Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 20


RAHASIA ITU TERKUAK
            Dengan langkah seribu aku menuju ke kamar rawat Datuk, sore ini Datuk sudah boleh pulang. Begitu sampai dikamar rawat Datuk, aku meliha suster yang biasanya bertugas membantu dr Yudha sedang merapikan barang-barang Datuk. Dia tersenyum ramah begitu melihat kedanganku. Mungkin dr Yudha memintanya untuk membantu Datuk beres-beres. Sementara Datuk berdiri di dekat jendela dan memandang ke arah luar. Entah apa yang sedang dilihatnya, sampai-sampai dia tidak menyadari kedatanganku.
”Barang-barangnya sudah siap Bu,” kata suster itu.
”Terimakasih ya,” kataku sambil tersenyum.
Suster itupun berlalu meninggalkan kamar Datuk.
Ku hampiri Datuk dan menyentuh bahunya. Dia terlihat kaget dengan kedatanganku. Ku lihat wajahnya tidak secerah saat dia tau bahwa dia akan segera pulang, wajanya terlihat kaku dan dingin.
”Suster sudah selesai membereskan barang-barangnya, ayo kita pulang,” ajakku. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Datuk langsung duduk di kursi roda yang ada di sampingnya. Ku dorong korsi roda itu perlahan tanpa berkata sepatah katapun. Aku bigung dengan sikap Datuk. Aku belum pernah melihat Datuk sedingin ini. Pak Ujang yang mengangkat barang-barang mengikuti kami dari belakang.
Tadinya ku pikir Datuk bersikap dingin seperti itu karena beliau merasa kurang sehat. Tapi sudah tiga hari ini beliau tidak begitu banyak bicara denganku. Beliau juga menolak saat aku mengajak beliau tidur di kamar yang sama denganku. Pada hal aku telah memindahkan selimut dan bantal yang biasa dipakainya ke kamar ku dan juga akan jadi kamar kami. Tapi dia malah kembali memindahkannya ke ruang kerja. Datuk benar-benar terlihat murung dan tidak bersemangat seperti biasa.
Suatu sore saat Datuk sedang duduk sambil membaca buku di balkon, aku memberanikan diri untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
”Pak, ini Nur bawakan teh hangat,” ujarku dan kemudian duduk di kursi yang ada di samping Datuk.
”Terimakasih,” ujarnya tanpa menoleh sedikitpun padaku.
Lama aku duduk membisu karena tidak tahu harus memulaii pembicaraan kami dari mana.
”Pak....” panggilku dengan suara bergetar.
Ku kumpulkan semua keberanianku untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi sehingga dia begitu murung sejak pulang dari RS.
”Bolehkah Nur tau kenapa beberapa hari ini Bapak terliha sangat murung?” tanyaku masih dengan suara bergear.
Keasikan Datuk membaca sepertinya terusik dengan pertanyaanku. Dia mengalihkan pandangannya jauh ke depan. Untuk beberapa saat keheningan tercipa diantara kami.
”Apakah kamu menyesal menikah dengan saya, Nur?” tanyanya tiba-tiba dengan suara datar.
Aku terperanjat mendengar pertanyaan Datuk. Sikap dinginnya yang membuat rumah ini terasa diselimuti awan tebal, kini seakan dihantam badai salju. Aku merasa sedih dan hatiku tersayat-sayat mendengar pertanyaan itu.
”Kenapa Bapak bertanya seperti itu?” tanyaku dengan suara bergetar.
”Nur.... Mengapa kamu tidak pernah kasih tau saya kalau kamu mencintai orang lain?” tanyanya lagi.
Aku benar-benar kaget mendengan apa ang baru saja dikatakan Datuk. Aku tidak bisa berkata apa-apa, lidahku terasa kelu dan kaku. Mengapa harus sekarang dia mengetahui hal ini. Mengapa tidak dari dulu saat diantara kami belum ada ikatan apa-apa. Mengapa setelah kami menikah dan saat aku telah catuh cinta padanya.
”Mengapa kamu tidak pernah memberitahu saya bahwa kamu menyukai Yudha,” kata Datuk lagi dengan suara makin bergetar.
Air mataku meleleh, butiran bening itu juga ku lihat menganak sungai dimata Datuk. Aku benar-benar tidak sanggup melihatnya. Tidak tau apa yang terjadi aku berlari menuju jalan komplek itu. Untunglah tidak jauh dari rumahku ada taxi yang sedang berhenti. Dengan spontan ku minta sang sopir mengantarku ke Rumah Sakit.
Hati ku sanga galau, kacau. Rasanya aku terjepit antara langit dan bumi, sesak sekali. Aku tidak habis pikir dari mana Datuk mengetahui itu semua. Apakah mungkin Aida yang memberi tahunya? Atau malah dr Yudha sendiri yang memberi tau. Hatiku yang gundah gulana meyakini dr Yudha lah yang memberi tau Datuk. Entah untuk apa tapi aku harus minta pertanggungjawannya.
Begitu sampai di RS aku langsung ke ruangan dr Yudha. Aku bahkan lupa bagaimana adabnya bertamu ketempat orang. Aku hanya ingin tau untuk apa dia memberi tau Datuk tentang ini semua.
Dokter Yudha yang tengah serius dengan beberapa kertas di atas mejanya terlihat kaget karena kedatanganku yang tiba-tiba.
”Kenapa Dokter? Kenapa Dokter tega mempermalukan saya pada suami saya sendiri?” kataku dengan suara marah.
”Ada apa Nur? Apa maksud kamu?” tanya dr Yudha dengan wajah bingung.
”Kenapa dokter memberi tau Datuk kalau dulu saya pernah menyukai dokter?” kataku masih dengan nada emosi.
”Demi Allah, saya tidak pernah memberi tau siapapun kejadian hari itu,” kata dr Yudha sunguh-sungguh.
Aku terduduk lemas di sofa yang ada di ruangan itu. Tubuhku terasa sangat lemas dan tidak berdaya. Apakah aku juga telah melakukan kesalahan lagi dengan menuduh orang tanpa bukti? Tapi siapa lagi kalau bukan dia? Mungkinkah Aida? Tidak mungkin sahabatku iu yang memberit tau Datuk. Aida hanya pernah satu kali menjenguk Datuk dan itupun bersamaku.
Tiba-tiba aku teringat seseorang, suster yag tempo hari membantu Datuk beres-beres. Dia juga ada di ruangan ini saat aku menyatakan perasaanku pada dr Yudha. Dan kemarin dia juga ada di kamar rawat Datuk. Mungkin saja Datuk mengetahui hal iu dari dia? Tapi untuk apa dia menceritakan hal itu?
Aku terasa makin terjepit di kolong langit ini. Aku benar-benar tidak kuasa menahan gemuruh dalam hatiku. Aku benar-benar tidak tau apa yang harus ku lakukan.
Dengan gontai aku berdiri dan melangkah pergi dari ruangan dr Yudha.
”Maaf...” bisikku lirih.
Tinggal selangkah lagi tanganku menjangkau gagang pintu, suara dr Yudha menghentikan langkahku.
”Nur, kali ini saya tidak akan biarkan kamu pergi dari sini tanpa mengetahui apa-apa?”
Aku tersentak mendengar kata-katanya. Aku tidak berani membalikkan wajah ke arahnya. Aku hanya berdiri terpaku ditempatku dan memunggunginya.
”Sebelum kamu menyatakan perasaan mu, aku sudah tau bahwa Datuk telah meminangmu. Dan aku nggak mungkin melamar wanita yang sudah lebih dulu dilamar oleh kakak kandungku sendiri. Hari itu aku ingin bersimpuh di hadapan Allah dengan penuh rasa syukur, tapi ternyata aku bersimpuh dengan air mata duka. Setiap hari aku memintamu pada Allah Nur, tapi ternyata Allah membawamu ke sisiku dengan jalan lain,” kata dr Yudha dengan suara bergetar.
Seketika hatiku hancur berkeping-keping. Gemuruh hatiku telah mendatangkan badai yang hebat dan memporak-porandakan jiwaku yang terasa sangat lemah. Mengapa tidak saat itu dia menahan langkahku untuk keluar dari pengharapan terakhirku. Mengapa dia membiarkan ku merasa menjadi orang yang tidak pantas mendapat kebahagiaan. Mengapa dia membuat aku merasa menjadi orang paling malang di dunia ini. Mngapa?
Ku seka air mataku dan berbalik ke arahnya.
”Dulu saya memang sangat menyukai dokter, tapi sekarang saya sadar bahwa tidak ada yang lebih pantas saya cintai selain suami saya sendiri,” ujarku kemudian berlalu meninggalkan dokter Yudha yang berdiri kaku di belakang mejanya.
***
Sebulan sudah sejak hari itu aku menyendiri di kampung nelayan. Aku tinggalkan semua kegalauanku saat berada di puskesmas. Namun kala sang surya mulai membakar cakrawala rasa sepi itu muncul. Aku rindu ibu, Aisyah dan Datuk. Aku sanga merindukan Datuk. Masih marahkah dia padaku? Sefatal itukah kesalahanku sehingga dia tidak lagi mau menemuiku? Mengapa dia tidak menjemputku?
Setiap Jumat sore aku selalu siap-siap berharap Datuk akan menjemputku seperti biasa. Tapi tiada. Terkadang ku beranikan diri untuk menelponnya, tapi saat panggilan itu akan tersambung aku selalu menjadi galau dan akhirnya aku matikan lagi telponnya.
Kala malam telah sunyi sepi aku terbangun dan laru dalam sujudku. Tidak ada lagi tempat mengadu selain Dia. Tidak ada lagi tempat meminta selain Dia. Hanya pada-Nya aku serahkan semua. Pada-Nya ku tumpahkan air mataku dan pada-Nya ku tengadahkan tanganku. Aku meminta belas kasihan-Mu ya Allah. Bawalah aku keluar dari derita yang ku tanggung saat ini. Sentuhlah hati kekasihku dengan tangan lembutmu. Getarkanlah hatinya saat aku menyebut namanya. Dan tuntunlah langkahnya ke arahku saat dia mengingatku. Engkau Maha Mengatur ya Allah dan Engkau pula yang Maha Menyayangi....
Sedikit demi sedikit beban hatiku terasa berkurang setiap kali aku shalat tahajud. Malam ku tak lagi sepi dan dukaku tak bertambah dalam karena aku mengadukannya pada Kekasihku yang paling setia. Kekasih yang tidak akan meninggalkanku walau aku pernah berbuat dosa pada-Nya. Kekasih semua umat manusia yang takut pada-Nya dan mau menjalankan perintahnya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar