
Aku bisa meliha raut bahagia di wajah Aisyah. Tentu saja dia senang karena jarang-jarang bisa naik mobil pribadi. Aku jadi gemas melihat adikku itu. Aku berharap suatu saat ibu dan Aisyah bisa tinggal bersama denganku. Tapi tentunya atas izin Datuk. Aku mulai nggak tega membiarkan ibu mengurus rumah dengan kondisinya sekarang ini. Ibu seharusnya menikmati masa tua dengan banyak beristirahat bukannya bekerja. Belum lagi dalam hitungan bulan Aisyah akan kuliah, pastinya nanti ibu akan tinggal sendiri.
Sorot mataku tidak bisa berpaling melepas kepergian ibu. Memang jarak Bukittinggi-Padang tidaklah jauh, hanya 2 atau 3 jam perjalanan. Tapi waktu yang membuat jarak itu terasa sangat sulit ditempuh. Aku bekerja di puskesmas kampung nelayan sampai Jumat siang dan kemudian pulang ke rumahku. Hari Sabtu dan Minggu aku bersama Datuk. Beliau kerap membawaku bertemu dengan teman-teman bisnisnya. Dan sebagai seorang istri aku tidak boleh menolak, meski kadang aku harus memendam dalam-dalam rinduku untuk bertemu orang tuaku.
Kadang aku merasa sangat durhaka. Sebagai seorang anak aku belum bisa membahagiakan orang tuaku. Aku belum bisa membalas apa yang telah dilakukan ibu unukku. Aku masih sibuk dengan kehidupanku sendiri, bahkan saat aku menjadi seorang dokter, aku tidak tau kesehatan ibuku sendiri.
Sementara sebagai seorang istri aku tidak menjalankan tugasku layaknya seorang istri. Diam-diam aku sering merasa bersalah pada Datuk setiap kali aku melihatnya tidur di ruang kerja, lari pagi sendirian dan menghabiskan akhir pekannya dengan bekerja. Seorang suami tentu saja ingin menghabiskan waktu libur dengan menikmati kehangatan bersama keluarganya. Tapi aku malah tidak bisa menjalankan peranku sebagai penyejuk hatinya. Aku malah membuatnya seperti orang asing.
Apakah boleh, menikah karena terpaksa ku jadikan alasan untuk membenarkan semua tindakan ku ini? Apakah boleh aku membayar semua rasa kecewaku atas semua yang telah ditakdirkan Allah padaku dengan cara seperti ini? Aku tau semua ini tidak benar tapi aku tidak tau harus mulai dari mana untuk memperbaikinya.
Usai sarapan Datuk mengantarku ke desa nelayan. Pagi itu Datuk terlihat sangat berseri. Beliau mengenakan kemeja coklat tua dan celana dasar warna hitam. Terlihat sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih.
“Datuk itu berkharisma ya” kata-kata Aida kembali melintas di benakku. Dasar Aida, dia paling bisa menggodaku. Tapi memang benarkan?
“Kenapa kamu senyum Nur?” tanya Datuk mengagetkanku.
Seperti orang yang tertangkap basah aku jadi salah tingkah ditanya begitu. Apakah aku harus bilang kalau aku tersenyum karena mimikirkan dia atau harus mencari alasan lain yang lebih serius? Hah, lebih baik tidak memberi jawaban apa-apa.
“Kamu cantik hari ini,” kata Datuk tiba-tiba.
Apakah aku tidak salah dengar? Datuk barusan memujiku. Lagi-lagi aku salah tingkah. Baru kali ini ada laki-laki yang memujiku seperti itu, dan dia adalah suamiku sendiri. Jadi boleh donk aku sedikit bangga. Ternyata beginilah rasanya dirayu oleh seorang laki-laki.
Hari ini aku mengenakan baju gamis warna biru muda dan jilbab dengan warna senada. Stelan yang sedang ku pakai ini adalah oleh-oleh yang dibawakan Datuk untukku kemarin. Sebenarnya aku sangat suka dan nyaman mengenakan pakaian ini tapi aku sedikit canggung karena aku yakin baju ini pasti mahal. Dan aku tidak terbiasa memekai barang mahal. Tapi rezeki diberikan Allah bukan bertujuan agar kita mengeluh bukan?
Sesampai di depan rumah dinasku, Datuk membukakan pintu mobil dan mempersilahkan ku turun.
“Kamu yakin sudah sehat dan bisa bekerja hari ini?” tanya Datuk.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku benar-benar merasa sudah sehat, lagipula aku tau apa yang harus ku lakukan jika tiba-tiba nanti aku merasa sakit.
“Baiklah kalau gitu, kamu hati-hati dan jangan terlalu lelah. Nanti saya akan menginap di sini,” ujar Datuk.
Belum sempat aku menyetujuinya Datuk sudah menaiki mobilnya dan pergi usai memberi salam. Aneh, bukankah seharusnya hari ini dia berada di rumah istrinya yang lain? Mengapa dia malah mau menginap di rumah dinas yang sangat sederhana ini?
Hari ini banyak warga desa yang peduli padaku. Setiap ada yang berpapasan denganku mereka menanyai keadaanku. Saat aku akan membuang umbang-umbang yang ada di halaman rumah, Bapak Kepala Desa yang kebetulan lewat langsung menolongku. Ibu-ibu tetangga juga datang membawakan buah kelapa muda segar dan ikan yang sudah dimasak. Bahkan Zahara pun ikut-ikutan menjadi sangat over protektif. Saat aku akan mengangkat air galon ke atas dispenser dia langsung mengambil alih dan mengangkatnya sendirian.
“Uni jangan kerja berat-berat, nanti keguguran lho,” ujar Ara.
Aku melongo mendengar apa yang barusan dikatakannya. Keguguran? Siapa yang hamil? Aku jadi bingung.
“Siapa yang hamil?” tanyaku heran.
“Uni?” katanya.
Aku jadi tertawa dibuatnya.
“Jadi kamu kira uni hamil?” tanyaku di sela-sela tawaku.
Dengan muka nggak kalah bingung dia mengangguk.
“Dan ini semua karena kalian berfikir saya hamil?” tanyaku sambil menunjuk kelapa muda dan ikan goreng segar.
Lagi-lagi Ara mengguk.
Aku benar-benar tidak bisa menahan ketawa. Ku raih tangan Ara dan meletakkannya di perutku.
“Nggak buncitkan?” tanyaku menggoda.
“Ih uni kami kira uni hamil karena pingsan kemaren,” tawa Ara pecah begitu menyadari kekeliruannya dan orang desa.
Aku jadi heran, mengapa semua orang jadi membicarakan hal seputar anak. Kemarin Yudha dan ibu, sekarang Zahara dan orang desa. Sepertinya sakit kemarin menjadi arti khusus buat ku. Setidaknya ada yang bisa membuatku tertawa setelah kemarin mengalami hari yang cukup menakutkan.
Hari yang menyenangkan di desa nelayan. Warga desa yang sudah seperti keluar bagiku dan yang tidak ingin ku lewatkan adalah bermain bersama anak-anak pantai, tidak ketinggal ada Rosa di sampingku. Menikmati matahari terbenam sambil bermain, itu tidak pernah terlewatkan dan tidak pula terlupakan. Apalagi kalau ada jagung bakar, hhhmmm nikmat.
“Boleh saya bergabung di sini?” tanya Datuk yang kedatangannya tidak kami sadari.
“Hah tentu” jawabku sambil tersenyum.
Belum sempat Datuk beranjak dari tempatnya berdiri tiba-tiba bola kaki yang dimainkan oleh anak-anak pantai itu mendarat mulus di punggungnya. Datuk tampak kaget dengan kejadian itu, sementara anak-anak yang tadinya ribut juga tak kalah kaget. Ketakutan terlihat jelas di wajah mereka yang polos.
Datuk membalikkan badannya dan mengambil bola itu perlahan. Aku jadi khawatir Datuk akan memarahi mereka. Aku tidak bisa bayangkan kalau hal itu sampai terjadi. Aku makin cemas saat Datuk berjalan mendekati gerombolan anak-anak yang terlihat takut.
“Maaf Pak,” ujar salah seorang diantara mereka dengan suara bergetar.
Tapi ternyata Datuk bukannya memarahi mereka, malah dia ikut bermain dengan anak-anak itu. Bahkan dia tidak kalah heboh dibandingkan mereka. Saat anak dari timnya mencetak gol, dia ikut tos-tosan dengan mereka. Dengan cepat Datuk berbaur dengan anak-anak itu.
“Ternyata Datuk baik juga ya ni,” ujar Ara.
Aku hanya tersenyum sambil memperhatikan Datuk yang semakin asik bermain. Hhmm, kadang aku lupa betapa penyayangnya dia. Bahkan semua orang di lingkungan komplek pun sangat menghormatinya karena keramah-tamahannya. Dia disegani bukan ditakuti.
Entah mengapa matahari sore itu seakan kalah saing dengan Datuk. Buktinya mataku enggan beralih darinya. Apa mungkin karena kemeja coklat tua dan celana dasar warna hitam yang dikenaknnya? Entahlah… Yang jelas dia membuat matakku tidak bisa beralih darinya dan membawa tawa bagi anak-anak itu.
Sesuai janjinya malam ini Datuk menginap di rumah dinasku. Karena kamarnya hanya dua, Datuk tidur di kamarku. Aku canggung sekali berada satu kamar dengannya. Setelah 3 bulan menikah, ini kali ke kelimanya kami tidur satu kamar. Sebenarnya aku ingin mengungsi ke kamar Ara, tapi tidak mungkin karena aku tidak ingin Ara berfikir yang macam-macam.
Datuk tidur hanya beralaskan sebuah tikar karena di kamar ku hanya ada kasur singel. Aku menawarkan Datuk untuk tidur di atas kasur tapi dia menolak.
“Saya mengerti mengapa kamu sangat menyukai desa ini Nur,” ujar Datuk.
Aku tersenyum tipis.
“Tawa anak-anak itu mendamaikan hati. Saya seperti menemukan sebagian diri saya yang hilang.” Datuk menarik napas panjang, matanya menerawan seakan mengingat sesuatu.
“Dulu waktu saya seumuran mereka, saya tidak bisa menikmati kebebasan seperti itu. Bapak mendidik saya dengan sangat keras. Saya dipaksa belajar dan tingkah laku saya pun harus seperti bangsawan pada umumnya. Saya tidak sempat menikmati kebahagiaan masa kecil. Ibu yang sangat memahami saya meninggal saat saya benar-benar sedang butuh seseorang untuk mengadu dan mncurahkan semua isi hati saya. Saat Bapak dan ibu tiri saya mengalami kecelakaan dan meninggal pun saya harus menjalani hidup dengan sungguh karena harus mengurus usaha keluarga agar bisa bertahan hidup dengan Yudha. Yudha yang baru berumur 10 tahun kala itu belum benar-benar memahami apa yang terjadi. Tapi saya bersyukur karena memiliki dia dan bisa melihat dia tumbuh sampai sekarang. Dia adalah alasan terkuat saya untuk menjalani semuanya dengan sungguh-sungguh,” Datuk kembali menghela napas.
”Kamu tau Nur, anak-anak tadi mengingatkan saya pada 17 tahun yang lalu. Saat itu saya melihat segerombolan anak-anak sedang bermain bola kasti di lapangan dekat persawahan. Saya bermaksud mau melihat para petani memanen padi dan tiba-tiba bola itu mengenai kening saya hingga memar. Lalu seorang anak perempuan yang kira-kira berumur 7 tahun dan berambut panjang menghampiri saya. Dia menggulung rambutnya dan menggosokkannya ke kening saya. Gadis kecil itu berkata ’Kalau saya jatuh dan terluka, ibu selalu menggosokkan rambutnya ke luka saya dan setelah itu saya tidak merasa saki lagi.
Datuk menghentikan ceritanya. Sementara aku menatap wajah Datuk lekat-lekat. Lapangan yang diceritakannya itu adalah lapangan tempat aku dan ayah sering singgahi, dan gadis kecil yang diceritakannya itu adalah aku. Datuk membalas tatapanku.
”Saat itu saya merasakan sesuatu dalam hati saya dan saya berdoa semoga kelak gadis kecil itu akan menjadi bagian hidup saya, dan ternyata doa itu terkabul,” ujar Datuk.
Aku tidak sanggup berkata apa-apa dan hanya memandangi wajah Datuk yang tenang.
“Terimakasih Nur, kamu membawa damai dalam hidup saya,” ujar Datuk setengah berbisik.
Sungguh aku tidak bisa berkata apa-apa. Padahal baru saja aku merasa sangat berdosa karena tidak bisa membawa kesejukan baginya. Tapi ternyata Datuk malah merasakan kedamaian bersamaku. Aku makin tidak mengerti dengan sosok yang ada disampingku saat ini. Beberapa saat yang lalu aku masih melekatkan image yang tidak baik padanya. Tapi saat ini aku malah melihat dia sebagai manusia biasa yang punya kelemahan dan butuh orang lain untuk menguatkannya.
Entah kekuatan apa yang mendorongku, perlahan ku raih tangannya dan menggenggamnya erat. Tangan itu terasa lembut dan hangat seakan kasih sayangnya mengalir ke dalam jiwaku. Datuk mengingatkanku pada sosok Ayah yang sudah pergi untuk selamanya namun sering ku rindukan. Genggaman itu membuatku nyaman dan dikuatkan.
Aku merasa sesuatu terjadi di hatiku. Ada rasa ingin selalu dekat dengan Datuk. Rasa yang lebih dari sekedar mengagumi. Ada getaran halus di jiwaku yang dulu juga pernah ku rasakan pada Yudha, tapi kali ini lebih kuat. Ada asa ingin memiliki dan takut untuk kehilangan. Hah, mungkinkah ini cinta? Apakah aku telah jatuh cinta? Dan mungkin inilah yang dirasakan Datuk saat aku membantunya dulu.
***