Sabtu, 26 Maret 2011

bukan siti nurbaya capture 4


BERSELIMUT AWAN TEBAL

Suara azan subuh menggema bersahut-sahutan memecah keheningan pagi buta. Aku tersadar dari tidur dan segera berjalan menuju sumur yang ada di dekat dapur untuk berwudhu. Ku lihat ibu sudah lebih dulu mengambil wudhu. Bbrr airnya jauh lebih dingin dari pada di Padang, sungguh menusuk ke tulang. Dalam iklim sedingin ini, paling nyaman berada di bawah selimut. Tapi dari kecil ibu sudah membiasakan aku untuk bangun sesubuh ini.
Usai shalat aku berdiri di teras depan sambil menunggu matahari menyingsing. Udara segar memenuhi rongga dadaku. Rasanya nyaman sekali. Burung-burung saling berbalas nyanyian di atas pohon di depan rumah ku. Yah, dari dulu halaman rumahku selalu ramai dengan suara burung yang bernyanyi dengan merdu menyambut datangnya pagi. Pohon-pohon itu menjadi rumah yang nyaman buat mereka.
Embun tebal masih menyelimuti desa ku. Aku melangkahkan kaki di aspal depan rumah. 100 meter dari rumahku ada tanah lapang dan dari sana aku bisa melihat gunung merapi dan gunung singgalang berdampingan dengan jelas. Bagai sepasang penganten yang bersanding dengan anggun di pelaminan dunia yang luas. Puncaknya merona ditimpa cahaya mentari pagi, indah sekali. Dulu pemandangan ini adalah sarapan ke dua ku setiap pagi. Setiap kali akan pergi sekolah aku selalu melewati tanah lapang ini dan menyaksikan pemandangan ini.
Waktu aku kecil, aku sering mengukur setinggi apa gunung merapi dan singgalang itu. Ternyata mereka sangat kecil, hanya seujung jari kelingkingku. Ukurannya akan makin kecil jika jari kelingkingku makin ku dekatkan ke mata. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana mungkin gunung yang cuma seujung kelingkingku itu menurut ramalan Geolog suatu saat akan meletus dan menjadikan daerah sekitarnya termasuk desaku menjadi danau. Aku berharap selama keluargaku masih di sini hal itu tidak akan pernah terjadi.
Kembali ku hirup udara pagi itu dalam-dalam. Aku benar-benar menikmati detik-detik kehidupanku di sini. Ku edarkan pandangan ke sekitar ku. Hamparan sawah yang luas dan hijau. Salah satu ukuran kaya atau tidaknya orang desa ini adalah seberapa banyak sawah yang dimilikinya. Hanya segelintir orang yang tidak punya sawah di sini, salah satunya adalah ibuku.
Di tempa ini aku sering duduk bersama ayah sambil makan tebu. Kadang ayah suka menghiburku dengan lelucon hangatnya. Tapi dari semua itu ada satu kenangan yang sampai saat ini masih segar diingatanku.
Waktu itu sore berawan, aku duduk di bawah pohon di ujung tanah lapang itu bersama ayah.
”Bagi ayah dan ibu kau adalah permata keluarga Nur, engkaulah nanti yang akan meneruskan silsilah keluarga kita. Kalau tidak ada anak perempuan dalam keluarga maka punahlah suku datuk dan harta berpindah tangan ke orang lain. Karena itu ayah dan ibu sangat bersyukur memiliki engkau Nur. Tapi ayah dan ibu tidak punya harta yang akan diwariskan pada mu nak. Hanya nasihat yang bisa ayah berikan sebagai bekal menjalani kehidupanmu kelak. Ukuran kaya perempuan minang bukanlah harta tapi budinya sebagai perempuan Minang. Adat kita mengajarkan tata cara kehidupan yang baik untuk kita. Kau harus tau jalan mendaki, jalan melereng dan jalan menurun. Tau bagaimana memperlakukan orang yang lebih tua, sebaya dan yang lebih kecil. Bertuturkatalah dengan lemah lembut agar orang lain tidak tersinggung, dan tenanglah dalam bersikap agar tidak ada yang merasa tergangu. Tertip saat berada di rumah, sopan santun kalau di luar dan tampilah apa adanya serta pandai menjaga kehormatan diri. Banyak-banyaklah bergaul dengan orang yang punya pengalaman dan belajarlah dari pengalaman mereka. Ingat, jangan pernah kau berlebih-lebihan dalam hal apapun karena itu tidak enak dipandang mata. Jadilah seperti kupu-kupu nan elok dan disukai oleh semua orang.Tolong ingat nasihat ayah ini.” Walaupun itu sudah sangat lama tapi aku tidak pernah melupkannya.
Dulu tidak jauh dari tempat ku bediri, kami punya sepiring sawah, tapi digadaikan pada Datuk Bandaro Kayo kira-kira 14 tahun yang lalu dan kami belum bisa menebusnya sampai saat ini. Hasil menggadaikan sawah berupa emas rupiah dipakai untuk biaya rumah sakit Ayah. Tapi sayang, semuanya sudah terlambat. Seharusnya ayah dioperasi tapi karena tidak ada biaya dokter tidak mau mengoperasinya. Kematian tidak mau menunggu kami untuk siap kehilangan ayah.
Karena itu dulu aku pernah punya keinginan untuk menjadi dokter. Aku ingin menjadi dokter yang menolong orang sakit bukan mencari uangnya. Aku tidak ingin melihat orang-orang yang tidak mampu bernasip seperti ayah dan keluargaku. Meninggal tanpa pertolongan.
Tidak terasa air mataku mengalir. Aku selalu sedih jika mengingat ayah. Aku segera berjalan menuju kuburan ayah yang berada di dekat mesjid. Aku bersimpuh di sana dan mendoakan Ayah dengan linangan air mata kerinduan.
”Ayah, sekarang Nur sudah jadi dokter. Nur lulus sebagai dokter termuda dan sekaligus terbaik. Ibu senang sekali Yah, Ayah pasti senang juga kan? Ayah bisa melihat Nur tidak? Nur sekarang juga sudah bisa mandiri dan tidak merepotkan ibu lagi. Nur rindu Ayah,” bisikku lirih.
***
Usai magrib tiba-tiba rumah kami kedatangan Datuak Tuo. Beliau adalah Datuk atau orang yang dituakan di suku ku. Walaupun belum kakek-kakek dia dipanggil Inyiak Tuo, bahkan oleh orang tua sekalipun. Aku tidak merasakan keanehan dari kedatangan beliau. Dari tadi siang memang banyak tetangga yang datang ke rumah kami untuk memberi selamat padaku atau sekedar menanyakan apakah aku sudah bekerja atau belum.
Aku buatkan Nyiak Tuo teh hangat dan duduk di sebelah ibu. Nyiak Tuo memperhatikanku dengan seksama.
Lah gadih gau piak. Alah bara umua kini?” tanyanya.
“”2 bulan lagi 23 tahun Nyiak.”
Iyo lah masonyo gau manikah yo piak,” lanjutnya lagi.
Aku hanya diam mendengar pernyataan Nyiak Tuo. Hingga saat ini aku masih belum memikirkan tentang hal itu.
Di kampuang ko anak gadih saumua gau lah punyo anak. Kalau gau indak nikah sacapeknyo dikatoan parawan tuo beko,” katanya lagi.
Aku tetap diam. Inilah susahnya hidup di desa, umur 24 atau 25 sudah tergolong perawan tua. Pada hal di zaman moderen, umur segitu masih waktunya bagi seorang wanita membangun karir. Aku tahu menikah adalah ibadah, tapi bukankah untuk menikah kita harus punya kesiapan? Mungkin secara fisik aku siap tapi batin? Aku ingin menikah, aku ingin beribadah tapi belum saat ini. Aku masih ingin membahagiakan keluarga. Aku ingin bekerja, membuat hidup ibu dan Aisyah lebih layak.
Agau alah punyo calon?” tanya Nyiak Tuo lagi.
Aku menggeleng. “Nur ingin karajo dulu Nyiak,” jawabku.
“Tapi kan setelah menikah tetap bisa kerja Nur,” kali ini ibu buka suara.
Aku mulai mengerti apa maksud kedatangan Nyiak Tuo ke rumah ku. Aku rasa mereka ingin menjodohkanku dengan seseorang. Aku menatap wajah ibu. Dari sorot matanya aku tau beliau berharap aku segera menikah.
“Begini Nur…” Nyiak Tuo yang tadinya bersandar kini beringsut ke ujung sofa yang sudah kusam.
Seharusnyo Mamak gau yang mancarian jodoh untuak gau, tapi dek inyo ndak di siko Inyiak nan manggantiannyo. Ibu gau juo lah mampacayoan sagalonyo ka Inyiak. Duo bulan nan lapeh, ado nan malamar gau ka Inyiak.”
Jantungku langsung berdebar kencang. Aku penasaran, takut, cemas dan semua bentuk perasaan campur aduk di hatiku. Apakah orang yang melamarku adalah seorang pria yang sesuai dengan harapanku atau justru sebaliknya? Aku cemas karena melihat nyiak Tuo begitu hati-hati menyampaikan hal ini padaku.
Agau lah kenal jo urang tu. Urang tu Datuak Bandaro Kayo.”
Nama itu bagaikan sebuah petir yang menyambar kepalaku. Aku tercekik dan rasanya ada yang melilit perutku. Aku berharap Inyiak salah sebut.
“Siapa Nyiak?” aku ingin memastikan sekali lagi.
“Datuak Bandaro Kayo”
Hah, Nyiak Tuo tidak salah sebut dan aku tidak salah dengar. Aku kehilangan kata-kata dan bahkan aku lupa bagaimana caranya berkata. Orang yang melamarku itu adalah orang yang ku bilang doyan kawin. Kembali ku tatap wajah ibu ku, beliau hanya menunduk. Aku tidak bisa berkata sepatah katapun. Badanku terasa bergetar dan dunia terasa begitu gerah. Aku sesak, aku ingin berteriak, menangis dan berharap ini adalah mimpi. Aku tidak bisa membendung air mata yang sudah menganak sungai di mataku. Kelopak mataku tak lagi mampu menahannya.
Aku berharap gunung merapi meletus sekarang juga, aku ingin meleburkan diri di lavanya. Aku benar-benar tidak ingin mendengar semua ini. Aku tidak kuat menahan perih di hatiku saat ini. Bagaimana mungkin orang tuaku tega menjodohkan ku dengan laki-laki paruh baya yang lebih cocok ku jadikan bapak dari pada suami.
“Ibu…???” hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku menatap ibu dengan penuh tanda tanya.
“Ibu menerima lamarannya Nur.”
Hah, aku tidak sanggup lagi menahan perasaanku. Aku berlari ke kamar ku dan menghempaskan tubuhku di atas kasur yang sudah keras. Aku benar-benar kecewa. Mengapa ibu menerima lamaran laki-laki tua untuk jadi suamiku? Apakah aku sudah terlalu tua sehingga aku harus segera menikah dengan siapa saja yang mau? Apakah ibu sama sekali tidak memikirkan kebahagiaanku? Apakah ibu ku sudah berubah menjadi orang tua yang gila harta? Mengapa… Mengapa…. MENGAPA…????
“Nur, maafkan ibu,” ibu membelai kepalaku. Aku berusaha menahan tangisku tanpa menoleh ke arah ibu. Entah sejak kapan ibu masuk ke kamar ini.
“Ibu tidak punya pilihan nak,” suara ibu terdengar bergetar. Lalu ibu meninggalkanku.
Aku kembali menangis seperti anak kecil yang baru saja kehilangan mainan yang paling disukainya. Aku berharap punya pilihan lain. Aku rela dinikahkan dengan siapa saja asal bukan orang tua itu. Aku berharap punya pilihan lain. Aku berharap bisa menolaknya. Aku ingin diberi pilihan…
Aku terus menangis sampai aku tertidur. Aku terbangun di tengah malam dan langsung berwudhu untuk shalat tahajud. Aku menangis di sela-sela doaku. Ku adukan semua laraku pada Penguasa Alam Semesta. Hanya Dia yang bisa ku harapkan di saat seperti ini. Dia adalah pendengar terbaik dan pemberi jalan keluar yang baik pula.
”Ya Allah, aku selalu merasakan pertolonganmu dalam setiap susahku. Engkau selalu membukakan jalan saat pikiran ku mulai buntu. Kau memberiku semangat saat ku ingin menyerah. Ku percayakan hidupku pada-Mu tanpa keraguan sedikitpun dan tidak pula terbersit dalam pikiranku untuk meragukan ketentuan-Mu atas diriku. Sekarang demi imanku pada-Mu bolehkah aku meminta agar perjodohan ini Engkau hapus dari takdirku ya Allah...” pintaku di tengah isakan ku.
Usai shalat aku tidak bisa tidur lagi. Perasaanku masih kacau dan aku masih ingin menangis. Pagi-pagi sekali aku kembali ke lapangan tempat aku bisa melihat gunung merapi dan singgalang bersanding dengan anggun. Kedua gunung itu masih tertutup awan. Mungkin seperti itulah perasaanku saat ini. Aku tengah diselimuti awan tebal kegundahan. Aku merasa hatiku sakit sekali. Kata-kata ibu kembali terngiang di telingaku.
‘Ibu tidak punya pilihan’…
Mengapa?
Aku benar-benar tidak mengerti. Aku merasa sedang tidak berada di tempat yang tepat saat ini. Aku kembali pulang dan meminta izin ibu untuk balik ke Padang hari ini juga. Pada hal aku ingin menghabiskan waktu senggangku sebelum mulai praktek di desa Nelayan Bungus bersama keluargaku. Tapi malah hal ini yang ku terima. Hatiku perih sekali seperti disayat-sayat sembilu.
Untungnya tanpa banyak bertanya ibu memberiku izin. Aku benar-benar butuh waktu untuk menerima ini semua. Aku ingin menenangkan diriku. Aku tau ibu juga sedih, aku melihat matanya juga sembab. Aku yakin beliau juga melewati malam yang berat. Tapi sungguh aku tidak punya apa-apa untuk menghiburnya saat ini. Aku sendiri sedang berjuang menghibur diriku sendiri, tapi tidak bisa.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar