Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 8


PERTEMUAN TAK TERDUGA

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11.15 WIB. Sudah tidak ada pasien lagi yang datang pada hari ini. Terakhir aku memeriksa pasien pada pukul 10.00 WIB tadi. Sepertinya hari ini tidak banyak yang sakit, itu artinya warga sekitar sini sedang diberi nikmat kesehatan oleh Allah SWT. Alhamdulillah...
Walau pekerjaanku sudah selesai, tapi aku tetap duduk di dalam ruang periksa. Aku kembali mengecek data pasien yang yang baru saja diantar oleh Zahara. Laporan tentang pasien masih ditulis tangan, karena tidak ada mesin ketik apa lagi komputer. Seandainya saja aku punya uang lebih, aku ingin sekali beli laptop atau komputer agar datanya lebih aman. Tapi apa lah daya, dana puskesmas tidak cukup untuk membelinya. Hhhaaahhhh... Seandainya aku punya uang untuk membeli laptop atau komputer, yang bekaspun jadi lah.
Usai menyerahkan laporan, Zahara pulang lebih dulu karena hari ini dia akan pergi ke kota Padang untuk membeli sesuatu. Dia berjanji akan pulang sebelum maghrib. Berarti di rumah aku tidak punya teman sampai sore ini.
Aku mulai memutar otak memikirkan apa yang harus aku lakukan sendiri di rumah dinasku. Masak? Lauk semalam masih bisa dimakan dan akan sangat mubazir kalau dimasak lagi. Beres-beres rumah? Belum ada perabotan di rumah dinas ku jadi tidak ada yang musti dibereskan atau diubah letaknya. Yang jelas pulang saja dulu, pasti nanti aku bisa temukan apa yang bisa ku kerjakan. Baru saja aku hendak beranjak dari tempat duduk, aku dikagetkan oleh bunyi panggilan dari HP ku. Ku lihat di layarnya tertera nama ibu.
“Assalamualaikum,” tegurku.
“Waalaikumsalam Nur. Apa kabar nak?” tanya ibu di seberang sana.
“Alhamdulillah sehat bu, ibu bagaimana?”
“Alhamdulillah keadaan ibu sudah jauh lebih baik,” suara ibu terdengar riang di seberang sana.
“Kamu bisa pulang Sabtu ini nak?” tanya ibu.
“Bisa bu, ada apa?” tanyaku penasaran. ’Apakah saat pernikahan itu telah tiba’ tanyaku dalam hati.
“Nyiak Tuo sudah menentukan tanggal pernikahanmu nak,” kata ibu.
Aku terdiam tidak bisa berkata apa-apa, ternyata benar soal pernikahan. Akhirnya saat itu datang juga, saat dimana aku akan menikah dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat wajahnya. Aku ingin menangis tapi aku sudah berjanji tidak akan menangis lagi dan menerimanya dengan iklas.
“Nur akan pulang bu,” kataku mengakhiri pembicaraan dengan ibu.
“Assalamualaikum…”
”Waalaikumsalam...”
Mataku terasa sangat panas, aku benar-benar ingin menangis. Kenapa aku masih sering merasa sedih mengingat hari itu akan datang. Mungkinkah hatiku belum ikhlas menerimanya? Aku tidak tau bagaimana caranya agar aku mengiklaskan ini semua terjadi padaku. Seandainya keiklasan ada rumus atau stimulusnya, aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Tapi rasanya mustahil. Mungkin aku harus menghadapinya dan menerimanya dan mencari rumus itu sendiri saat aku menjalaninya.
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba hatiku mengharuskan aku untuk melakukan sesuatu. Entah apa itu tapi aku harus segera pergi dari sini. Aku bergegas pulang ke rumah dinasku, berharap ada yang bisa ku kerjakan di sana. Namun aku tetap tidak tau apa yang harus ku kerjakan. Aku jadi bingung sekali apa yang harus ku lakukan. Coba ada Zahra, pasti ada-ada saja yang akan kami kerjakan. Paling tidak membuat cemilan yang sehat sambil berdiskusi tentang kesehatan warga.
Hah benar juga, mengapa aku tidak menemui Aida saja. Sesekali aku membuat kejutan dengan mengunjunginya. Sejak aku di Bungus dia yang selalu mengunjungiku, sedangkan aku belum pernah mengunjunginya. Ya, aku akan ke Padang dan memberi kejutan padanya. Sekalian aku ingin memberitahunya “berita gembira” tentang hari pernikahanku yang sudah ditentukan meskipun aku belum tahu kapan persisnya. Aku ingin dia menjadi orang pertama yang tahu soal ini. Mudah-mudahan dia masih sempat memberikan selamat sebelum pingsan atau serangan jantung.
Perjalanan dari Bungus ke Padang ku tempuh dengan Bus selama 90 menit. Aku menelpon Aida untuk mencari tau keberadaannya.
“Assamualaikum,” suara Aida di seberang sana.
“Waalaikumsalam Da, kamu dimana?”
“Aku di Padang Panjang Nur, mengambil bahan penelitianku,” jawab Aida.
Hah, aku kecewa sekali mendengar jawaban Aida, pada hal aku datang ke Padang untuk memberinya kejutan padanya.
“Ooo, ya sudah. Sukses ya… Assalamuaalaikum,” aku memencet tombol end di HP ku. Aku berfikir sejenak kemana aku harus pergi. Aha, aku akan ke RS M Jamil untuk menemui Prof Asshaluddin. Sudah lama aku tidak menemui beliau, banyak hal yang ingin aku tanyakan.
Aku segera menuju ruangan Prof Assaluddin di lantai 2 RS terbesar di kota Padang itu. Tapi belum sampai aku ke ruangan dosen favoritku yang juga merupakan staf ahli di RS ini, langkahku dihentikan sebuah suara yang sudah ku kenal. Perasaan yang sama selalu ku rasakan setiap kali mendengar suaranya. Tapi kali ini perasaan itu juga disisipi rasa malu dan rendah diri.
“Nuuurr…” sebuah suara memanggilku dari ujung lorong rumah sakit. Dengan langkah sedikit berlari dr Yudha menghampiriku.
“Assalamualaikum dr Yudha,” tegurku memberi salam padanya begitu dia berada di depanku. Aku berusaha bersikap sewajar mungkin di hadapannya.
“Waalaikumsalam Nur, apa kabar?” tanyanya.
“Alhamdulillah baik dokter, dokter sendiri bagaimana?”
“Yah, seperti yang kamu lihat masih berada dalam lindungan Allah,” jawabnya dengan senyum mengembang. Dari sikapnya tidak terlihat bahwa kemarin aku melaukan sesuatu yang memalukan di hadapannya. Sikapnya sangat biasa, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Ada apa kemari?” tanyanya kemudian.
“Oh, saya mau bertemu dengan Profesor Assaluddin.”
“Wah, kamu telat, beliau baru saja berangkat ke Jakarta sejam yang lalu. Beliau jadi pembicara dalam pertemuan IDI di Jakarta,” terangnya.
Hah, aku lagi-lagi salah langkah datang ke sini. Sepertinya aku harus balik lagi ke Bungus karena tidak ada yang bisa ku lakukan di sini. Awan hitam juga sudah bergelayut di langit. Sepertinya sebentar lagi akan hujan. Jika aku menemui teman-teman di rumah kontrakan mungkin aku akan kehujanan.
“Ooo,  ya sudah kalau begitu saya balik saja,” pamitku.
“Nur tunggu, kamu mau ke mana?” pertanyaan dr Yudha menahan langkahku.
“Saya mau balik ke Bungus saja dokter,” jawabku.
“Lho, jauh-jauh ke sini kok malah langsung balik?”
Aku hanya tersenyum tipis kemudian kembali melangkahkan kakiku.
“Kamu balik pakai apa?” tanyanya berusaha menjejeri langkahku.
“Saya naik bus,” jawabku apa adanya tanpa menghentikan langkahku.
“Bagaimana kalau saya mengantar kamu?” tawarnya.
Aku berfikir sejenak. Perasaanku sungguh tidak tenang. Jantungku berdebar dengan kencang. Setelah semua yang terjadi aku benar-benar tidak punya muka lagi untuk bertemu dengannya. Ada rasa malu yang tak tertahankan dan tidak pula bisa ku abaikan atau sembunyikan.
Dalam hatiku juga tersisip rasa sedih. Rasa sedih karena aku sudah tidak boleh lagi meyimpan perasaan ”aneh” ini padanya. Sebentar lagi aku akan menjadi istri orang dan aku tidak boleh memupuk perasaan yang seharusnya ku kubur dalam-dalam.
“Terimakasih dokter tapi saya bisa pulang sendiri,” tolakku.
“Tidak perlu sungkan Nur, kamu tidak lihat di luar sana mendung. Sepertinya sebentar lagi akan hujan,” desaknya.
“Kalau saya pergi sekarang Insyaallah nggak akan kehujanan dokter. Assalamualaikum,” pamitku tanpa menunggu kata-kata darinya.
Tapi baru selangkah aku mengayun kakiku, hujan lebat langsung menyerang kota Padang.
Aku menoleh ke arah dr Yudha yang tersenyum sambil menaikkan alisnya yang tebal. Alangkah elok wajah pria itu. Seandainya yang dijodohkan denganku adalah dia, pasti aku akan menjadi orang paling bahagia di muka bumi ini. Atau seandainya saja dia menerima ”lamaranku”.
Astaghfirullah, aku langsung menunduk begitu sadar aku sudah berfikir jauh dari apa yang semestinya aku fikirkan.
“Nah benarkan,” katanya begitu menghampiriku.
Aku hanya diam mendengar pernyataannya.
“Saya antar kamu, sekalian saya ingin tahu tempat praktek mu,” ujarnya.
Aku tidak punya alasan lagi untuk menolak kali ini. Ku ikuti langkahnya menuju ke lobi RS. Dia memintaku menunggunya di sana, sementara dia berlari menuju parkiran. Aku yakin dia akan basah begitu sampai di mobilnya karena jaraknya cukup jauh.
Tidak lama menunggu Suzuki Swif silver berhenti di depanku dan pintunya terbuka dari dalam. Dokter Yudha mempersilahkan ku masuk ke mobil itu. Sekilas aku melihatnya. Dia tidak lagi mengenakan jas putih yang tadi dipakainya. Dia mengenakan kemeja hitam lengan pendek yang terlihat sedikit lembab.
Tidak ada yang bicara, hanya suara hujan yang memecah kesunyian diantara kami sampai sesuatu yang memalukan terjadi. Tiba-tiba saja perutku menggerutu karena belum diisi siang ini. Aku baru ingat belum makan siang karena tadinya aku berencana akan makan siang bersama Aida. Tapi ternyata dia tidak ada sehingga aku pun belum makan.
Dokter Yudha tertawa mendengar suara perutku. Giginya yang tertata rapi dan putih bersih terlihat menambah cahaya di wajahnya yang elok. Karena malu aku pun ikut tertawa tanpa suara. Aku menertawakan kelalaianku mengisi perut sampai-sampai perutku melayangkan protes di depan orang yang ku sukai.
Tanpa mengatakan apa-apa dokter Yudha membelokkan mobilnya ke sebuah restoran.
“Kamu harus makan dulu sebelum cacing-cacing dalam perut mu menjadi brutal,” candanya. Hah, di saat-saat seperti ini dia masih bisa bercanda. Tapi syukurlah, aku malah akan merasa lebih malu kalau dia diam saja.
Sebelum turun dari mobil dokter Yudha memberikan jas putihnya untuk melindungi kepalaku agar tidak basah, sedangkan dia sendiri berlari menempuh hujan tanpa pelindung. Aku sangat canggung, risih dan terharu diperlakukan begitu. Alangkah beruntung wanita yang menjadi istri laki-laki sebaik dia. Tapi sayang, wanita itu bukan aku, mudah-mudahan saja Aida. Amiin…
Aku belum pernah makan berdua bersama seorang pria jadi aku merasa sangat canggung dan grogi saat ini. Untunglah dia tidak memperhatikan ku. Aku merasa perutku cepat kenyang dari biasanya. Apa mungkin karena aku grogi atau karena masuk angin atau juga karena senang bisa makan dengan cinta pertama yang tidak akan pernah ku miliki itu? Enahlah... Kalau Aida tau, apa yang akan dilakukannya padaku? Apakah dia akan sedih atau malah senang?
Harapan mulai muncul di hatiku. Sebuah jawaban untuk pertanyaan yang ku sampaikan padanya tempo hari. Aku kembali teringat kebodohanku saat itu. Tanpa basa-basi aku langsung bertanya apakah dia mau menikahiku.
Waktu itu aku tidak mendapat jawaban apa-apa. Tadinya ku pikir dia jadi benci padaku dan tidak mau mengenalku lagi, tapi ternyata dia malah mengantarku pulang. Apakah dia sudah menemukan sebuah jawaban?
STOP, aku memohon agar otakku tidak berfikir macam-macam lagi. Aku benar-benar tersiksa dengan perasaanku sendiri. Apapun jawabannya saat ini sudah tidak ada gunanya lagi buatku karena aku sudah mengambil keputusan untuk menikah dengan Datuk.
Seandainya dr Yudha tau bagaimana susahnya aku melawan dan mengatur perasaanku saat berada di dekatnya, akan lebih baik jika dia membiarkanku kehujanan dengan perut kosong. Karena hanya fisikku yang akan merasa sakit dan aku hanya perlu minum obat. Tapi saat ini hatiku yang terasa sakit dan perih. Aku berharap hujan di luar sana segera berhenti sehingga dia tidak perlu lagi mengantarku. Tapi harapanku sia-sia. Begitu keluar dari restoran itu hujan bukannya reda tapi malah tambah lebat.
Dokter Yudha menyetir dengan sangat hati-hati, tidak seperti Aida yang tidak membiarkan ada lawan di depannya. Sepanjang perjalanan dr Yudha bertanya banyak hal padaku yang hanya ku jawab seperlunya saja. Aku hanya berharap cepat sampai di rumah dan tidak bertemu dengannya lagi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar